25 Maret 2011

opini musri nauli : CATATAN TERCECER PDLH V WALHI JAMBI - Dari Simbol menjadi mainstream


Usai sudah PDLH V Walhi Jambi tanggal 23-24 Maret 2011. 
Sebagai sebuah hajatan konstitusi Walhi Jambi, PDLH merupakan mekanisme pertanggungjawaban seluruh komponen Walhi Jambi dalam forum anggota Walhi Jambi. Dewan Daerah dan Direktur Eksekutif Walhi Jambi memaparkan keberhasilan dan harapan kedepan. 

Dewan Daerah dan Direktur Eksekutif juga memaparkan berbagai perkembangan organisasi dan informasi terkini menghadapi berbagai problematika pengelolaan lingkungan yang cenderung mengabaikan hak-hak rakyat. Issu “hutan desa”, “REDD”, “RSPO”, advokasi kasus rakyat, koalisi dengan berbagai stakeholders dalam menyikapi berbagai persoalan merupakan tematik paling hangat dibicarakan. 

Selain juga berbagai reposisi Walhi dalam mengikuti pertarungan dan percaturan lokal di Jambi. Sebagai sebuah mekanisme pertanggungjawaban, PDLH juga melahirkan visi dan arah perjuangan Walhi Jambi. 

Resolusi yang dihasilkan merupakan bentuk baru dari perjalanan panjang Walhi Jambi. Resolusi ini merupakan respon nyata dari Walhi Jambi sebagai perwujudan statuta dalam issu lokal berhadapan dengan sikap organisasi Walhi dalam pertarungan issu lingkungan hidup. 

 Dari dimensi inilah, maka sebagai komponen Walhi Jambi, penulis berkesempatan menjadi bagian dari sejarah Walhi Jambi mengikuti dan bertarung gagasan. Sebagai organisasi publik, penulis bertanggungjawab untuk menyampaikan berbagai gagasan menjadi perdebatan organisasi kepada publik. 

Sikap ini diambil, selain memudahkan mengikuti pertarungan di Walhi, pertarungan pemikiran juga didasarkan kepada organisasi yang bersifat terbuka dari berbagai kritikan juga dilandasi sebagai catatan sejarah perjalanan Walhi Jambi. 

PERJALANAN WALHI JAMBI 1998-2008 

 Sebagai organisasi yang lahir di alam reformasi, Walhi Jambi merupakan respon nyata dari persoalan konflik kelapa sawit di Propinsi Jambi. 

Issu sejuta hektar pembangunan kelapa sawit yang merupakan program ambisius dari Gubernur Jambi awal tahun 2000 telah memantik protes berbagai kalangan. Walhi Jambi yang paling keras menentang program ini kemudian diprotes dan dianggap menghambat pembangunan dan pekerjaan dari Gubernur Jambi yang baru terpilih. 

Issu ini kemudian ditentang dan mendapat dukungan internasional. Internasional kemudian menentang dan kemudian menjadi agenda internasional. Program ini kemudian berhasil digagalkan dan merupakan prestasi tersendiri bagi Walhi Jambi. 

Namun, penghentian issu program sejuta hektar pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak serta merta pembangunan perkebunan kelapa sawit menjadi terhenti. Pemberian izin terhadap pembangunan kelapa sawit masih terus berlangsung dan menimbulkan konflik yang laten yang terus terjadi. 

Bahkan pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak menyelesaikan berbagai sengketa yang belum terselesaikan peninggalan pemerintahan orde baru. Data-data yang dipaparkan dapat menjelaskan berbagai konflik yang berkaitan dengan konflik perkebunan besar Kelapa Sawit. Pembakaran PT. DAS bulan November 1998 di Tungkal Ulu, Kabupaten Tanjung jabung (kemudian setelah daerah pemekaran bernama Tanjung jabung barat). 

Kemudian disusul pembakaran PT. Tebora januari 1999 di Muara Bungo. September 1999 pembakaran PT. KDA di Bangko dan Januari 2000 pembakaran PT. Jamika Raya di Muara Bungo. Bahkan pada April 2002 juga terjadi pembakaran PTPN VI di Bungo dan pembakaran PT. DIPP Desember 2006 di Sarolangun. Hampir praktis tiap daerah telah terjadi pembakaran. Baik itu di Tanjung Jabung, Bungo, Bangko dan sarolangun. 

Artinya, hampir tiap daerah telah terjadinya pembakaran oleh masyarakat terhadap perusahaan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Kedua, rentang waktu yang hampir selalu terjadi setiap tahun. 

