30 Maret 2011

opini musri nauli : Oleh-oleh dari Bumi Raflesia



Usai sudah perjalanan panjang Jambi-Bengkulu-Seluma. Setelah putusan pidana terhadap 20 orang dalam kasus PTPN VII dan disusul 6 orang dalam kasus PT. Famia, kini saatnya saya secara formal mengucapkan selamat tinggal kepada teman-teman yang rela menemani saya mendampingi proses hukum terhadap “pejuang”. 

 Perjalanan memakan waktu hampir 5 bulan, merintangi perjalanan Jambi-Bengkulu-Seluma, terkapar di jalanan karena mobil rusak, terdampar di jalanan semalaman karena jalan yang macet di Kepahiang dan berbagai suka dan duka perjalanan di daerah. 

Belum lagi, mesti harus cari mobil sewaan (rental) karena tidak tersedianya tiket, harus berangkat malam hari karena mesti menyelesaikan urusan di Jambi atau harus mencari supir pengganti. 

Semuanya merupakan duka sekaligus suka yang melewati waktu panjang perjalanan Jambi-Bengkulu-Seluma. 

 Perjalanan bermula disaat saya datang ke Bengkulu bertemu dengan wajah optimis “pejuang” petani dan mereka yang mempertahankan hak-haknya. Segala canda riang, bergurau menemani perjalanan panjang. Dari Penago, Pring Baru, Tais, Pasar Seluma, Taba merupakan daerah-daerah yang praktis tidak pernah terpikir didalam pikiran saya, daerah yang menjadi daerah perjalanan. Bertemu dengan rekan-rekan Walhi Bengkulu yang “konsistensi” berjuang bersama masyarakat di Bengkulu. 

Bertemu dengan masyarakat selain berjuang melawan hidup juga berjuang akibat “salah urus” negara didalam menata dan mengelola sumber daya alam. Perjalanan berlanjut, disaat bersamaan, ketika perjuangan di ranah advokasi berbelok menjadi persoalan “litigasi”. 

Perjuangan mendapatkan “hak” kemudian “digeser” menjadi persoalan kriminalisasi. Kriminalisasi terhadap “pejuang” dengan menggunakan pasal-pasal karet yang lentur dan gampang diterapkan masyarakat. Pasal-pasal selain masih peninggalan kolonial Belanda (Baca pasal 170 KUH) juga menggunakan UU Perkebunan yang secara prinsip “sami mawon” dengan sistem “cultuurdel steel” tanam paksa pada awal abad 20-an. Seluruhnya disidangkan di Pengadilan Negeri Tais, sebuah Kabupaten Pemekaran tahun 2004 di Bengkulu. TABA-PRING BARU VIS PTPN VII Dalam kasus masyarakat Pring Baru dan Taba berhadapan dengan PTPN yang menggunakan UU Perkebunan “lebih menitikberatkan” pemberangusan pejuang petani. 

 Para terdakwa dituduh melakukan perbuatan pidana disebabkan para terdakwa melakukan aksi menghentikan alat berat yang hendak melakukan penggusuran tanah warga. Dalam perkembangannya, “aksi menghentikan” alat berat digeser menjadi upaya pidana didalam menghalangi peremajaan kelapa sawit (replanting) PTPN VII. Sebuah upaya sistematis yang kemudian memaksa para terdakwa menjadi pesakitan dimuka persidangan. (http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa_lainnya/2011/02/02/brk,20110202-310768,id.html) 

 Terlepas daripada putusan Pengadilan Tais yang kemudian memvonis para terdakwa dengan hukuman 3 bulan 20 hari, dimensi problematika penerapan UU Perkebunan (baca Pasal 47 dan UU No. 21 UU No. 18 Tahun 2004) menimbulkan persoalan pembuktian secara serius dalam lapangan ilmu hukum pidana. Bahwa sebelum kita melihat pembuktian pasal 47 junto pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004, maka harus dicari rumusan dan suasana kebatinan (geistlichen hintergrund) yang meliputi segenap latar belakang lahirnya pasal-pasal, serta ruang lingkup perdebatan ketika pasal itu dirumuskan. 

 Dengan menggunakan pendekatan sejarah lahirnya UU Perkebunan yang bertujuan memberikan kepastian usaha perkebunan (suasana kebatinan/geistlichen hintergrund), penerapan UU menimbulkan problematika. 

 Didalam persidangan, telah dihadirkan Manager PTPN VII. Padahal menurut ketentuan pasal 98 UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perusahaan Terbatas junto UU No. 1 tahun 1995 telah dijelaskan. “Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan”. 

