Setiap putusan yang dikeluarkan negara haruslah ditentukan oleh hukum. Dalam mekanisme check and balance teori Montesqiu, Indonesia kemudian menetapkan lembaga Yudikatif melaksanakan fungsi tersebut.
UU sebagai perwujudan demokrasi Pemerintah dan Parlemen diuji norma dan tafsiran konstitusional (conditionally constitutional) terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi.
Peraturan dibawah UU diuji oleh Mahkamah Agung. Dan Surat Keputusan seorang pejabat publik diuji melalui mekanisme Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan pemikiran itu, Yusril Ihza Mahendra (YIM) mempersoalkan “legalitas” Jaksa Agung.
Dunia Politik geger.
Perdebatan dalam ilmu hukum membuat banyak pihak tersentak.
Wacana tentang tidak diangkatnya Hendarman Supandi sebagai Jaksa Agung pada Kabinet Indonesia Bersatu periode II menimbulkan persoalan yang serius dalam lapangan hukum ketatanegaraan.
Dalam ilmu hukum biasa dikenal sebagai kekosongan kekuasaan (rechtvacuum). Kekosongan hukum ini sangat berbahaya dan bisa disalahgunakan melawan negara (coup de etaat).
Putusan MK yang memberikan tafsiran konstitusional pasal 22 UU No. 16 Tahun 2004 secara bersyarat (conditionally constitutional) menimbulkan polemik.
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menegaskan, putusan MK soal masa jabatan jaksa agung bersifat sementara.
Putusan yang dikeluarkan hari Rabu ini bisa batal dengan revisi UU melalui legislative review oleh DPR RI.
Dalam salinan putusan MK tertulis bahwa MK berpendapat ada ketidakpastian hukum dalam Pasal 22 ayat 1 huruf D Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung terkait masa jabatan jaksa agung.
Oleh karena itu, menurut MK, seharusnya DPR segera melakukan legislative review untuk memberi kepastian dengan memilih salah satu alternatif kriteria berakhirnya masa jabatan, seperti berdasarkan periode, umur, masa jabatan presiden, atau diskresi.
Namun bukan dilaksanakan putusan MK, Istana mengeluarkan reaksi yang berbeda.
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM, dan Pemberantasan Korupsi, Denny Indrayana, ngotot bahwa Hendarman Supandji masih sah sebagai Jaksa Agung pascaputusan Mahkamah Konstitusi.
Denny mengatakan, tak ada kalimat dalam amar putusan MK yang menunjukkan bahwa Hendarman tak sah lagi sebagai Jaksa Agung. "Apakah keputusan MK mengatakan tidak sah? Putusan MK tidak pernah mengatakan Jaksa Agung sah sebelum atau sesudah putusan," ungkapnya seusai mengikuti sidang di Gedung MK.
Denny tetap berpendapat bahwa posisi Hendarman tetap legal setelah putusan ini dikeluarkan MK.
Menurutnya, posisi Hendarman masih sebagai Jaksa Agung yang sah dan keputusan-keputusan hukumnya masih legal.
Komentar Denny mengenai putusan Mahkamah Konstitusi mengenai masa jabatan jaksa agung dinilai melenceng dari makna putusan itu sendiri.
Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi menegaskan, penilaian berbagai pihak atas status Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung yang tidak sah atau ilegal merupakan sebuah tafsiran atau interpretatif.
Pasalnya, pernyataan itu tidak disampaikan di persidangan dan tidak tertulis dalam amar keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Penegasan itu diungkapkan Sudi kepada Kompas di ruang kerjanya di Gedung Utama Sekretariat Negara Lantai II . "Sudah jelas dalam amar putusannya MK kemarin, baik yang tertulis maupun yang dibacakan di depan persidangan, Jaksa Agung tidak dinyatakan tidak sah atau ilegal. Jadi, Pak Hendarman tetap sah,"
Menurut Sudi, pernyataan Ketua MK Mahfud MD yang menyatakan bahwa status Jaksa Agung ilegal dalam keterangan pers, dinilainya di luar pengadilan.
Sementara Marwan Effendi mengatakan “Di dalam pasal 19 b Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung RI disebutkan "Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan Presiden".
Dengan alasan ini, Marwan berujar bahwa Jaksa Agung masih sah sampai diberhentikan presiden melalui Keppres.
Ia juga menyebutkan, Keppres itu tidak terkait dengan putusan MK saja karena sejak jauh-jauh hari presiden saat mengumumkan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II sudah mengisyaratkan bahwa jabatan Hendarman Supandji tidak akan lama.
