28 April 2008

opini musri nauli : BANTUAN HUKUM

(Kritik dan Otokritik terhadap pasal 22 UU No. 18 Tahun 2003) 



 Sudah 5 tahun usia Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat. Usia yang seharusnya dikritisi terhadap berlakunya UU tersebut. 
Terlepas dari berbagai praktek peradilan yang “sering” digugat oleh berbagai kalangan, penulis menyoroti tentang UU Nomor 18 tahun 2003 terutama dengan pasal 22. 

Secara tegas pasal ini mencantumkan “advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”. UU Nomor 18 Tahun 2003 adalah salah satu “pengakuan negara” terhadap kiprah dan posisi advokat didalam sistem hukum di Indonesia. 

Sebelumnya, advokat hanya dikenal dalam sengketa hukum masyarakat Eropa (raad van justitie) dan secara kontras mengalami kemandekan di pengadilan pribumi (landraad). 

Jika bagi advokat Eropa dibuat pengaturan lanjutan berupa Reglement op de Rechtterlijk organisatie (RO) yang tujuannya mengintegrasikan fungsi advokat sebagai unsur penting dari administrasi peradilan secara keseluruhan, maka orang pribumi yang memberikan nasehat hukum (lazim disebut pokrol bambu) diatur dengan ketentuan seperti stbl 1927-496. (RUU Tentang Profesi Advokat dan Sejarah pengaturan Advokat di Indonesia, Binziad Kadafi, MaPPI-FHUI, 2000).

 Begitu sedikitnya perhatian negara tentang posisi advokat, walaupun secara tegas telah diatur didalam KUHAP, namun porsinya tidak seperti posisi seperti penegak hukum lainnya (Polisi, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim) didalam justice criminal system. 

Kita bisa lihat bagaimana posisi Hakim, Jaksa dan Polisi yang telah beberapa mengalami amandemen terhadap UU (terakhir, Polisi diatur didalam UU No. 2 tahun 2002, Kejaksaaan dengan UU Nomor 16 tahun 2004 dan Mahkamah Agung didalam UU no. 5 tahun 2004). 

 Dengan demikian, terlepas dari sejarah dan berbagai problematiknya, kehadiran UU No. 18 tahun 2003 disambut “bak bayi” yang sudah dilama ditunggu. 

Undang-undang ini juga secara tegas telah meletakkan posisi yang sejajar dengan penegak hukum lainnya sehingga posisi Advokat telah mendapat tempat (baik secara politik, karena telah diatur didalam UU, maupun secara hukum, karena advokat telah sejajar dengan penegak hukum lainnya). 

 Namun, yang sering dilupakan oleh kita bersama, bahwa pekerjaan sebagai advokat berbeda dengan pekerjaan lainnya. 

Sebagai bagian dari masyarakat hukum sebagaimana dasar konstitusi, advokat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat yang butuh bantuan hukum. 

Posisi ini yang membedakan dengan pekerjaan profesional lainnya. Istilah yang lebih tepat digunakan adalah Officium nobile. 

Yang secara harfia diterjemahkan adalah pekerjaan yang mulia. Dasar yang paling penting adalah “seseorang tidak boleh menerima perkara apabila tidak mempunyai dasar hukum. Dan seseorang tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada biaya. 

Di zaman Romawi sendiri, istilah ini sebenarnya lebih dikenal dengan nama prodeo atau pro bono. 

Di kalangan advokat lebih tepat digunakan istilah prodeo atau bantuan hukum cuma-cuma. 

Konsep cuma-cuma lebih tepat digunakan sebagai terjemahan pengakuan negara terhadap masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap keadilan dalam setiap proses hukum di Indonesia. 

Begitu banyaknya pembahasan tentang bantuan hukum cuma-cuma, maka pasal 22 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 telah meletakkan secara tegas dan menjadi pondasi dasar didalam melihat dan menempatkan advokat sebagai pilar keadilan di tengah masyarakat yang butuh bantuan hukum. 

 Terlepas dari konteks praktek yang sering dilakukan oleh advokat di Indonesia, kritik yang paling mendasar yang sering penulis sampaikan, bahwa bantuan hukum di Indonesia merupakan “hak” setiap warga negara Indonesia didalam mendapatkan proses hukum yang adil. 

Posisi yang tidak seimbang antara masyarakat (terutama yang miskin dan sulit terhadap akses keadilan) dengan negara dan pemodal, membuat masyarakat haruslah diberi ruang untuk mendapatkan keadilan, yang lebih tepat bantuan hukum didalam ranah “hak” bukan belas kasian. 