Dengan demikian, maka keterangan saksi Manager PTPN VII tidak mempunyai kapasitas sebagai saksi pelapor dalam dugaan tindak pidana sebagaiman diatur didalam pasal 47 junto pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004. Dengan melihat rumusan kata-kata “terganggunya usaha perkebunan” menyebabkan adanya klacht delicten absolut. Yang dimaksud dengan klacht delicten atau delik aduan adalah delik dapat dituntut apabila adanya suatu pengaduan dari orang yang merasa dirugikan atau “delicten allen op klachte vervolgbaar” atau “Antragsdelikte”. (Putusan MA. No. 57 K/kr/1968 tanggal 15 Februari 1969). 

Yang terganggu adalah perusahaan perkebunan yang bersangkutan. Dan yang “berhak menentukan terganggunya usaha perkebunan atau tidak” menurut pasal 98 UU No. 40 tahun 2007 adalah Direksi. 

 Bahwa kapasitas saksi pelapor didalam perkara ini begitu penting karena rumusan pasal 47 junto pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 adanya kata-kata “terganggunya usaha perkebunan”. Rumusan pasal ini sedikit ketat, agar yang terganggu adalah usaha perkebunan. 

Dalam rumusan lain, harus diterjemahkan sebagai Perusahaan perkebunan. Dengan berpedoman kepada ketentuan pasal 98 UU No. 40 tahun 2007, yang berhak melaporkan adalah Direksi dari perusahaan yang bersangkutan (aquo PTPN VII) 

 Dengan demikian maka kesaksian Manager PTPN VII tidak mempunyai kapasitas menjadi saksi pelapor. Pemeriksaan yang tidak memenuhi syarat klacht delict (delik aduan) dari korban atau orang yang disebut dalam pasal delik tersebut maka dakwaan tidak dapat diterima. 

 Maka terhadap saksi pelapor tidak memenuhi unsur sebagaimana didalam rumusan pasal 98 UU No. 40 Tahun 2007. 

Dengan demikian terhadap saksi pelapor tidak dapat bertindak dimuka hukum, maka harus dinyatakan “terganggunya usaha perkebunan” harus dinyatakan tidak dapat diterima. 

 Secara ringkas telah dijelaskan, Pasal 47 junto pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 menyatakan “ “melakukan tindakan berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan”.

 Penjelasan Pasal 21 “Yang dimaksud dengan tindakan yang mengakibatkan pada kerusakan kebun adalah suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan pada tanaman,antara lain, penebangan pohon, panen paksa, atau pembakaran sehingga kebun tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. 

Yang dimaksud dengan penggunaan tanah perkebunan tanpa izin adalah tindakan okupasi tanah tanpa seizin pemilik hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan tindakan lain yang mengakibatkan terganggunnya usaha perkebunan adalah, antara lain, tindakan yang mengganggu pekerja sehingga tidak dapat melakukan panen atau pemeliharaan kebun sebagaimana mestinya. Menurut berbagai sumber, Yang dimaksudkan dengan panen adalah “Dalam pertanian, panen adalah kegiatan mengumpulkan hasil usaha tani dari lahan budidaya”. Sedangkan yang dimaksudkan dengan “pemeliharaan” (1) Penyiangan, (2) Pemupukan (3) Pemangkasan, (4) Penjarangan. 

 Dengan menggunakan penjelasan pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004, maka perbuatan para terdakwa “aksi menghentikan alat berat” tidak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan sebagaimana diatur didalam pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004. 

Atau dengan kata lain, perbuatan para terdakwa yang melakukan “aksi menghentikan alat berat” tidak dapat dikualifikasikan tindakan yang mengakibatkan pada kerusakan kebun adalah suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan pada tanaman,antara lain, penebangan pohon, panen paksa, atau pembakaran sehingga kebun tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. 

 Melakukan “aksi menghentikan alat berat” tidak dapat dikualifikasikan melakukan perbuatan yang mengakibatkan penggunaan tanah perkebunan tanpa izin adalah tindakan okupasi tanah tanpa seizin pemilik hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Melakukan “aksi menghentikan alat berat” tidak dapat dikualifikasikan melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunnya usaha perkebunan adalah, antara lain, tindakan yang mengganggu pekerja sehingga tidak dapat melakukan panen atau pemeliharaan kebun sebagaimana mestinya. Sehingga tidak salah apabila dinyatakan, “aksi menghentikan alat berat” tidak mengakibatkan “terganggunya usaha perkebunan”. 

 Dengan demikian, fakta-fakta yang terungkap dimuka persidangan tidak terdapat perbuatan yang bertujuan “tindakan yang mengakibatkan pada kerusakan kebun adalah suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan pada tanaman,antara lain, penebangan pohon, panen paksa, atau pembakaran sehingga kebun tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya atau penggunaan tanah perkebunan tanpa izin adalah tindakan okupasi tanah tanpa seizin pemilik hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau tindakan lain yang mengakibatkan terganggunnya usaha perkebunan adalah, antara lain, tindakan yang mengganggu pekerja sehingga tidak dapat melakukan panen atau pemeliharaan kebun sebagaimana mestinya sebagaimana diatur didalam pasal 47 junto pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004. 

