23 September 2010

opini musri nauli : SESAT PIKIR MEMAHAMI PUTUSAN MK


MK sudah mengabulkan permohonan yang disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra (YIM) terhadap masa jabatan Jaksa Agung. Sebagai salah satu perumus UU No. 16 Tahun 2004, YIM mengetahui persis “suasana kebathinan” saat pembahasan UU No. 16. Tahun. 

Dalam berbagai dokumen, YIM justru menghendaki agar jabatan Jaksa Agung merupakan jabatan karier. 
Dalam wacana terkini, biasa dikenal dengan istilah “jaksa karier”. 

Namun didalam pembahasan UU No. 16 Tahun 2004, DPR justru memberikan kewenangan “hak preogratif” Presiden tanpa melihat latar belakang apakah Jaksa karier atau non karier. 

Dari ranah ini, kemudian YIM memahami bagaimana perumusan pasal 22 UU No. 16 Tahun 2004. 

 Dari ranah ini, YIM yang berlatar belakang ahli hukum tata negara dan pelaku sejarah dengan mudah memperdebatkan “kewenangan” sebagai Jaksa Agung. 

Dalam perdebatan yang ditayangkan talks show di berbagai media massa, dengan runut, sistematis YIM menjelaskan bagaimana Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya. Jaksa Agung diberhentikan karena (a) meninggal dunia; (b). permintaan sendiri; (c) sakit jasmani atau rohani terus menerus; (d) berakhir masa jabatannya; (e) tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. 

 Dengan baik YIM menguraikan, Jaksa Agung tidak diberhentikan karena masih hidup, Jaksa Agung tidak mengundurkan diri, Jaksa agung masih sehat. 

Mengenai masih “sehat” dengan guyon, YIM menerangkan “Hendarman masih sehat. Masih marah-marah”. 

 JAKSA AGUNG BERAKHIR “MASA JABATANNYA” 

 Dengan menggunakan pendekatan pasal 21, maka menimbulkan implikasi hukum serius. Kapan berakhirnya jabatan Jaksa Agung ? 

 Secara yuridis, berakhirnya jabatan Jaksa Agung bersamaan dengan Pemerintahan SBY tanggal 20 Oktober 2009. 

Hendarman Soepanji sebagai Jaksa Agung menggantikan Abdurrahman Saleh. SBY yang berakhir 20 Oktober 2009 terpilih kembali sebagai Presiden dengan mayoritas mutlak kemudian mengangkat Menterinya. 

 Kita masih ingat, bagaimana tayangan media massa, Presiden melakukan audisi terhadap para menteri dan meminta mereka untuk menandatangani pernyataan integritas. 

Setelah Presiden terpilih dan Kabinet Indonesia bersatu Jilid II terbentuk, Hendarman diangkat kembali tanpa pengangkatan melalui Keppres. 

YIM menyebutkan “Presiden mengangkat Hendarman sambil memegang pundak Hendarman. Jaksa Agung masih anda, ya”. 

 Waktupun bergulir. Legalitas Jaksa Agung dipertanyakan YIM ketika YIM ditetapkan tersangka dan diperiksa Kejaksaan Agung. 

YIM kemudian mengeluarkan jurus ampuh. Mempertanyakan “legalitas” jaksa agung dan memenuhi “tantangan” Hendarman Soepanji mempersoalkannya di MK. 

MK kemudian Menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara RepubIik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara RepubIik Indonesia Nomor 4401) adalah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”; (penulis sengaja mengutip putusan MK agar dapat dijadikan bahan perdebatan) 

 Persoalan muncul. Apakah “legalitas” Jaksa Agung sah ?. Permohonan YIM yang mempersoalkan “legalitas” sejak terhitung 20 Oktober 2009 tidak dikabulkan oleh MK. MK memang mempersoalkan “legalitas” Jaksa Agung yang tidah sah karena tidak diangkat kembali oleh Presiden. 

Namun prinsip putusan pengadilan yang tidak berlaku surut, kemudian menetapkan MK menyatakan putusan MK bersifat prospektif. Artinya “legalitas” Jaksa Agung tidak sah sejak diputuskan. 