Makna “bantuan hukum” lebih tepat diterjemahkan didalam ranah “pengakuan negara” terhadap pemilik negara ini (baca rakyat). 

Makna “bantuan hukum” lebih tepat diletakkan pada konteks memahami, bahwa rakyat mendapatkan perlakuan yang sama didalam proses mendapatkan keadilan. Berangkat dari pemikiran ini, maka sesungguhnya, rakyat adalah pemegang kedaulatan terhadap Republik ini, rakyatlah yang memberikan seluruh darma baktinya untuk Republik ini. 

Bantuan hukum (legal aid) bagi orang miskin bukanlah belas kasihan, tetapi suatu hak mendasar manusia untuk memperoleh pembelaan hukum. 

Negara wajib menyediakan sarana bantuan hukum bagi masyarakat yang terbelit perselisihan hukum. 

Namun nyatanya, bantuan hukum hingga saat ini lebih banyak disediakan oleh kalangan Organisasi non Pemerintah (Ornop), gereja, dan serikat buruh, dimana negara tidak menyediakan kebutuhan masyarakat miskin yang membutuhkan ahli hukum untuk penyelesaian suatu perkara. 

Namun sungguh ironi, konsepsi bernegara dan berkorban yang telah dilakukan oleh rakyat ternyata tidak dirasakan oleh rakyat. 

Praktis, hampir seluruh sektor publik yang seharusnya mudah diakses oleh rakyat ternyata sangat sulit mendapatkannya. Air bersih, minyak goreng, rumah, pendidikan dan berbagai sektor lainnya menjadi sektor yang mahal dan sulit dijangkau. Posisi yang tidak seimbang ini juga memasuki sektor peradilan yang juga butuh biaya mahal dan cenderung membuat masyarakat “takut” berurusan dengan peradilan. 

Dari ranah ini, maka konsepsi “bantuan Hukum” diletakkan. Dan salah satu pelaku memperjuangkan konsepsi ini adalah advokat. 

Posisi yang mulia inilah yang menjadikan perjuangan penegakkan hukum merupakan bingkai keadilan yang tidak pernah berakhir. Dari konsepsi yang telah penulis sampaikan, maka sesungguhnya pasal 22 ayat 1 UU No. 18 Tahun 2003 haruslah diberi muatan yang bermakna nilai kejuangan. 

Dan dalam kesempatan ini, penulis menyadari, bahwa pasal ini ternyata tidak mengilhami didalam advokat menjalankan tugasnya. 

Masih banyak perlakuan yang berbeda yang diberikan oleh Advokat didalam perkara yang “mempunyai uang” dan tidak “mempunyai uang”. Dan masih banyak masyarakat yang “bingung” ketika harus mendapatkan keadilan. 

Masih banyak juga masyarakat yang juga bingung hendak kemana untuk mendapatkan keadilan. Masih banyak perkara di berbagai tingkatan proses hukum yang tidak didampingi advokat. 

Baik dengan alasan “mempercepat proses hukum” maupun tidak mau repot dengan proses hukum dengan adanya advokat. Secara kasat matapun, hampir praktis, tidak ada “tempat’ untuk advokat mendampingi. 

Baik di Pengadilan (hampir praktis dengan tidak adanya ruang tunggu Penasehat Hukum, kecuali bebeberapa pengadilan Negeri), di Kepolisian (tidak adanya bangku untuk advokat untuk mendampingi) maupun diberbagai tempat dimana advokat harus mendampingi. 

Dalam kejahatan-kejahatan yang harus didampingi (ancaman diatas 5 tahun, hukuman seumur hidup, hukuman mati), hampir sering terjadi, para tersangka menandatangani surat pernyataan kesediaannya untuk tidak didampingi, adanya ketakutan dari penegak hukum terhadap posisi advokat yang cenderung dijadikan alasan untuk memperlama proses hukum, hubungan yang tidak harmonis antara advokat dengan penegak hukum lainnya dan sebagainya. 

Contoh-contoh yang penulis sampaikan hanyalah catatan dari muara dari gunung es terhadap proses hukum yang tidak fair terhadap para pencari keadilan ditengah berbagai persoalan yang menghimpit di negeri ini. 

Secara jujur penulis mengakui bahwa terhadap penerapan pasal 22 ayat (1) UU No. 18 tahun 2003 masih jauh dari harapan.