30 Desember 2007

opini musri nauli : Catatan Hukum 2007


Tahun 2007 memberikan catatan penting terhadap proses penegakan hukum di Jambi. 
Dalam catatan yang penulis hendak sampaikan, peristiwa penting dan momentum kasus yang menarik perhatian masyarakat memberikan pandangan masyarakat terhadap tegaknya hukum di Jambi. 

Catatan yang penulis sampaikan sebenarnya merupakan catatan hukum yang mengulas sejenak perjalanan tahun 2007 di Jambi. 

Masih banyak catatan hukum yang tidak tercatat di dalam refleksi tahun 2007 yang penulis sampaikan. 

Namun catatan yang disampaikan ini semata-mata mengambil porsi yang cukup menyita konsentrasi dan perhatian publik tahun 2007. Tentu saja catatan yang disampaikan masih perlu didiskusikan lebih lanjut dan tentu saja membuka ruang untuk mengapresiasikan terhadap catatan yang disampaikan. 

Tahun 2007 dimulai dengan peristiwa tentang Kasus yang menimpa Sudiman alias Ahi. Kasus ini tersangkut dengan illegal logging yang kemudian diproses di pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri Jambi kemudian mengabulkan eksepsi yang disampaikan oleh Penasehat Hukum Terdakwa. 

Dari berbagai liputan media massa, porsi pemberitaan kasus Ahi cukup menarik perhatian masyarakat selain kasus water boom. Kasus ini menarik perhatian masyarakat didasari bahwa nama-nama Ahi dan berbagai nama-nama sering disebut-sebut dan menjadi perhatian berbagai kalangan dalam issu illegal logging. 

Publikpun merekam dengan jelas, di saat proses yang tengah bergulir, kasus di Tebopun, Ahi dijadikan tersangka dalam perkara lain. 

Menurut catatan penulis, dikabulkannya eksepsi dari Tim Penasehat Hukum dalam perkara pidana, hanyalah terjadi di Pengadilan Negeri Muara Bulian, Pengadilan Sengeti dan sekarang di Pengadilan Negeri Jambi. 

Sehingga dikabulkannya eksepsi inilah yang memberikan catatan penting tahun 2007 Kasus yang melibatkan nama Ahi, tidaklah merupakan polemik yang rumit. Kasus Ahi secara hukum belum membuktikan apakah dia bersalah atau tidak. Karena putusan Pengadilan Negeri Jambi yang mengabulkan eksepsi Tim Penasehat Hukum belum memeriksa pokok perkara. 


Kasus Ahi secara hukum dapat diperiksa dan diadili kembali dengan dakwaan sesuai dengan ketentuan KUHAP. 

Namun yang menarik kemudian, peristiwa bebasnya AHI berdampak terhadap berbagai problematika aparatur penegak hukum. 

Silang sengketa antara Jaksa Penuntut Umum dan Lembaga Pemasyarakatan Jambi menghiasi media massa. Silang sengketa tersebut tentu saja memberikan catatan penting bahwa problematik yang mendasar adalah, apakah yang dibutuhkan dalam penegakan hukum. 

Hubungan koordinasi ataupun kepastian hukum. Tentu saja penulis berpendapat bahwa kepastian hukum lebih diutamakan dari pada hanya persoalan “koordinasi”. Kasus korupsi PLTD yang melibatkan SL, AS dan Syaf memberikan porsi yang besar. 

SL yang didalam kasus water boom telah ditahan kemudian ditahan dalam kasus pembangunan PLTD menimbulkan persoalan yang serius. 

Terhadap pelaku yang didalam proses penahanan tidak dapat dibenarkan dilakukan penahanan lagi walaupun didalam perkara yang terpisah. Sebuah prinsip yang fundamental dalam perlindungan HAM. 

Sementara itu terhadap penahanan Syaf dilakukan permohonan praperadilan dan kemudian praperadilan dikabulkan sehingga Syaf dikeluarkan dari tahanan. Sementara itu terhadap sebelum dilakukan penahanan terhadap mantan Bupati Muara Jambi, pendukung beliau melakukan perlawanan dan sempat terjadi insiden yang berakhir di Jembatan Aur Duri. 

Namun yang “unik” terhadap pemeriksaan MM yang masih menjabat Wakil Bupati Muara Jambi belum dapat dilakukan. 

Perdebatan tentang apakah bisa ataupun tidak pemeriksaan pejabat daerah yang masih menjabat sudah terjawab didalam UU NO. 32 Tahun 2004 terutama didalam pasal 36 ayat (2). 