Artinya, konflik yang terjadi tidak diantisipasi di daerah lain. Yang ketiga cara-cara penyelesaian yang masih cenderung menggunakan cara-cara represif dan tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Artinya. Pemerintah setelah reformasi tidak berusaha menyelesaikan sengketa tanah dan cenderung membiarkan sehingga terjadi terus menerus antara daerah satu dengan daerah lain. Dengan demikian, daerah-daerah yang telah terjadi pembakaran perusahaan tidak diselesaikan dngan masyarakat sekitar pembangunan tersebut. 

 Dari perjalanan ini, peran Walhi Jambi sebagai respon nyata konflik perkebunan besar Kelapa sawit. HUTAN DESA – Tarik menarik Konsepsi Negara dan Hak kelola rakyat Salah satu issu yang paling “menyita” terkait issu “hutan desa”. 

Pertimbangan Walhi Jambi mengambil sikap mengusung hutan Desa didasarkan kepada a. regulasi yang mengatur tentang hutan adat dan teknis pengaturannya belum ada didalam Kementerian Kehutanan dan berbagai departemen lainnya.; b. Wilayah kelola adat termasuk kedalam hutan produksi yang bisa dijerat dengan UU Kehutanan; c. Adanya pengelolaan yang arif didalam menata dan mengelola hutan oleh rakyat sehingga model ini bisa dijadikan salah satu bahan untuk mematahkan argumentasi rakyat tidak bisa mengelola hutan. d. Adanya dukungan dari Pemerintah Daerah yang mendukung pengusulan hutan Desa seluas 49.512 ha terletak 17 Desa. e. Dicabutnya izin PT. DAM dan status quo terhadap areal yang diberi izin PT. DAM sehingga harus dicari rumusan yang jelas terhadap penataan pengelolaan hutan. 

 Dengan pertimbangan tersebut, Walhi Jambi mengusung hutan Desa menjadi debate wacana nasional. Pertarungan apakah, Walhi kemudian dan mendukung sistem klaim negara berhadapan dengan fakta-fakta bahwa terhadap klaim-klaim rakyat berhadapan dengan UU No. 41 tahun 1999 dan cenderung dikriminalisasi oleh aparat penegak hukum. Dalam dimensi ini, kemudian, Hutan Desa yang diusung oleh Walhi Jambi bukan didasarkan kepada mendukung sistem pengelolaan hutan oleh negara, namun harus dibaca, bahwa “merebut hak kelola” didasarkan kepada pengamanan terhadap klaim-klaim adat dan harus dimensi pengelolaan dan pengaturan yang berangkat kepada perlindungan sumber daya alam. 

Dalam dimensi ini, kemudian, harus dilihat, hutan Desa sebagai bentuk regulasi melindungi klaim adat harus dibaca dan dimaknai bukan mendukung sistem pengelolaan hutan yang ditawarkan oleh negara, namun, pola pengaturan yang telah dijalani masyarakat komunal adat di dalam hutan Desa merupakan salah satu bentuk model pengelolaan oleh rakyat. 

 Dari dimensi inilah, kemudian Walhi Jambi melihat rumusan hutan Desa juga dibaca dan dimaknai sebagai hutan adat yang telah dikelola oleh rakyat dimana nilai-nilai ini tidak bertentangan dengan sikap politik Walhi didalam position paper, konstitusi dan statuta dan nilai-nilai perjuangan Walhi. 

 Namun sikap yang diambil Walhi Jambi mengalami berbagai hambatan. Dalam diskusi nasional, selain menjelaskan berbagai pihak terhadap posisi Walhi Jambi kepada Walhi Nasional dan berbagai jaringan nasional lainnya. 

Tuduhan Walhi Jambi mendukung negara yang cenderung fasis dalam pengelolaan hutan, juga tuduhan Walhi Jambi melakukan kerja-kerja dan pesanan LSM asing. 

Tuduhan serius ini kemudian terbantahkan dengan proses waktu dan dengan kerja-kerja advokasi. 

 Rumusan dan sikap yang diambil dengan mengusung hutan Desa kemudian dibahas didalam forum KDLH tahun 2009 dan tahun 2010. 

Rumusan ini kemudian menjadi keputusan organisasi. 

 DARI SIMBOL MENJADI MAINSTREAM 

 Dalam periode 2008-2011, Walhi Jambi membangun koalisi dengan berbagai LSM dalam berbagai issu. Tahun 2009 membangun Koalisi dengan 18 lembaga menolak pemberian izin kepada PT. DAM di Kabupaten Merangin. 

Upaya ini berhasil dan pemberian izin dicabut oleh Kementerian Kehutanan. Tahun 2010, membangun koalisi dengan 4 LSM (LTB, Walhi Jambi, Warsi, SSS Pundi) yang dikenal dengan nama PMKM (Poros Masyarakat Kabupaten Merangin). Koalisi ini cukup effektif dengan membuat draft pengusulan hutan Desa dan menjadi bahan bagi pemerintah Daerah kabupaten Merangin mengusulkan hutan Desa ke Kementerian Kehutanan. 

