24 September 2010

opini musri nauli : Pelajara Penting dari Renah Kemumu



Tanggal 30 September setahun lalu, gempa bumi berkekuatan 7,6 SR menimpa Sumatera Barat dengan daya getarnya sampai ke Singapura (Kompas, 1 Oktober 2009). 


Gempa bumi dengan daya rusak sebagian besar di Padang dan Padang Pariaman mengakibatkan Ratusan orang tewas, ratusan tertimbun runtuhan rumah dan bangunan, Bandara Internasional Minangkabau, Padang, pun sempat ditutup.


Disusul gempa berkekuatan 7.0 SR, dengan pusat gempa dalam radius 46 km arah tenggara wilayah Kabupaten Kerinci. Gempa yang terjadi di Sumbar dan gempa keesokan harinya mengakibatkan Desa Renah Kemumu terisolir dari aktivitas jalan sehingga Desa Renah Kemumu memerlukan emergency respon. 


KEKABURAN INFORMASI Gempa bumi tanggal 1 Oktober 2009 terletak 46 km arah tenggara Kerinci. Publikpun menangkap kesan, gempa tanggal 1 Oktober 2009 termasuk kedalam wilayah Kerinci yang terkenal dengan Gunung Kerinci dengan ketinggian 3805 mdpl. 


Pada saat bersamaan, informasi yang berkembang, gempa Bumi tanggal 1 Oktober 2009 merupakan gempa susulan dari gempa tanggal 31 September 2009 dan gempa diakibatkan Gunung Kerinci. Informasi ini menyesatkan. 


Selain karena daerah-daerah yang termasuk kawasan gempa menyebabkan kehilangan komunikasi, konsentrasi penanganan gempa (emergency respon) menjadi tidak maksimal. Sore tanggal 1 Oktober 2009, emergency respon masih berkonsentrasi ditujukan ke arah Sumbar. 


Namun, tengah malam, barulah mendapat kabar. Pusat Gempa yang disebutkan 46 km arah tenggara ternyata terletak di Desa Renah Kemumu Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin. Sebuah desa yang hampir praktis tidak menjadi perhatian selain terletak didalam kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), peta-peta resmi Propinsi tidak menyebutkannya. 


Laporan juga menyebutkan jalan putus menuju Desa Renah Kemumu, sekitar 75 % rumah rusak, penduduk trauma dan berlindung di tenda-tenda di daerah terbuka. Kekaburan informasi, selalu disebutkan 46 km arah tenggara Kerinci, data-data tentang Desa Renah Kemumu tidak menjadi bahan yang bisa diakses. 


Sehingga penyebutan nama Desa Renah Kemumu menjadi persoalan serius dalam dokumen kenegaraan mengenai wilayah. 


LUAK XVI Desa Renah Kemumu termasuk kedalam Margo Serampas. 


Margo Serampas termasuk kedalam Persatuan Wilayah LUAK XVI. Arti LUAK “berarti kurang, usak, tidak cukup lagi”. Sebuah istilah berasal dari daerah Merangin, Kerinci, Melayu. 


Sehingga artinya kurang dari XVI. XVI adalah identitas kurang dari XVI. Sebuah Persatuan Masyarakat Hukum Adat yang terjadi pada tahun 1915. Luak XVI yang dimaksud Margo Serampas, Margo Sungai Tenang, Margo Peratin Tuo, Margo Senggrahan, Margo Tiang Pumpung, Margo Renah pembarap Sebagian mendefenisikan “Induk Enam Anak Sepuluh”. 


Dalam pengidentifikasikan, 6 marga terletak di daerah Merangin, sedangkan sepuluh terletak di Kerinci. Dengan demikian, maka yang terletak di Kerinci disebut Kerinci Tinggi, sedangkan 6 marga yang terletak di Merangin disebut Kerinci Rendah. 


Hubungan kekerabatan antara Margo dapat dilihat ujaran “Gedung di Pembarap, Pasak di Tiang Pumpung, Kunci di pembarap”. Pembarap berrenah luas, Tiang pumpung berlarik panjang, Sanggrehan berhutan lebar. 


Artinya mereka saling membutuhkan satu dengan yang lainnya.


Pada prinsipnya masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Seperti “seinduk bak ayam, serumpun bak serai, Besikek bak pisang, batutung bak tebu.


 Luak XVI Melayu termasuk rumpun kesukuan Melayu. Rumpun Melayu termasuk kedalam 9 suku yang dominan dari 650 suku di Indonesia. Zulyani Hidayah didalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia menunjukkan terdapat lebih kurang 658 suku di Nusantara. 


Dari enam ratusan, 109 kelompok suku berada di belahan barat, sedangkan di Timur terdiri dari 549 suku. 300 berada di Papua. Keberadaan masyarakat LUAK XVI diperkirakan jauh sebelum masuknya kedatangan Agama-agama Besar seperti Budha, Hindu dan Islam, namun Prasasti-prasasti yang sampai sekarang masih banyak ditemukan dan belum bisa mendukung tentang asal-muasal masyarakat dan sejarah yang bisa menceritakan LUAK XVI. 


PENGATURAN SUMBER DAYA ALAM 


Cara menentukan batas wilayah, baik klaim adat maupun berbagai pemetaan yang menggambarkan “wilayah kelola” dan pengaturan yang telah diturunkan turun temurun dilakukan dengan tutur dan seloko adat yang lebih dikenal dengan nama “TAMBO” Hutan yang tidak boleh ditebang diturunkan melalui ujaran “Rimbo sunyi harimau lepas, Tempat beruk siamang putih, Tempat ungko berebut tangis. 


Di sebagian daerah disebutkan “Rimbo bunyian”. Daerah yang disebutkan masuk kedalam kawasan genting dengna kemiringan 60 derajat, termasuk hulu sungai/dekat sungai. Masyarakat Adat sangat arif didalam mengelola alam. 


Ujaran seperti “ Ke darat bebungo pasir, ke darat bebungo kayu”, “Ke ladang bebungo emping”, “Ke talang berbungo emas” adalah pengaturan didalam mengelola sumber daya alam. 


Begitu juga memposisikan Hukum harus diletakkan dengan adil dengan ujaran “Hak Dacin pado yang ditimbang, hak sukam pado yang digantang”. Sehingga alam yang diatur dengan baik dilihat “Air bening, ikan jinak, rumpun mudo, kerbau gepuk, bumi senang, padi menjadi antimun mengurak bungo, teluk senang rantau selesai”. 


Kawasan hutan LUAK XVI merupakan areal perlindungan sebagai daerah tangkapan air (water catchment area) bagi DAS Utama Sungai Batang Hari, yang pada umumnya merupakan huluan sungai bagi Sub DAS Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Mesumai, Batang Tabir, Batang Tantan, Sungai Aur dan Batang Nilo. 


PELAJARAN PENTING 


Pusat gempa tanggal 1 Oktober di Desa Renah Kemumu tidak menyebabkan hancurnya rumah. Rumah penduduk berupa rumah panggung hanya bergeser dan hanya diperlukan “dongkrak” untuk memperbaikinya. 


Konsep rumah panggung terbukti mampu menghindarkan kerugian karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi (pasal 26 ayat (3) UU No. 24 tahun 2007). Konsep rumah panggung berhasil menghindarkan korban dan kerusakan yang parah akibat gempa. Pelajaran penting dari Renah Kemumu. Mengelola sumber daya alam dan mengelola gempa. 


Dimuat di Jambi Ekspress, 24 September 2010


Baca juga : Marga Serampas dan Marga Serampas (2)