Statement para pembantu Presiden yang mengatakan bahwa Hendarman sah dan legal adalah asal bunyi dan tidak paham aturan ketatanegaraan," kata Nasir Djamil selaku anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ketika dihubungi Kompas.com, Rabu.
Dari penjelasan para pembantu Presiden yang kemudian ditafsirkan sebagai reaksi Istana, maka dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Siapa yang melaksanakan putusan MK
2. Bagaimana perspektif memahami putusan MK
3. Bagaimana hukum memandang Keppres berkaitan dengna jabatan Jaksa Agung
Dengan melihat pertanyaan yang ditujukan kepada Istana, dilatar belakangi sikap Istana yang cenderung menggunakan pendekatan kekuasaan.
Istana masih beranggapan, Jaksa Agung diangkat oleh Presiden maka harus diberhentikan oleh Presiden.
Didalam konstitusi, dijelaskan “Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat)”.
Kekuasaan negara dibatasi dengna hukum.
Indonesia telah memposisikan dirinya sebagai negara hukum (rechtsstaat) yang sistim konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Meminjam istilah Notohamijoyo “Negara hukum adalah negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada hukum bukan pada seorang penguasa absolut”.
Prinsip ini telah berlangsung sejak tahun 1945 di mana pertama kali UUD 1945 disusun dan diberlakukan.
“Ide Negara Hukum, terkait konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’.
Negara Hukum, yang asal katanya adalah “rechtsstaat”, yang di dalam pencantumannya yaitu dalam Penjelasan UUD 1945 - sampai sekarang pun masih menggunakan kata dan bahasa Belanda tersebut, termaktub dalam konstitusi Republik Indonesia sebagai ide dasar sistem pemerintahan republik ini.
Melihat “rechtsstaat”, dalam kamus besar bahasa Belanda adalah “staatsvorm die het recht air hoogste gezag handhaafl”
Artinya, bahwa negara hukum seperti yang dimaksudkan oleh founding fathers negeri ini, sebuah bentuk negara (pemerintahan) yang menggunakan hukum sebagai kekuasaan pengatur yang tertinggi.
Pandangan Mr. IC. Van Der Vlies tentang negara hukum adalah tindakan pemerintah berdasarkan undang-undang.
Asas ini mengandung pengertian “wetmatigheid” yang merupakan jaminan atas tindakan pemerintah yang dikatakan “rechmatigheid”.
Untuk mewujudkannya, maka pembentukan undang-undang yang dirancang harus memenuhi asas-asas pembentukan peraturan yang baik.
Lev sendiri menilai adanya perbedaan ini oleh karena pengaruh ideologi “Rechsstaat” yang berkembang di Eropa Continental tumbuh di wilayah birokrasi sentral yang kuat dan tidak dapat begitu mudah didobrak oleh kaum borjuasi. Mereka hanya dapat menghimbau agar diberikan konsensi.
Pengaruh Eropa Kontinental dalam berbagai peraturan kemudian diterapkan di Indonesia.
Dengan demikian maka dengan berlakunya sistem hukum Eropa kontinental mengakibatkan secara hukum menerapkan sistem hukum Belanda yakni Eropa Kontinental (Clvi Law System) seperti Belanda, Perancis dan Jerman yang termasuk Eropa Kontinental.
Bandingkan dengan sistem hukum diberbagai negara lain.
Selain itu Belanda meninggalkan produk-produk hukum yang secara yuridis masih berlaku. Baik itu di lapangan Hukum Pidana (wetboek van strafrecht voor Indonesia), Hukum Perdata (burgelk wetboek), Hukum Dagang (wetboek van kophandel), Hukum Acara Perdata (reglement op de rechsvordering), Pidana maupun berbagai peraturan yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan.
Sementara, ideologi Rule of Law secara histonis terbentuk di Inggris berkat pengaruh golongan kelas menengah yang menguasai parlemen dan birokrasi kerajaan yang relatif lemah.
Sebagai akibatnya, kecenderungan prosedural Common Law lebih menguntungkan pihak swasta, sedangkan Civil Law berkecenderungan menguntungkan negara. Lihat Daniel S. Lev, “Hukum dan Politik Di Indonesia : Kesinambungan dan Perubahan”, LP3S, Jakarta, 1990, hal. 416.
Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’.
Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”.
