KEJAHATAN KEHUTANAN DALAM DALAM TEORI DAN PRAKTEK[1] M. Musri Nauli, SH[2]
Beberapa waktu yang lalu, penulis diminta oleh Panitia Pelaksana dari diskusi tentang Data dan Informasi sebagai pembicara.
Dalam kurun waktu yang tidak sebentar, penulis mencoba menghubungkan tentang tawaran diskusi dengan berbagai tindak pidana kehutanan dalam praktek di Propinsi Jambi akhir-akhir ini.
Ada beberapa persoalan yang mendasar didalam melihat tindak pidana kejahatan yang tentu saja dapat dihubungkan bagaimana dengan tawaran diskusi tentang data dan informasi.
Yang pertama bagaimana tindak pidana itu terjadi; kedua bagaimana cara penanganan; dan yang ketiga bagaimana sikap aparatur/penegak hokum didalam melihat persoalan (termasuk kesiapan didalam menghadapi kejahatan tersebut)
Dari berbagai catatan penulis, persoalan tindak pidana kehutanan berdimensi luas. Ketentuan yang berkaitan tentang tindak pidana kehutanan tidak semata-mata dilihat dari UU No. 41 tahun 1999 an sich, tetapi juga terkait dengan UU No. 5 tahun 1990 Tentang Konservasi, UU No. 11 tahun 1967 tentang pertambangan, UU No. 23 tahun 1997 Tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, uu No. 5 tahun 1960 Tentang Pertanahan dan sebagaimananya. Bahkan dalam berbagai kasus[3], kejahatan kehutanan terjebak didalam persoalan administrasi Negara. Begitu luasnya pembahasan tentang dimensi yang berkaitan dengan tindak pidana kejahatan, maka penulis akan mencoba melihat dari sisi pelaksanaan (praktek dalam tindak pidana kejahatan)
Didalam tindak pidana kehutanan, UU No. 41 tahun 1999 pasal-pasal yang berkaitan dengan perbuatan yang dilarang diatur didalam pasal 50 ayat 3. apabila dilihat didalam pasal tersebut, maka berbagai jenis kejahatan yang berkaitan dengan hutan dapat dilihat.
Baik dari kegiatan membuka hutan hingga memasarkan hasil kejahatan tersebut. Namun UU ini memisahkan antara perbuatan yang dilarang dengan ancamannya. Sanksi kepada para pelaku diatur didalam pasal 78. ketentuan yang memisahkan antara perbuatan yang dilarang dengan sanksi yang melanggar ketentuan tidak dikenal didalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Baik yang diatur didalam KUHP maupun diluar KUHP.
Apabila ketentuan yang memisahkan antara perbuatan yang dilarang dengan sanksinya, maka secara hokum apabila didalam surat dakwaan yang menuduh kepada terdakwa melakukan perbuatan dengan mencantumkan pasal 50 ayat 3 UU No. 41 tahun 1999 namun tidak mencantumkan pasal 78 UU No. 41 tahun 1999, maka secara hokum, terdakwa dapat dibebaskan dari perbuatan pidana.
Maka untuk memahami terhadap paparan yang penulis sampaikan, maka terhadap kejahatan kehutanan haruslah selalu mencantumkan Pasal 50 ayat 3 huruf… junto pasal 78 UU No. 41 tahun 1999.
Penulis sengaja memaparkan pokok-pokok pikiran tersebut, karena di jambi sendiri, ada beberapa kasus yang dibebaskan selain tidak terbukti perbuatan yang dituduhkan, juga bahwa JPU telah lalai mencantumkan sanksi (junto pasal 78 UU No. 41 tahun 1999 teresbut). Selain itu juga, beberapa kasus tindak pidana kehutanan yang kemudian dibebaskan, karena penyidik tidak melihat bagaimana ketentuan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi.
Sebagaimana diatur didalam pasal 82 UU No. 1 tahun 1995 yang dapat diminta pertanggungjawaban baik dimuka persidangan maupun diluar persidangan adalah Dewan Direksi. Dalam berbagai peristiwa, para tersangka diseret adalah pelaku lapangan yang menurut pasal 82 UU No. 1 Tahun 1995 tidak dapat diminta pertanggungjawaban. Ketentuan ini juga telah diperkuat berbagai yurisprudensi oleh MA dalam melihat pertanggungjawaban tindak pidana kehutanan. Begitu peliknya persoalan yang berdimensi dan bersinggungan dengan tindak pidana kehutanan, apabila kita tarik garis untuk melihat cara penanganannya, maka menurut penulis, sebenarnya, aparatur penegak hokum kurang menguasai ketentuan yang berkaitan dengan tindak pidana kehutanan.