Koalisi ini cukup diperhitungkan, karena menjadi persoalan nasional, dan pengusulan hutan Desa menjadi sorotan Indonesia selain karena luasnya pemberian izin hutan Desa (seluas 49.512 ha), hutan desa yang diusulkan oleh PMKM menjadi rujukan berbagai riset untuk hutan desa. 

 Tahun 2010 juga dibangun koalisi Jauh’S (Jaringan advokasi untuk Hutan Sumatera). Koalisi ini mendukung perlawanan masyarakat Pemayungan Kabupaten Tebo dari penggusuran PT. LAJ. 

Koalisi ini merupakan sebuah peristiwa penting, karena hipotesis LSM yang sebelumnya hanya berkonsentrasi kepada upaya konservatif semata kemudian gagal melindungi masyarakat lokal. 

Tema yang ditawarkan oleh Walhi didalam mengelola sumber daya alam yang berkonsentrasi terhadap pekerjaan advokasi menemukan ruang yang effektif sekaligus membantah dalil konservasi yang dilakukan oleh negara. 

Peristiwa ini kemudian mengilhami dan menjadi arah yang jelas yang ditawarkan oleh Walhi sehingga momentum ini merupakan sejarah penting bagi pengelolaan sumber daya alam. Peristiwa ini kemudian berhasil membangun koalisi yang effektif dengan Warsi dalam aksi Hari Tani 2010, dan advokasi kasus Senyerang. 

 Tiga koalisi yang dibangun Walhi Jambi merupakan tesis yang menarik untuk didiskusikan. Sebagai organisasi yang mengikrarkan diri sebagai “organisasi advokasi lingkungan hidup, pertarungan gagasan mainstream “konservasi” vis “advokasi” menemukan medan pertarungan sesungguhnya. 

Sebagian kalangan yang mengikrarkan diri sebagai organisasi lingkungan yang berangkat dari pemikiran “konservasi” berhadapan dengan negara yang gagal “memproteksi” kawasan lingkungan hidup. Konsepsi “konservasi” yang dianut negara dan menjadi alat legitimate didalam rumusan UU No. 5 tahun 1990 terbukti gagal. 

Konsepsi “konservasi” ternyata digunakan sebagai alat effektif mengamankan berbagai investasi yang secara nisbi meminggirkan masyarakat. 

 Berangkat dari konsepsi dan definisi Taman Nasional sebagaimana diatur didalam UU No. 5 Tahun 1990 merupakan salah satu faktor yang membentuk paradigma negara dengan masyarakat yang terdapat didalam kawasan Taman Nasional dan desa-desa sekitar hutan. 

Masyarakat yang selama ini berada dalam kawasan dan desa-desa sekitar hutan menganggap bahwa pengelolaan sumber daya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. 

Masyarakat mempunyai pola dan tata cara untuk mengatur, melindungi dan mempertahankan sumber daya alam tersebut. Bayangkan, sebelum Indonesia merdeka, masyarakat yang berada didalam kawasan Taman nasional maupun di sekitar Taman Nasional telah mempunyai pengelolaan terhadap kawasan sumber daya alam dan terbukti mampu mencegah kerusakan hutan. 

Masyarakat secara arif dan terbukti mampu menjaga kelestarian secara berlanjut (sustainable). Maka sungguh tidak dimengerti bagaimana adanya anggapan bahwa masyarakat yang berada dalam kawasan didalam taman nasional dan desa sekitar hutan harus terpisahkan dari Taman Nasional. 

Dengna kata lain, pandangan yang menganggap bahwa masyarakat yang tidak terpisahkan dalam pengelolaan sumber daya alam berhadapan dengna pandangan negara yang “memproteksi” Taman Nasional dari kehidupan manusia. Dari ranah ini konsep yang ditawarkan adalah “Taman nasional adalah kawasan yang tidak terpisahkan dari masyarakat yang dimanfaatkan untuk kehidupan, penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan dan menunjang budidaya. 

Kriteria memasukkan klausul kata-kata “adalah kawasan yang tidak terpisahkan dari masyarakat” merupakan identitas dan sikap yang harus dirumuskan didalam revisi UU No. 5 Tahun 1990. 

 Selain daripada berbagai konsepsi dasar seperti paradigma pengelolaan sumber daya alam dan rumusan hak asasi manusia yang termaktub didalam revisi UU NO. 5 tahun 1990, maka negara berkewajiban untuk melindungi kawasan konservasi dengan berbagai bentuk konkrit. 