 Dalam lapangan ilmu hukum, tidak terdapat “means rea” atau “kehendak jahat” sehingga dengan demikian asas “geen straf zonder schul beginsel” atau “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu “Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea” tidak terbukti. 

 Sehingga sudah sah dan pantas menurut hukum apabila orang karena fakta-fakta atau keadaan-keadaan menunjukkan Ia patut dinyatakan tidak bersalah melakukan suatu tindak pidana (“als verdachte wordt aangemerkt degene te wiens aanzien uit feiten of omstadigheden een redelijk vermoeden van achuld aan eenig strafbaar feit voorvloit”). 

 Problematika inilah yang kemudian menimbulkan ketidakadilan. Secara kasat mata, perbuatan para terdakwa yang melakukan “aksi menghentikan alat berat” kemudian digeser menjadi perbuatan yang memenuhi kualifikasi perbuatan pidana sebagaimana diatur didalam pasal 47 junto pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004. 

 Penerapan UU Perkebunan kemudian menggeser hak kepemilikan warga masyarakat Pring Baru didalam memperjuangkan tanahnya yang digusur PTPN VII. Dari dimensi inilah, kemudian menjadi alat penindas dan menjadi algojo yang terbukti effektif didalam membungkam perlawanan masyarakat. 

 PASAR SELUMA VIS PT. Famiaterdio Nagara Sebagai bentuk menggeser persoalan substansi “perlawanan rakyat” akibat “salah urus” negara mengelola sumber daya alam dengan upaya kriminalisasi, maka “pejuang” perlawanan vis PT. Famiaterdio negara, maka diterapkan pasal 170 KUHP. Sebagaimana didalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Para terdakwa didakwakan melakukan perbuatan sebagaimana diatur didalam pasal 170 KUHP. 

Didalam KUHP dijelaskan Pasal 170 KUHP. (1) Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2) Yang bersalah diancam: (1). dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka; 

 Dengan melihat fakta-fakta persidangan, para terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan yang dituduhkan. Atau hakim justru ragu terhadap fakta-fakta persidangan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa (Jika setelah dihadirkan para saksipun hakim tetap ragu, maka hakim harus memutus bebas (in dubio proreo). 

 Namun terlepas hasil putusan (vonis) terhadap para terdakwa, penerapan pasal 170 KUHP paling banyak memakan korban. Dalam catatan penulis, di Jambi, pasal 170 KUHP berkorelasi dengan “kerusuhan massal” Apabila dilihat dari data yang telah dipaparkan diatas, maka terhadap potensi konflik telah merata hampir disetiap daerah di Propinsi Jambi. 

Terlepas dan peristiwa pengrusakan kantor Gubemur dan kantor Polda Jambi yang dilakukan oleh mahasiswa, peristiwa itu terjadi di daerah-daerah yang berkaitan dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Tahun 1998, pembakaran PT. DAS, April 1999 pembakaran PT. Tebora, September 1999, Pembakaran PT. KDA, Januani 2000, pembakaran PT. Jainika Raya, Januari 2000 dan pembakaran PT. DIPP, Desember 2006 selain juga pembakaran PTPN VI September 2002, pembakaran alat-alat PT. WKS Desember 2007 membuktikan bahwa dalam periode waktu dan rentang yang tidak lama, telah teijadi pembakaran di perusahaan. Bahkan pembakaran tersebut tidak hanya terjadi di satu daerah saja, namun telah melebar ke berbagai daerah. 

Selain dari pembakaran alat-alat PT. WKS, seluruh data-data yang dilampirkan merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Apabila kita perhatikan, maka seluruh peristiwa yang penulis paparkan, membuktikan bahwa terhadap pembangunan perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan konflik dengan masyarakat pemilik tanah. 

Konflik yang kemudian tidak diselesaikan oleh aparatur Pemerintah kemudian berakhir dengan pembakaran perusahaan ataupun alat-alat perusahaan sebagai bentuk kekesalan masyarakat pemilik tanah terhadap perusahaan yang telah mengambil tanah yang telah dikuasai oleh masyarakat. Pasal 170 KUHP lebih banyak diterapkan didalam peristiwa kerusuhan massal yang kemudian berakhir dengan kerusuhan.