Sehingga pemeriksaan terhadap pejabat yang masih menjabat dapat dilakukan. Pemeriksaan terhadap MM sebenarnya membuktikan kepada kita semua, bahwa asas “persamaan dimuka hukum” mutlak dan tidak ada diskriminasi muka hukum. Tahun 2008 adalah tahun yang kita tunggu kiprah dari Kejaksaan Tinggi Jambi untuk dapat memproses dan tidak adanya diskriminasi di muka hukum. 

Didalam tahun 2007, penulis memberikan catatan penting terhadap penegakkan HAM. Disidangkannya aktivis mahasiswa yang memperjuangkan anggaran terhadap publik yang kemudian berakhir dengan kerusuhan massa yang kemudian dikenal sebagai kasus water boom merupakan pengulangan dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. 

Kasus yang serupa pernah terjadi terhadap aktivis mahasiswa seperti Cecep Suryana cs dalam peristiwa “pengrusakan polda Jambi” yang menolak alm Turimin dalam pemilihan Wawako. 

Pasal-pasal yang dikenakan kepada terdakwa serupa. Yaitu pasal 170, 187 KUHP. Cara-cara ini sebenarnya melambangkan pemerintahan yang “reaktif” terhadap suara-suara kritis dari kampus dengan menggunakan tangan-tangan negara untuk membungkam suara-suara yang kritis. 

Pasal ini juga sering dikenakan kepada pejuang petani yang memperjuangkan tanahnya namun digeser menjadi persoalan kriminal. Dalam catatan penulis, setidaktidaknya hampir setiap tahun dan hampir disetiap kabupaten di Propinsi Jambi kejadian ini sering terjadi. 

Tahun 1998, kerusuhan massa yang kemudian berakhirnya di PT. DAS, April 1999 di PT. Tebora, September 1999 di PT. KDA, Januari 2000 di PT. Jamika Raya, April 2001 Kerusuhan di Polda, Desember 2005 di PT. DIPP, Januari 2006 di Kerinci dan berbagai kejadian lain yang tidak penulis sebutkan satu persatu. Dalam berbagai kesempatan sebelumnya, penulis telah memaparkan berbagai kajian yang berkaitan dengan pasal ini. 

Namun yang hendak penulis sampaikan pada saat ini adalah bahwa Pemerintahan ternyata masih menggunakan cara-cara lama didalam menyelesaikan sengketa yang kemudian berakhir dengan kerusuhan massa. 

Sekali lagi, ternyata terhadap para pejuang yang kritis, pasal-pasal ini masih effektif digunakan dan penulis yakin bahwa pasal ini masih digunakan Pemerintahan didalam persoalan yang berkaitan dengan sikap kritis masyarakat. 

Di pertengahan tahun 2007, Pemerintah Kota Jambi dengan argumentasi bahwa ingin menertibkan pedagang kaki lima melakukan pembersihan pedagang kaki lima dari jalan utama di Kota Jambi. 

Maka di sepanjang jalan yang dijadikan daerah utama, para pedagang tidak dibenarkan berjualan di sepanjang jalan tersebut. catatan penting sengaja penulis sampaikan untuk mendukung argumentasi bahwa terhadap penggusuran pedagang kaki lima bertentangan dengan nilai-nilai HAM. 

Apakah penggusuran bertentangan dengan nilai-nilai HAM. Apabila berpijak dari perspektif hukum positif, maka sikap yang diambil Pemerintah Kota dalam rangka menegakkan Perda yang berkaitan dengan daerah-daerah yang diizinkan berjualan. Dengan argumentasi itulah, maka pemerintah Kota melakukan upaya-upaya “penggusuran” terhadap pedagang kaki lima. 

Dan yang sering dilupakan oleh kita bersama bahwa upaya yang dilakukan pemerintah sebenarnya melambangkan pemerintah yang “tidak dapat memberikan lapangan pekerjaan kepada rakyatnya. 

Sektor tenaga kerja ternyata tidak berhasil diserap, pertumbuhan ekonomi lemah, daya beli masyarakat rendah sehingga sebagian rakyat kemudian “bertahan” hidup dengan berjualan di sepanjang jalur yang “dilarang”. 

Apa nilai HAM yang dilanggar Pemerintah, bahwa pemerintah yang gagal memberikan lapangan pekerjaan (pemerintah yang tidak mampu melaksanakan kewajibannya menyediakan lapangan pekerjaan) ternyata merampas pekerjaan yang telah dibangun masyarakat. Nilai essensial ini sengaja penulis sampaikan bahwa pemerintah ternyata “otoriter” merampas pekerjaan rakyat. Pertengahan tahun 2007, juga terjadi peristiwa penting. 