Bentuk-bentuk seperti memberikan nilai tambah kepada masyarakat untuk mengelola hasil hutan dan memprioritaskan hasil-hasil non hutan, juga mengakuai keberadaan masyakat adat yang terdapat didalam kawasan hutan dan desa-desa sekitar hutan. Kewajiban ini melekat sebagai bentuk tanggung jawab negara didalam mengelola sumber daya alam dan melindungi keberlangsungan lingkungan. 

 Selain itu juga, UU No. 5 tahun 1990 yang berangkat paradigma negara yang mengadopsi dari konsepsi Taman Nasional di berbagai negara terutama dari Amerika. Apabila kita perhatikan konsepsi Taman nasional dari Amerika, maka yang utama konsepsi ini mempunyai paradigma “proteksi” terhadap kawasan Taman Nasional. 

Ini didasarkan bahwa Amerika menganggap perlunya “proteksi” Taman Nasional adanya kebutuhan menjaga kawasan dengan pertumbuhan masyarakat yang semakin cepat dan semakin tingginya polusi. 

Konsepsi ini tepat diberlakukan di Amerika selain karena penduduknya sudah masuk kedalam era industrialisasi yang tidak berinteraksi dengan kawasan Taman Nasional, konsepsi ini adalah jalan keluar terhadap “proteksi” taman nasional. Namun menjadi ironi apabila konsepsi ini ditelan mentah-mentah dalam konsepsi UU No. 5 Tahun 1990 didalam rumusan pasal 1 butir 14 UU No. 5 Tahun 1990. Perbedaan konsepsi yang berbeda latar belakang dan kebutuhan yang tidak sesuai dengan tipologi dan roh dari masyarakat Indonesia yang tidak terpisahkan dari sumber daya alam mengakibatkan konflik antara aparatur negara didalam “proteksi” kawasan Taman Nasional dengan masyarakat didalam kawasan rakyat dan masyarakat sekitar kawasan taman nasional. Dengan demikian, titik pangkal persoalan konflik masyarakat dengan aparatur negara dalam memproteksi kawasan Taman Nasional bermula dari konsepsi pandangan negara dalam rumusan pasal 1 butir (14) UU No. 5 Tahun 1990. 

Oleh karena itu merupakan perjuangan panjang dari aktivis lingkungan untuk merumuskan konsepsi taman nasional dengna memasukkan klausula ““yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia”, sehingga rumusan pasal 1 butir 14 menjadi “bahwa sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia”. 

 Dari konsepsi ini kemudian melahirkan koalisi menolak PT. DAM. Koalisi PMKM, Koalisi Jauh’S sebagai issu terkini “hak kelola rakyat vis pengelolaan negara. 

Dari dimensi ini, hipotesis Walhi sebagai “organisasi advokasi lingkungan hidup” mulai mendapatkan tempat dari ranah mainstream dan dukungan. Sehingga sebelumnya Walhi Jambi sebagai simbol pengelolaan lingkungan hidup kemudian beranjak menjadi mainstream pengelolaan sumber daya alam. 

 PENUTUP 

Terlepas dari hasil dari PDLH V Walhi Jambi, terlepas dari terpilihnya Direktur Eksekutif dan Dewan Daerah Walhi periode 2011-2015, pekerjaan yang telah dihasilkan tidak menjadikan Walhi Jambi ternina-bobo dan larut sanjungan dan kemenangan. Pertarungan sesungguhnya akan dimulai dengan mempersiapkan berbagai pranata keorganisasian dan memasuki pertarungan nyata di tengah masyarakat. Sebagai pribadi, saya mohon pamit kepada teman-teman Walhi Jambi. 

Saya menyadari, sikap saya meledak-ledak, kritis terhadap sikap politik Eksekutif Walhi Jambi dan berbagai komponen termasuk staf sering menimbulkan persoalan pribadi. Saya memahami, selain karena sikap kritis didasarkan agar Walhi Jambi menjadi pioneer didalam issu lingkungan hidup, sikap ini juga didasarkan kepada pribadi saya yang cenderung terbuka terhadap berbagai gagasan dan cenderung menawarkan gagasan baru didalam melihat Walhi Jambi. 

Dari ranah ini, saya baru menyadari, menawarkan gagasan tidak sesederhana yang saya bayangkan. Butuh konsistensi, waktu, disiplin terhadap gagasan dan berbagai perangkat menuangkan gagasan. 

Pelajaran penting ini terlalu sayang saya lewatkan. Namun sebagai komponen Walhi Jambi, saya “tidak akan” pernah pamit terhadap Walhi Jambi. 

Saya akan tetap bersuara dan kritis terhadap Walhi Jambi. 

 Viva Walhi Jambi