30 Maret 2014

opini musri nauli : RPP GAMBUT “PELANGGARAN KONSTITUSI” OLEH PRESIDEN


Entah untuk mengakhiri Pemerintahan dengan manis, Presiden SBY mengeluarkan RPP TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT (dibaca RPP Gambut). RPP merupakan turunan dari UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32 Tahun 2009).

Secara sekilas, RPP Gambut merupakan “perintah” dari UU No. 32 Tahun 2009. Dengan alasan “bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11, Pasal 21 ayat (3) huruf f dan ayat (5), Pasal 56, Pasal 57 ayat (5), Pasal 75, serta Pasal 83 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, RPP ini dikeluarkan.

Padahal menurut UU No. 32 Tahun 2009, PP yang perlu dipersiapkan (1) Peraturan Pemerintah Mengenai inventarisasi Lingkungan hidup baik tingkat nasional, pulau dan regional, (2) Peraturan Pemerintah Mengenai penetapan wilayah ekoregion, (3) Peraturan Pemerintah Mengenai RPPLH, (4) Peraturan Pemerintah Mengenai Daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan. (5) Peraturan Pemerintah Mengenai KLHS, (6) Peraturan Pemerintah Mengenai Baku mutu lingkungan, (7)Peraturan Pemerintah Mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, (8) Peraturan Pemerintah Mengenai amdal, (9) Peraturan Pemerintah Mengenai izin Lingkungan Hidup, (10) Peraturan Pemerintah Mengenai Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, (11) Peraturan Pemerintah Mengenai Analisis Risiko Lingkungan Hidup, (12) Peraturan Pemerintah Mengenai Audit Lingkungna Hidup, (13) Peraturan Pemerintah Mengenai tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, (14) Peraturan Pemerintah Mengenai tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup, (15) Peraturan Pemerintah Mengenai dana penjaminan, (16) Peraturan Pemerintah Mengenai pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, (17) Peraturan Pemerintah Mengenai konservasi dan pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi atmosfer, (18)Peraturan Pemerintah Mengenai pengelolaan B3, (19) Peraturan Pemerintah Mengenai tata cara dan persyaratan dumping limbah, (20) Peraturan Pemerintah Mengenai tata cara pengangkatan pejabat pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan (21) Peraturan Pemerintah Mengenai sanksi administratif (22) Peraturan Pemerintah Mengenai lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup (24) Peraturan Pemerintah Mengenai hak gugat masyarakat (25) Peraturan Pemerintah Mengenai pelaksanaan penegakan hukum terpadu

Namun sejak tahun 2009 – 2014, Presiden baru mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 mengatur dua instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu instrumen kajian lingkungan hidup (dalam bentuk amdal dan UKL-UPL) serta instrumen Izin Lingkungan.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 merupakan pengganti PP 27 Tahun 1999 Tentang Amdal dengan penambahan berbagai pengaturan dan ketentuan perihal izin lingkungan.

Apabila kita melihat lahirnya PP No. 27 Tahun 2012 tanggal 23 Januari 2012, maka Presiden SBY sudah melewati waktu penerbitan PP yang merupakan mandat dari UU No. 32 Tahun 2009 paling lama 3 Oktober 2010.

Kembali ke pembahasan RPP Gambut, sebelum kita melihat relevansi PP, maka ada baiknya kita sejenak melihat makna yang yang hendak disampaikan didalam RPP Gambut.

Sebelum menetapkan RPP Gambut, kewajiban konstitusi Presiden SBY harus melakukan inventarisasi lingkungan hidup baik untuk nasional, pulau dan wilayah ekoregion. Dengan melakukan inventarisasi lingkungan hidup maka diharapkan dapat menyediakan informasi potensi dan ketersediaan, jenis yang dimanfaatkan, bentuk penguasaan dan pengetahuan pengelolaan, bentuk kerusakan dan konfli dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan. Pasal 6 UU PPLH sudah mengamanatkannya.

Ketersediaan informasi dan potensi gambut merupakan bentang alam yang tidak terjebak dengan wilayah administrasi kenegaraan.

Setelah dilakukan inventarisasi lingkungan hidup barulah ditetapkan kawasan nasional, kawasan pulau dan kawasan regional gambut.

Sebagai contoh. Kawasan Pantai timur Sumatera yang menyisir dari Riau, Jambi dan Sumsel tidak dapat bisa dipandang sebagai wilayah administrasi bentang alam tiga propinsi. Namun bentang alam yang seragam harus digunakan sebagai pendekatan wilayah regional gambut untuk pesisir Timur Sumatera.

Salah memandang” bentang alam pesisir timur Sumatera yang mengakibatkan berbagai persoalan dalam pengelolaan sumber daya alam.

