17 September 2010

opini musri nauli : JAKSA AGUNG, KARIR ATAU NONKARIR ?

Wacana penggantian Jaksa Agung, menimbulkan pertanyaan polemik, Jaksa Agung berasal “karir” atau “non karir” ? Dalam perjalanan sejarah Indonesia, Jaksa Agung sudah berjumlah 21 orang (belum termasuk Jaksa Agung terakhir, Hendarman Soepanji) dimulai setelah kemerdekaan, masa orde lama, masa orde baru dan masa reformasi. 

Dari 22 orang yang pernah menjabat Jaksa Agung, 14 orang yang menjawab lebih dari setahun, 4 orang menjabat kurang dari setahun. Bahkan 3 orang menjabat selama hitungan hari. Soedjono C. Atmonegoro SH, menjabat selama 88 hari akibat reformasi penggantian dari Presiden Soeharto ke Presiden BJ. Habibie. Baharuddin Lopa SH kurang dari sebulan karena meninggal dunia. Sedangkan Marsillam Simanjuntak SH karena penggantian Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) ke Presiden Megawati Soekarnoputri. 

Penempatan Jaksa Agung tidak bisa dilepaskan dari suasana politik di Indonesia. Penempatan Jaksa Agung pada periodik pasca kemerdekaan dijabat Jaksa Agung yang mendapatkan pendidikan hukum pada masa pemerintahan Belanda. Mr. Gatot Taroenamihardja, Mr. Kasman Singodimedjo, Mr. Tirtawinata. Pada Masa Presiden Soekarno, Jaksa Agung R. Soeprapto, sangat dihormati. Jaksa Agung R. Soeprapto tampil bersidang dalam kasus-kasus pemberontakan (makar). Pada periodenya, R. Soeprapto memeriksa Jenderal Nasution dan Kemal Idris. Jenderal Nasution dan Kemal Idris dikenakan tahanan rumah dan kota. Bahkan Jenderal Nasution dicopot dari KSAD. Belum lagi pemeriksaan terhadap Ruslan Abdulgani (Menteri Luar Negeri) dan Mr. Isqak Tjokrohadisuro (Menteri Kemakmuran). 

Padahal Soekarno telah meminta kepada R. Soeprapto menghentikan pemeriksaan. Roeslan Abdulgani dijatuhi hukuman denda karena tindak pidana ekonomi. 

 Sehingga tepat, kemudian Kejaksaan Agung menempatkan R. Soeprapto sebagai Bapak Kejaksaaan. Pada periode Soeharto, Jaksa Agung hampir praktis selalu dijabat oleh Militer. Dimulai dari Brigjen Soegih Arto, hingga Laksamana Muda Sukarton Marmosujono, SH. Pada Masa Singgih dan dilanjutkan Soedjono C. Atmonegoro SH, dimulai tradisi dari Jaksa Agung berasal dari Sipil dan dari jenjang karir. Namun belum lama Soedjono C. Atmonegoro SH menjadi Jaksa Agung, reformasipun bergulir dan digantikan Andi Ghalib SH. 

 Masa reformasi, pergantian Jaksa Agung tidak berlangsung lama. Dalam waktu sepuluh tahun, Jaksa Agung telah dijabat 7 orang. Dengan Jaksa Agung M.A. Rachman, SH, Abdul Rahman Saleh dan Hendarman Soepanji masing-masing 3 tahun lebih. Pada masa ini, Jaksa Agung berasal dari karir dijabat M.A. Rachman, SH dan Hendarman Soepanji. 

 KARIR ATAU NON KARIR 

 Menyebut nama Kejaksan Agung memang tidak bisa dipisahkan dari R. Soeprapto. Sebagai “Bapak Kejaksaan”, R. Soeprapto dikenal tidak bisa diintervensi Presiden Soekarno. Ali Sadikin yang kemudian menjawab Menteri Kehakiman, Ismail Saleh (Jaksa Agung) dikenal sebagai Pendekar hukum bersama dengan Mudjono, S.H., (Ketua MA). 

 Sedangkan Baharuddin Lopa, dikenal tidak berkompromi dengan koruptor. Begitu juga dengan Abdurahman Saleh saat menjadi Hakim Agung memberikan pendapat berbeda (disenting opinion) dalam kasus Korupsi terhadap Akbar Tanjung. Menyebut nama-nama R. Soeprapto, Ali Sadikin, Ismail, Saleh, Baharuddin Lopa, Abdurahman Saleh berhasil membuat Kejaksaan Agung salah satu lembaga hukum yang dihormati. 

 TANTANGAN KEDEPAN 

 Pekerjaan besar telah menanti. Bersama dengan KPK, Kejaksaan Agung harus membongkar kasus-kasus yang menarik perhatian publik. Kasus BLBI dengna pelaku kakap, bail out Century, Bank BNI senilai Rp 1,6 triliun sebagian kecil yang harus dibongkar dan diusut tuntas. Kejaksaan Agung harus meningkatkan penyidikan terhadap kasus pelanggaran HAM. 

Peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti, Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II, Peristiwa Mei 1998, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Wamena dan Peristiwa Wasior sebagaimana disampaikan lembaga HAM. 

Kejahatan HAM berat harus diproses dan disidangkan dimuka persidangan. Selain sebagai tanggung jawab terhadap amanat reformasi, proses hukum diharapkan dapat menyelesaikan persoalan “gelap” masa lalu. Proses hukum terhadap pelaku juga dapat menciptakan tanggung jawab negara didalam melindungi HAM. Dan tidak membiarkan pelaku tanpa proses dimuka hukum (immunity) 

 Dimuat di Posmetro, 22 September 2010