 Putusan MK menimbulkan implikasi hukum secara serius. Apakah MK tidak berani memutuskan “legalitas” Jaksa Agung sejak terhitung 20 Oktober 2009 (berlaku surut) dan memutuskan bersifat prospektif ? 

 Putusan MK merupakan “cara cerdas” MK menyelesaikan berbagai konflik ketatanegaraan dan memberikan panduan terhadap periodesasi jabatan jaksa agung yang harus ditentukan (asas kepastian hukum). 

 Namun reaksi berbeda ditunjukkan oleh Istana. Sikap resmi Pemerintah terhadap putusan MK menimbulkan persoalan dalam memahami hukum. Penulis mengklasifikasikan sikap resmi Pemerintah terhadap putusan MK 

 SESAT PIKIR 1 

 Setelah putusan MK, Staff khusus Presiden, Denny Indrayana (DI) memberikan pernyataan sebaliknya. 

DI menyatakan, MK tidak mempersoalkan “legalitas” Jaksa Agung dan Hendarman Soepanji tetap jaksa agung. Pernyatan DI menyesatkan. 

Memang MK hanya memeriksa norma UU terhadap konstitusi. MK tidak memeriksa penerapan norma (baca Keppres). 

Namun dengan putusan MK, maka “legalitas” Jaksa Agung berakhir setelah putusan MK. 

Dengan demikian, menurut hukum, “legalitas” Jaksa Agung tidak sah. MK sepakat bahwa “legalitas” jaksa agung tidak sah. 

Namun “legalitas” tidak sah itu mulai ditetapkan sejak putusan MK. SESAT PIKIR 2 Jaksa Agung diangkat berdasarkan Keppres dan diberhentikan melalui Keppres. 

Pernyataan ini disampaikan oleh Jaksa Agung Hendarman Soepanji dengan melihat ketentuan pasal 19 UU No. 16 Tahun 2004. Harus diingat, bahwa Jaksa Agung diangkat berdasarkan Keppres. 

Namun jabatan Jaksa Agung berakhir dengan periode Pemerintahan SBY. “Kelalaian” hukum tidak diangkatnya Jaksa Agung Hendarman Soepanji setelah tanggal 20 Oktober 2009 tidak menjadikan jabatan Jaksa Agung menjadi terus menerus. 

Tidak diangkatnya Hendarman Soepanji setelah tanggal 20 Oktober 2009 menimbulkan “ketidakpastian hukum” yang bertentangan dengan konstitusi. Konstitusi kemudian telah menetapkan jabatan jaksa agung dibatasi dengan periode Pemerintahan. 

Asas “kepastian hukum” harus diutamakan dan tidak tepat disandingkan dengan ketentuan pasal 19. SESAT PIKIR 3 Hendarman Soepanji mendalilkan karena diangkat Presiden, maka Presiden yang harus memberhentikannya. 

Pernyataan ini juga didasarkan kepada dalil pasal 19. 

 Namun, Hendarman Soepanji “lupa”, “kelalaian” ketatanegaraan yang tidak mengangkatnya kembali yang akan menimbulkan “ketidakpastian” hukum telah diselesaikan oleh MK. 

Dengan demikian, menggunakan ukuran pasal 19 dengan alasan “Presiden yang mengangkat dan memberhentikan” tidak tepat dan diselesaikan konstitusi. 
 PELAJARAN PENTING 

 Apapun perdebatan didalam menafsirkan putusan MK, yang harus dipahami, sesat pikir didalam “memaknai” putusan MK tidak dapat dibenarkan secara hukum. 

“Tafsiran” memaknai putusan MK harus diletakkan konteks yang didasarkan kepada asas dan prinsip-prinsip hukum sehingga memperkaya gagasan kita memahami hukum. 

Tapi menggunakan pendekatan “sesat pikir” memahami putusan MK justru menimbulkan keragu-raguan dari penulis. 

Apakah karena kepentingan “sesaat”, hukum dibelokkan dan “dicari-cari” alasan. YIM telah memperkaya gagasan kita. Negara harus diurusi dengan asas “Ketaatan”, kehati-hatian, “kecermatan” yang merupakan asas pemerintahan yang baik. Negara tidak cukup hanya berwacana tanpa makna dan memancarkan pencitraan semata. 

 Dimuat di Posmetro, 25 September 2010