Sebagai contoh, di Riau, Pulau Padang yang dikategorikan pulau kecil dan bergambut tidak boleh ada konsesi. Namun dalam prakteknya telah dibebani konsesi HTI1 dimana diberi konsesi di Pulau Padang sekitar 35.000 hektar dan Tebing Tinggi mencapai 60.000 hektar2

Di Jambi sendiri, Dengan luasan hutan gambut yang ada di Provinsi Jambi mencapai 736.224 hektar3, ekspansi HTI dan perkebunan kelapa sawit juga telah merusak 70 % kawasan gambut di 3 Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Muaro Jambi4. Kawasan gambut terus menerus dibebani konsensi dan telah kehilangan fungsi ekologis dengan signifikan dalam 1 dekade terakhir.

Belum lagi kejadian di Rawa Tripa dan kebakaran asap yang “menghebohkan” tahun 2013 di Riau dan Jambi dan tahun 2014 yang membuat Riau merasakan tidak melihat langit biru selama 6 bulan.

Pengalaman demi pengalaman seharusnya mengajarkan kita kembali ke makna tersurat dari UU PPLH yang secara tegas Presiden harus menetapkan kawasan wilayah regional.

Sebagaimana didalam “pertimbangan” RPP Gambut, menggunakan pendekatan pasal 11 UUPPLH, dimana PP yang mengatur tentang “turunan” pasal 11 UUPPLH, maka sebelum dilakukan pengaturan mengenai Gambut, Pemerintah harus menetapkan kawasan nasional gambut, kawasan regional gambut dan kawasan wilayah gambut.

Penetapan wilayah regional haruslah dipandang sebagai kesamaan (a). karakteristik bentang alam, (b). daerah aliran sungai, (c). iklim, (d). flora dan fauna, (e). sosial budaya, (f). ekonomi, (g). kelembagaan masyarakat, dan (h). hasil inventarisasi lingkungan hidup. Sebuah amanat yang secara tegas telah dicantumkan didalam UU PPLH

Sebagai amanat UUPPLH maka penetapan wilayah regional tidak tepat apabila kita sandingkan dengan
Pasal 22 RPP tersebut juga membedakan ketentuan kriteria baku kerusakan ekosistem berdasarkan fungsi, gambut lindung dan gambut budidaya.

Dengan “mengabaikan” penetapan kawasan regional gambut maka RPP Gambut “kehilangan” relevansinya.

Selain itu juga didalam pasal 35 RPP Gambut menjelaskan tentang sanksi administratif. Pasal 35 RPP Gambut “Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melanggar kriteria baku kerusakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dikenai sanksi administratif5.

Secara “sekilas” sanksi administratif telah diatur didalam UUPPLH. Namun yang “dilupakan” pelanggaran terhadap kriteria baku kerusakan yang telah diatur didalam UUPPLH merupakan tindak pidana kejahatan. Pasal 97 UUPPLH secara tegas menyatakan “Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan”

Sehingga tidak tepat apabila mandat UUPPLH yang mengkategorikan “Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan”namun didalam pasal 35 RPP kemudian dikenakan sanksi administratif.

Dengan melihat penjelasan yang telah disampaikan, maka RPP sudah kehilangan relevansinya. Selain memang Presiden SBY belum membuat PP Mengenai inventarisasi Lingkungan hidup baik tingkat nasional, pulau dan regional dan PP Mengenai penetapan wilayah ekoregion sebagai basis RPP Gambut, pengenaan sanksi administratif yang seharusnya sanksi pidana, penerbitan RPP Gambut sudah melewati waktu yang ditentukan pasal 126 UUPPLH6. Presiden SBY “diinstruksikan' membuat PP paling lama 3 Oktober 2010

Sehingga tidak salah kemudian RPP Gambut merupakan pelanggaran konstitusi yang cukup serius dilakukan Pemerintah.


1Ketentuan ini secara tegas diatur didalam UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
2Irsyadul Halim, Sekjend Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) dalam pertemuan Jaringan Masyarakat Gambut Sumatera, Palembang, Juli 2013.
3Wetland, 2010
4Walhi Jambi, 2013
5Sanksi administratif berupa (1) penghentian kegiatan yang menyebabkan perubahan muka air Gambut, (2) penghentian kegiatan yang menyebabkan tereksposnya sedimen berpirit, (3) penutupan saluran drainase, (4) melakukan rehabilitasi akibat pengurangan luas dan/atau volume tutupan lahan pada Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung, (5)dan/atau pencabutan izin lingkungan.

6Pasal 126 UUPPLH menegaskan “Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan”. UUPPLH disahkan tanggal 3 Oktober 2009.