30 Maret 2011

opini musri nauli : BANTUAN HUKUM DALAM PRAKTEK PERADILAN PIDANA


Sudah jamak menjadi pengetahuan, setiap orang berhak mendapatkan bantuan hukum. 

Didalam KUHAP, secara limitatif sudah ditegaskan, terhadap masyarakat kurang mampu, negara menyediakan bantuan hukum dalam setiap tingkatan. Dimulai dari penyidikan, penuntutan dan proses dimuka persidangan. Bantuan hukum yang diberikan merupakan bentuk penghormatan HAM oleh negara setiap warga negara yang kurang mampu. 

Didalam lapangan, lazim digunakan istilah “prodeo”. Dalam istilah lain, sering juga digunakan istilah “probono”. 

 Pasal 56 ayat (1) KUHAP secara tegas menyatakan “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. 

Sedangkan didalam ayat (2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma. 

 Mantra kalimat tersebut merupakan bentuk perwujudan dari konsepsi negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana rumusan didalam UUD 1945. 

Bentuk turunannya, dapat dilihat didalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. 

Rumusan “bantuan hukum” kepada ketentuan pasal 56 KUHAP merupakan nilai universal didalam berbagai ketentuan konvenan PBB dan telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Konvenan PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) Mantra kalimat yang dikandung dalam konstitusi dan berbagai peraturan lainnya memang menegaskan penghormatan terhadap tersangka. 

Penghormatan HAM ini diberikan, selain tersangka yang tidak mempunyai posisi seimbang dengan penyidik juga menyebabkan, dalam kasus-kasus tertentu terutama dalam kasus-kasus yang menarik perhatian masyarakat, pengabaian HAM cenderung terjadi. 

Dalam dimensi ini, berbagai pranata konstitusi, nilai universal dan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan memang memberikan penghormatan terhadap HAM kepada tersangka. 

 Dalam praktek, pengabaian dan penghormatan HAM kepada para tersangka terutama karena kurangnya mendapatkan akses bantuan hukum, tidak diterangkan hak-hak tersangka dan tidak disediakan bantuan hukum kepada tersangka, menjadi problematik dalam praktek peradilan pidana. 

Mahkamah Agung secara tegas menyatakan, terhadap tersangka yang tidak mendapatkan bantuan hukum (baik karena persoalan biaya maupun ancaman hukuman terhadap tersangka) sudah menegaskan, terhadap proses hukum menjadi batal demi hukum. 

Dalam bacaan lain ditegaskan, terhadap proses hukum pidana, diutamakan untuk mematuhi hukum acara pidana sebelum memeriksa dan mengadili materi perkara yang dituduhkan. Begitu pentingnya, pemberian bantuan hukum, maka “bantuan hukum” menjadi pekerjaan yang melekat kepada advokat. 

Didalam UU No. 18 tahun 2003, seorang advokat tidak dibenarkan untuk menolak perkara dengan alasan tidak ada biaya. 

Adagium ini kemudian menjadi pekerjaan advokat menjadi pekerjaan yang luhur (officium nobile). Tidak adanya biaya dari pemberi kuasa tidak menjadikan pekerjaan yang ditangani advokat menjadi serabutan. 

Seorang advokat harus memberikan prioritas yang sama baik kepada perkara yang diberikan klien yang mampu maupun pemberi kuasa yang kurang mampu. Ujaran inilah yang sering disalahtangkap dalam praktek peradilan. Advokat yang ditunjuk oleh negara (dalam setiap tingkatan proses hukum), membuat para penyidik, jaksa penuntut umum maupun hakim, sering mengabaikan hak-hak tersangka. 

Seorang tersangka yang sudah didampingi advokat, sering diperlakukan tidak sesuai dengan prosedural. 

Pemeriksaan di malam hari, pemeriksaan dimuka persidangan yang terus dilakukan tanpa didampingi advokat merupakan praktek yang sering terjadi. 

Alasan klise yang sering diberikan, karena ini kasus yang mudah pembuktian, maka tidak perlu bertele-tele dan sering kali mengabaikan hak-hak tersangka. 

 Disisi lain, harus diakui, bertumpuknya advokat tinggal di kota besar menjadi persoalan tersendiri. Di kota-kota Kabupaten, praktis, advokat masih dihitung dengna jari. 

Bahkan dalam kasus-kasus yang harus memerlukan pendampingan advokat (baik karena kasus tersebut menarik perhatian publik maupun kurangnya akses mendapatkan keadilan dari tersangka), proses hukum hukum acara sering diabaikan. 

Sehingga berbagai kasus yang sering diputuskan baik karena ketidakmengertian para tersangka, hukum acara yang tidak tepat masih mewarnai berbagai putusan pengadilan yang sering terjadi. 

Kesalahan menerapkan hukum acara, putusan yang terjadi terhadap Sengkon dan Karta, terdakwa palsu, rekayasa kasus masih menghiasia media massa. 

 Di kalangan advokat sendiri, porsi pendampingan kasus probono masih menjadi persoalan klasik. 

Rutinitas pekerjaan advokat membuat, porsi yang diberikan masih minor. Selain karena kurangnya pendalaman perkara, terjebak dengan slogan “tersangka sudah mengaku, tidak perlu pembuktian lagi” masih menjadi pembicaraan sehari-hari. 

Maka mudah dimengerti, selain karena akibat kemiskinan yang dihadapi tersangka, akses mendapatkan keadilan ditambah dengan sikap advokat yang cenderung mengabaikan kasus probono. 

PERADI sebagai induk organisasi advokat, praktis tidak pernah menerima pengaduan tersangka akibat kurangnya pembelaan dari advokat. 

 Sudah saatnya, reformasi dibidang hukum juga dimulai dari penghormatan para tersangka, pemberian bantuan hukum yang maksimal dan tentu saja pencari keadilan yang dibutuhkan dari tersangka. 


 Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 31 Maret 2011