Pemerintah Provinsi Jambi yang kasasinya dikabulkan dalam persoalan tanah peternakan kemudian melakukan eksekusi terhadap masyarakat yang selama ini “menguasai” tanah. “Eksekusi” yang dilakukan terhadap masyarakat yang selama ini menguasai tanah menimbulkan persoalan HAM yang serius. 

Terlepas dari putusan Kasasi yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht), mengusir orang dari rumahnya dan beratap langit merupakan pelanggaran HAM yang mendasar. 

Berpijak dari problem ini, maka sudah semestinya, penghormatan hukum dan kepastian hukum tidak berbenturan dengan perlindungan HAM. 

Tahun 2007 ditutup dengan 2 peristiwa penting yaitu “issu” aliran sesat dan “isu” daging bakso. Tertangkapnya penganut aliran sesat dan kemudian diproses hukum dengan tuduhan pasal 156 a KUHP, menurut penulis memberikan dimensi yang lain. 

Dalam kasus-kasus sebelumnya, seperti Lia Eden maupun Alqiyadah, penerapan pasal 156 sebagaimana diatur didalam KUHP justru tidak terpenuhinya tujuan hukum itu sendiri. 

Lia Eden ternyata tidak bubar, bahkan para pemimpinnya tetap pada keyakinannya sehingga, hukum tidak memberikan effek jera terhadap para pelakunya. 

Di Jaman Soeharto, hukum ternyata juga digunakan untuk para pengkritik kebijakan negara. Sri Bintang Pamungkas, Muctar Pakpahan, Budiman Soejatmiko, Yenny Rosa Damayanti, A. M. Fatwa adalah sebagian kecil nama-nama yang pernah berurusan dengan negara karena perbedaan pandangan dengan Soeharto. 

Sejarahpun kemudian mencatat, bahwa “kelakuan” Soeharto terbukti berdampak langsung kepada kita. Beras mahal, minyak mahal, dan hampir seluruh sektor seperti kesehatan, pendidikan tidak dirasakan oleh rakyat Indonesia. Reformasipun ternyata memberikan catatan seperti kebebasan berserika, berkumpul, Polri keluar dari ABRI, anggaran transparan, Presiden dipilih secara langsung, parlemen semakin kuat, kampus otonom, dan berbagai prestasi reformasi yang dirasakan oleh rakyat. 

Mahkamah Konstitusipun mencabut pasal 154, 155 KUHP yang ternyata terbukti lebih banyak digunakan terhadap kepentingan negara terhadap para pengkritiknya. Dari perspektif Hukum Positif, apabila kita perhatikan pasal yang dituduhkan kepada para pelaku, maka pihak berwenang menggunakan pasal 156 a KUHP. Apabila kita perhatikan dalil-dalil pasal ini secara sederhana diterjemahkan tentang “penistaan agama”. 

Namun penerapan pasal ini tentu saja tidak memenuhi tujuan pemidanaan. Pemidanaan hanya dapat dikenakan terhadap badan (lihat pasal 10 KUHP). Apabila pemidanaan terhadap badan diperlakukan terhadap para pelaku, apakah badan yang kemudian didera akan merobah keyakinan ? Dari ranah ini kemudian penulis menyatakan, bahwa hukum tidak mampu menjangkau keyakinan seseorang. (Jambi Ekspress, 28 November 2007). 

Peristiwa ini akan berlanjut dan akan kita lihat pada tahun 2008. Akhir tahun juga terjadinya peristiwa yang ‘menghebohkan”. 

Dari bacaan media massa yang penulis temukan, maka berdasarkan kronologis dapat diuraikan sebagai berikut. Bahwa pihak Dinas Peternakan melakukan penelitian terhadap sampel dan menemukan adanya unsur yang mengandung daging babi. Pihak Dinas Peternakan kemudian melakukan konferensi Pers untuk melaporkan temuan tersebut. Pedagang bako kemudian tidak merasa melakukan perbuatan yang disampaikan oleh Dinas Peternakan kemudian menolak dan melaporkan pihak Dinas Peternakan kepada Kepolisian. 

Issu ini kemudian berdampak luas. Issu daging babi yang merupakan hal yang sensitif bagi umat Islam, telah bergeser dari pembuktian “apakah daging yang dikonsumsi” oleh pelanggan pedagang bakso telah terbukti atau tidak, namun issu ini kemudian menjadi issu yang berpotensi SARA. 

