18 September 2010

opini musri nauli : Pemberian Setengah Hati




Setiap tanggal 24 September, Presiden Soekarno menetapkan sebagai Hari Tani Nasional berdasarkan Keputusan Presiden No. 169 Tahun 1963. 


Tanggal 24 September 1960 kemudian dikenal lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). 

UUPA menggantikan Agrarische Wet 1870 yang dengan prinsip domein verklaringnya. 

Doktrin domein verklaring menyatakan semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan pembuktian hukum barat, maka tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah milik negara/ milik penjajah belanda. 

 UUPA menegaskan Negara hanya sebagai ‘penguasa’ bukan ‘pemilik’. MK sudah menegaskan negara hanya berwenang mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelen daad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichtoudensdaad). 

 Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

UUPA bersumber dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bumi, air, ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan kekayaan nasional Bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Maka jiwa dan semangat UUPA 1960 merupakan pengejawantahan dari jiwa dan semangat Pasal 33 UUD 1945. 

UUPA dikenal undang-undang payung (umbrella act) yang mengatur tentang agraria. UUPA mengatur hukum adat. Keberagaman adat di Indonesia telah di atur pada pasal 18 B ayat (2), pasal 28 ayat 3 UUD 1945, pasal 4 Tap Nomor IX /MPR-RI/2001, serta pasal 3 dan pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1960. 

Konsideran huruf a menyatakan “Bahwa perlu adanya Hukum Agraria Nasional yang berdasarkan Hukum Adat tentang tanah”. Pasal 5: “Bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat”. 

Hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah lingkungannya dilihat pasal 3 UUPA Sepanjang menurut kenyataannya masih ada, 

Pelaksanaannya tidak bertentangan dengan pembangunan nasional. UUPA juga mengatur mengenai luas maksimum-minimum hak atas tanah dan pembagian tanah kepada petani tak bertanah. 

Ketentuan ini biasa dikenal dengna landreform. A.P. Parlindungan menyebutkan “mengakhiri dualisme hukum”. 

Nurhasan Ismail mengatakan dapat dikategorikan sebagai “hukum prismatik”. Mahfud menyebut “hukum yang responsif”. 

Sedangkan yang lain mennyatakan sebagai suatu produk hukum yang paling populis. PEMBERIAN SETENGAH HATI Akan tetapi ketidaksinkronan antara UUPA sebagai undang-undang payung (umbrella act) dengan undang-undang sektoral. 

UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan justru menimbulkan benturan norma (konflik hukum/Conflict of Law). 

Ketentuan UU Kehutanan memunculkan sifat kepemilikan hutan negara yang mirip dengan Domein Verklaring pada masa pemerintahan kolonial Belanda Setiap UU sektoral kemudian mengikrarkan diri sebagai UU yang mengatur khusus (lex specialis derogat lex generalis). 

Setiap UU sektoral kemudian menegasikan ketentuan UUPA dan pasal 33 UUD 1945. 

UU sektoral kemudian menegasikan UUPA secara formal dengan tidak mencantumkannya didalam UU. 

Lahirnya UUPA yang tidak dipatuhi pemangku negara, tepat dikatakan, sebagai pemberian setengah hati. KONFLIK SUMBER DAYA Akibatnya, pada tahun 2009, Luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia 7.125.331 ha (Kompas, 4 Juni 2010). 

Walhi mencatat, sejak tahun 2003 hingga semester pertama tahun 2010, jumlah konflik sumber daya alam terjadi sebanyak 317 kasus. 

Sawit Watch mencatat lebih dari 630 konflik perkebunan kelapa sawit. BPN tahun 2008 konflik tanah di Indonesia menjadi hampir 8.000 an konflik berskala besar maupun kecil. 

KPA tahun 2008 mencatat konflik 1753 mengakibatkan 1.189.482 KK menjadi korban. Konflik sumber daya alam menimbulkan kemiskinan. 

 Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa, luas lahan pertanian padi di Indonesia pada 2010 tinggal 12,870 juta hektare (ha) dengan jumlah Rumah Tangga Petani 28,3 juta dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar. 

Berbagai riset menunjukkan, 48,8 juta orang tidak mendapatkan akses terhadap pengelolaan sumber daya alam didalam taman nasional yang mengakibatnya sekitar 10,2 juta termasuk miskin. (BPS 2000 dan CIFOR 2004). 

Luas tanah yang telantar, mencapai 1.578.915,0620 ha (BPN, 2007). Belum lagi konversi lahan pertanian. 

Tahun 1993 menyebutkan bahwa di Pulau Jawa konversi lahan pertanian setiap tahun hampir mencapai 1 juta hektar. BPS menunjukkan bahwa, luas lahan pertanian padi di Indonesia pada 2010 tinggal 12,870 juta hektare (ha) dengan jumlah Rumah Tangga Petani 28,3 juta dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar Indonesia mempunyai sumber daya alam yang melimpah tidak berhasil meningkatkan kemakmuran. 

Kekayaan yang diraup Freeport dan kasus Lumpur Lapindo hanya sekedar contoh. Pendidikan dan kesehatan menjadi barang mahal. 

Pembangunan kemudian menciptakan kesengsaraan, tidak mengakui kepemilikan masyarakat adat, rusaknya pranata sosial dan berbagai konflik yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi. 

Penghormatan terhadap hukum adat dikalahkan dengan hukum nasional. Konflik sumber daya alam menyebabkan berbagai persoalan yang sampai sekarang tidak jelas arah penyelesaiannya. Tentu saja perdebatan melaksanakan UUPA atau revisi menjadi wacana yang tidak relevan lagi diperbincangkan. Yang menjadi pokok perhatian, bagaimana amanat konstitusi ketentuan pasal 33 UUD 1945 harus dilaksanakan.