 Pembuktikan pasal 170 KUHP terhadap para pelaku berbeda-beda. Di Pengadilan Negeri Kuala Tungkal dalam kasus pengrusakan PT. DAS tahun 1998, Pengadilan Negeri Muara Bungo dalam kasus PT. Tebora Thun 1999, Pengadilan Negeri Bangko dalam kasus Pengrusakan PT. KDA September 1999 dan Pengadilan Negeri Bungo dalam kasus PT. Jainika Raya Tahun 2000, Pengadilan Negeri Bungo dalam kasus PTPN VI serta Pengadilan Negeri Sungal Penuh dan Pengadilan Negeri Muara Tebo, hakim membuktikan kesalahan dan pertanggungjawaban terhadap pelaku masih meithat unsur yang dituduhkan. 

Namun terhadap putusan pengadilan Negeri Jambi terhadap kasus Cecep Suryana tahun 2001, hakim didalam menguraikan kesalahan dan pertanggungjawaban terdakwa didasarkan kepada terdakwa sebagai Komandan Lapangan. Pertimbangan hakim apabila dilihat dan teori kesalahan dan pertanggungjawaban maka menimbulkan problematika serius. 

 Sedangkan terhadap putusan Pengadilan Negeri Bangko dalam kasus pengrusakan PT. D1PP akan dilihat dan teori kesalahan dan pertanggungjawaban baik dilihar dai sistem hukum civil law maupun dalam sistem hukum common law. Pertinibangan hakini Pengadilan Negeri Bangko didalam menjatuhkan putusan yang mendasarkan kepada sifat perbuatan percobaan (poeging) maka penulis akan memaparkan dan Sifat Percobaan itu sendiri. 

 Sedangkan teori dan yunisprudensi yang digunakan didalam melihat penerapan hakim dalam menjatuhkan pasal 170 KUHP berbeda-beda. Terhadap putusan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal, Pengadilan Negeni Bungo, Pengadilan Tebo, pengadilan Negeni Sungai Penuh dan Pengadilan Bangko dalam kasus pengrusakan PT. KDA, hakim menggunakan teori peinidanaan. Dimana teori yang digunakan meggunakan prinsip kesalahan dan pertanggungjawaban. Namun terhadap putusan pengadilan Jambi dalam kasus Cecep Suryana menggunakan teori pertanggungjawaban komando. Dan terhadap putusan Pengadilan Negeri Bangko terhadap peristiwa pengrusakan PT. DIPP menggunakan teori percobaan. 

 Dengan memaparkan berbagai teori, yurisprudendi dan penerapan pasal 170 KUHP dalam berbagai konflik, maka penulis berkeyakina, penerapan pasal 170 KUHP cenderung “memberangus” terhadap perjuangan masyarakat. Dari dimensi ini, maka Pengadilan yang seharusnya menyelesaikan berbagai konflik di tengah masyarakat (baca antara masyarakat dengan perusahaan) justru menimbulkan problematika dalam penegakkan hukum. 

Dari dimensi ini, hukum gagal menciptakan keadilan. Hukum digunakan menciptakan “ketertiban” yang jauh dari keadilan. 

 Dengan memaparkan berbagai alasan yang telah disampaikan, penggunaan UU No. 18 Tahun 2004 dalam kasus TABA-Pring Baru vis PTPN VII dan Pasal 170 KUHP dalam kasus Pasar Seluma vis PT. Famiaterdio Nagara membuktikan hipotesis yang telah penulis sampaikan, hukum digunakan sebagai alat yang effektif “memberangus” perlawanan masyarakat terhadap perusahaan. 

Hukum digunakan sebagai kontrol dan menggeser persoalan substantif menjadi persoalan litigasi yang tidak menyelesaikan konflik di tengah masyarakat. Rudolf von Jhering melukiskan keadaan itu dengan ”…hukum itu munafik dan mitos belaka. Hukum itu Cuma bagus untuk dituliskan, tetapi praktiknya lain.” J.E Sahetapy pernah mengingatkan “Emil Bruner menulis ”Lijden is bitter, maar onrecht-vaardig lijden is dubbel bitter” (menderita adalah pahit, tetapi menderita karena ketidakadilan adalah luar biasa sangat-sangat pahit atau kejam).

 Terlepas dari paparan yang telah penulis sampaikan, terlepas dari putusan yang dijatuhkan kepada para terdakwa, penulis berkesempatan menyaksikan “peristiwa besar” perlawanan masyarakat terhadap “salah urus” negara didalam mengelola sumber daya alam. 

Penulis menjadi saksi dari sejarah yang akan menentukan sejarah. Mengutip pendapat Gunawan Muhammad. HUKUM BISA DISALAHKAN, TAPI TIDAK BISA DIKALAHKAN. 

 Dengan rendah hati, penulis mengucapkan terima kasih terhadap “kesaksian peristiwa besar” yang diberikan teman-teman Bengkulu. Terima kasih juga disampaikan, penulis sudah menjadi bagian dari sejarah besar itu.