Peristiwa pengrusakan terhadap toko pedagang bakso merupakan sikap dari issu yang berpotensi SARA tersebut. Apabila kita perhatikan secara seksama, tentu saja ada beberapa pertanyaan kunci untuk menguraikan persoalan ini. 

Yang pertama, harus ditentukan apakah para pedagang bakso tersebut telah melakukan perbuatan yang “disengaja” sebagaimana dalam rumusan Hukum Pidana. Ataukah para pedagang bakso tersebut hanya melakukan “kelalaian” yang tidak dapat dimintakan pertanggungjawabkan kepada para pelaku (baca pedagang bakso). 

 Dan yang paling penting, siapa yang meletakkan daging yang mengandung “unsur babi”, apakah adanya faktor kesengajaan atau faktor kelalaian. (Jambi Ekspress, 24 Desember 2007). 

Bagaimana kelanjutan peristiwa ini dapat kita lihat tahun 2007. Berbeda dengan tahun 2006, Jambi ditutupi asap, pada akhir tahun 2007, Jambi mengalami kebanjiran. 

Di berbagai daerah, konsentrasi pemerintah daerah mulai dihadapkan kepada persoalan banjir. Banjir mulai menganggu kehidupan rakyat. Banjir datang tanpa memberikan berita dan kabar yang mengintai setiap waktu. Banjir datang merusak semua kehidupan masyarakat. Rumah-rumah terendam, sawah dan kebun-kebun gagal panen. Sekolah terganggu. Di daerah hulu, sungai mulai meluap. Hujan yang baru dimulai akhir November akan diperkirakan sampai bulan Februari. 

Belum apa-apa, ternyata sendi-sendi ekonomi rakyat marginal mulai terganggu. Dan tentu saja akan bertambah besar banjir dan akan mengancam kehidupan rakyat. 

Hujan yang terjadi sebenarnya hanyalah siklus alam yang terus berputar di daerah khatulistiwa. Berputar siklusnya dan Bumi khatulistiwa mengalami hujan dan panas. Siklus ini yang normal tentu saja apabila bumi masih mempunyai daya dukung untuk menerimanya. 

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Hutan yang merupakan identitas masyarakat adat, tumbuhnya berbagai tanaman yang masyarakat yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, kemudian dijadikan taman nasional, HPH-IPKdan berbagai izin eksploitasi lainnya. 

Bahkan hutan dijadikan perkebunan kelapa sawit yang terkenal dengan tanaman yang rakus lahan (hungry land) yang kemudian menimbulkan berbagai sengketa dan persoalan di berbagai daerah. Hampir praktis setiap tahun dan setiap daerah terjadinya pembakaran pabrik yang bergerak di bidang kelapa sawit. 

Sengketa ini dan menurut pendapat penulis, apabila akar persoalan tidak diselesaikan, maka terus berlanjut “Kerakusan” menguasai alam, membuat daya dukung lingkungan tidak mampu lagi menerima. “kerakusan” segelintir manusia ternyata dirasakan orang banyak. 

Korban yang mengalami kebanjiran dan menerima serbuan asap tidak pernah menebang hutan dan melakukan pembakaran lahan untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit. 

Tentu saja terjadinya pelanggaran HAM karena masyarakat yang tidak menebang pohon, tidak membakar hutan namun merasakan akibat langsung. Sudah saatnya, akibat segelintir manusia yang melakukan pengrusakan terhadap sumber daya alam harus bertanggung jawab untuk perbaikan alam agar tidak terjadi lagi kerusakan lebih lanjut. 

Dari catatan yang penulis sampaikan, tahun 2008 tentu saja akan banyak peristiwa yang terjadi yang berkaitan dengan PEMILU 2009. konsentrasi nasional dan daerah menghadapi persiapan PEMILU 2009 akan berimplikasi terhadap hukum. 

Problematika yang terjadi yang berkaitan dengan PEMILU 2009 akan terus menghiasi media massa dan menyita perhatian publik. 

Namun terlepas prediksi yang disampaikan, hingga tahun 2007, masih banyak catatan hukum yang masih tercecer sejak dari tahun 2003 seperti kasus yang belum terungkap seperti kasus Kasus Rekayasa lakalantas yang menewaskan Effendi, Kasus money politics dalam pemilihan Bupati Merangin, Korupsi penggunaan uang negara diluar aturan dan ketentuan yang berlaku di DPRD Muara Jambi, Pembunuhan PNS Kehutanan Propinsi Jambi dan Dugaan kasus Korupsi dana tunjangan anggota Dewan sebesar Rp 500 juta DPRD Kab. Bungo.