Sehingga dibebaskan para pelaku tindak pidana kehutanan dapat dihindarkan. Persoalan lainnya yang juga menyita dan memberikan porsi yang cukup dalam tindak pidana kehutanan yang berkaitan dengan barang bukti. Dalam berbagai praktek, masih banyak pihak yang menyamakan dengan barang bukti dan alat bukti. Padahal kedua istilah itu sangat berbeda dan mempunyai akibat hukum yang juga berbeda. Alat bukti adalah alat utama didalam melihat pembuktian untuk melihat kesalahan tersangka/terdakwa.
Didalam pasal 184 KUHAP, alat bukti terdiri dari saksi, ahli, surat, petunjuk dan keterangan tersangka. Untuk melihat kesalahan dari pelaku, maka hakim harus dapat melihat kesalahan tersangka apabila telah memiliki 2 alat bukti yang sah. Urutan alat bukti membuktikan bagaimana posisi saksi merupakan alat bukti pertama dan utama didalam pembuktian. Yang dapat dinyatakan saksi apabila saksi terdiri dari 2 orang (unus testis nullus testis, satu saksi bukan saksi), keterangan saksi adalah keterangan dimana saksi melihat, mendengar dan mengalami sendiri tindak pidana (testimonium de audito, saksi yang yang mendengar dari orang lain tidak dapat dijadikan saksi).
Dari paparan yang telah penulis sampaikan, maka hakim dapat memutuskan apakah para tersangka dapat dipersalahkan dan dapat dipertanggungjawabkan. Begitu pentingnya, maka didalam melihat pemeriksaan dimuka persidangan, hakim lebih mengutamakan saksi dan persidangan menyita perhatian dengan keterangan yang berkaitan dengan saksi.
Bandingkan dengan barang bukti, berdasarkan KUHAP, barang bukti dapat dihadirkan dimuka persidangan. Kata-kata “dapat”, JPU bisa saja menghadirkan barang bukti namun bisa saja tidak menghadirkan barang bukti.
Status barang buktipun dimuka persidangan, apabila telah diterangkan oleh saksi, maka keterangan saksi menjadi kuat dan dapat dijadikan petunjuk terhadap kesalahan tersangka. Konsekwensi dari definisi barang bukti tersbut, maka menurut berbagai yurisprudensi, barang bukti dikategorikan yaitu barang yang digunakan untuk kejahatan dan barang hasil kejahatan.
Yurispudensi yang berkaitan dengan korupsi, barang yang didapat dari kejahatan korupsi harus dirampas. Sedangkan barang bukti yang digunakan untuk kejahatan harus dilihat pasal 39 KUHP dan harus memberikan perlindungan kepada pemilik barang barang. Apabila barang tersebut memang milik tersangka, maka barang tersebut dapat dirampas.
Sedangkan apabila barang tersebut milik pihak ketiga (misalnya milik leasing, pengangkutan), apabila bisa dibuktikan bahwa barang tersebut tidak milik tersangka, maka barang tersebut dikembalikan pihak ketiga[4].
Begitu luasnya dimensi yang dibahas, maka menurut penulis, publik harus mengetahui rangkaian perjalanan sebuah kasus sehingga publik menjadi paham dan dapat belajar dari pergumulan kasus yang tengah terjadi. Sudah saatnya publik mengetahui dan mengontrol agar tidak terjadinya kongkalikong antara aparatur penegak hukum.
Dari paparan yang telah penulis sampaikan, maka terhadap tindak pidana kehutanan mempunyai dimensi luas yang harus dilihat secara utuh bukan parsial. Tentu saja paparan yang disampaikan penulis hanyalah pergumulan praktek semata-mata.
Apabila adanya kajian yang sedikit ilmiah, paparan yang disampaikan hanyalah untuk mendukung argumentasi terhadap pokok-pokok pikiran yang penulis sampaikan.
Analisis ilmiah yang berkaitan dengan tindak pidana kehutanan masih jauh dari pertanggungjawaban, oleh karena itu penulis masih harus menganalisis lebih jauh.
Baca : Barang Bukti dalam perkara Pidana Kehutanan
[1] Disampaikan pada Diskusi Tentang data dan Informasi Fleght SP – PWI Jambi, Jambi 12 Juli 2008 [2] Advokat di Jambi [3] Dalam kasus Adelin Lis, sebagaimana disinyalir merupakan cukong kayu terbesar di Medan, dibebaskan karena areal yang dituduhkan masih dalam areal izin HPH miliknya. Kasus ini kemudian menjadi polemik, karena ternyata UU No. 41 tahun 1999 “dikalahkan” oleh Peraturan Menteri Kehutanan yang hanya memberiekan sanksi denda kepada pelaku. Namun disisi lain, hakim berpatokan, bahwa perbuatan yang dilakukan oleh tersangka, hanyalah kesalahan administrasi semata. [4] Berbagai Yurisprundensi MA, yang juga telah diperkuat oleh putusan MK tentang perlindungan hak milik dan juga pasal 39 KUHP, memberikan perlindungan yang asasi kepada pemilik barang.