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu : (1) Perlindungan hak asasi manusia,(2) Pembagian kekuasaan, (3) Pemerintahan berdasarkan undang-undang, (4) Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law“, yaitu : (1) Supremacy of Law. (2) Equality before the law. (3) Due Process of Law.
Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang.
Menurut Jimly Assidiq, “The International Cominission of Jurist“, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi.
Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International Cominission of Jurists” itu adalah (1) Negara harus tunduk pada hukum. (2) Pemerintah menghormati hak-hak individu. (3) Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Negara hukum berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dan perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’.
Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan.
Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum.
Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.
Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “The Rule Of Law, And Not Of Man “.
Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang.
Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa lnggeris dengan judul “The Laws”4, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dan zaman Yunani Kuno.
HUKUM MENYELESAIKAN PERSOALAN MASALAH
Didalam rumusan Pasal 24C (1) UUD 1945 dan pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar”.
Menggunakan tafsiran pasal 24 C (1) UUD 1945 dan pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003, maka putusan MK memberikan tafsiran konstitusional pasal 22 UU No. 16 Tahun 2004 secara bersyarat (conditionally constitutional).
Dengan kata lain, Jaksa Agung mengikuti periodesasi Presiden. Dengan demikian, maka mengenai periodesasi Jaksa Agung Hendarman Soepanji harus dibatasi.
Justru pernyataan dari Istana yang tetap menganggap masih sahnya Hendarman Soepanji bertentangan dengan putusan MK.
Pernyataan yang berkaitan dengan Jaksa Agung karena diangkat oleh Presiden maka harus diberhentikan Presiden (Pasal 19) tidak tepat dan sama sekali tidak menyentuh dari putusan MK.
Ini juga bertentangan dengan putusan MK final mengikat.
Walaupun MK memeriksa norma terhadap UUD 1945 dan tidak memeriksa perkara kongkrit, namun dengan putusan MK yang menetapkan periodesasi, maka Jaksa Agung kemudian tidak sah sejak 20 Oktober 2009.
Tidak diangkat Jaksa Agung ketika terpilihnya SBY untuk kedua kali haruslah ditafsirkan, Jaksa Agung tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur didalam Pasal 19.
Dari titik ini, pernyataan “istana” tidak tepat. Dan sebagaimana disampaikan oleh anggota DPR, para pembantu Presiden “asbun” lebih tepat dikenakan.
Sehingga walaupun Hendarman Soepanji belum diberhentikan berdasarkan Keppress, namun dengan Putusan MK, mekanisme Putusan didalam lampiran Negara haruslah dinyatakan Hendarman Soepanji berhenti sejak tanggal 20 Oktober 2009.
Asas ini dikenal Lex superiori derogat lege inferiori.
Menjadi persoalan kemudian bagaimana melihat putusan MK ?
Apakah harus dinyatakan secara tegas didalam putusan MK, didalam pertimbangan atau tafsiran semata untuk melihat putusan MK.
Kekeliruan dari tafsiran istana yang disampaikan oleh Sudi Silalahi, tafsiran bertentangan Denny Indrayana dan salah tafsir dari Marwan Effendi merupakan persoalan serius dalam putusan MK.
Ketiganya tidak memahami bagaimana pertimbangan MK menjadi putusan yang harus ditafsirkan conditionally constitutional.
Sudi Silalahi yang tidak membaca putusan MK haruslah diletakkan sebagai paradigma negara yang cenderung tidak mau tahu dengna putusan MK.
Pernyataan Sudi “khan tidak dicantumkan dalam Putusan” kemudian dibaca Sudi tidak memahami tentang alur putusan pengadilan.
Kemudian sikap berkelit dari Marwan Effendi yang berkoar menundukkan semata kepada pasal 19 juga melambangkan sikap pongah dari negara.
Yang paling menyedihkan, sikap ngotot Denny Indrayana yang mengaburkan makna dan menafsirkan bertentangan dengna putusan MK.
Denny Indrayana sebagai Doktor Hukum memberikan pernyataan sangat menyedihkan dan memalukan dunia hukum.
Pernyataan ketiga pembantu Presiden (istana) haruslah dibaca sebagai sikap “kekuasaan” dari Istana yang menganggap Putusan MK hanya bergaung di ruang pengadilan.
Negara gagal tunduk kepada hukum.
Negara kemudian bertindak sewenang-wenang dan tidak mengakui kelemahan didalam menata pemerintahan .
Tafsiran yang sempit dan salah tafsir sikap resmi istana harus dibaca negara tidak menyadari penjelasan UUD 1945.