Entah untuk mengakhiri
Pemerintahan dengan manis, Presiden SBY mengeluarkan RPP TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT (dibaca RPP Gambut).
RPP merupakan turunan dari UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32 Tahun 2009).
Secara sekilas, RPP
Gambut merupakan “perintah” dari UU No. 32 Tahun 2009.
Dengan alasan “bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11,
Pasal 21 ayat (3) huruf f dan ayat (5), Pasal 56, Pasal 57 ayat (5),
Pasal 75, serta Pasal 83 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Ekosistem
Gambut, RPP ini dikeluarkan.
Padahal menurut UU No. 32
Tahun 2009, PP yang perlu dipersiapkan (1) Peraturan Pemerintah
Mengenai inventarisasi Lingkungan hidup baik tingkat nasional, pulau
dan regional, (2) Peraturan Pemerintah Mengenai penetapan wilayah
ekoregion, (3) Peraturan Pemerintah Mengenai RPPLH, (4) Peraturan
Pemerintah Mengenai Daya dukung lingkungan dan daya tampung
lingkungan. (5) Peraturan Pemerintah Mengenai KLHS, (6) Peraturan
Pemerintah Mengenai Baku mutu lingkungan, (7)Peraturan Pemerintah
Mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, (8) Peraturan
Pemerintah Mengenai amdal, (9) Peraturan Pemerintah Mengenai izin
Lingkungan Hidup, (10) Peraturan Pemerintah Mengenai Instrumen
Ekonomi Lingkungan Hidup, (11) Peraturan Pemerintah Mengenai Analisis
Risiko Lingkungan Hidup, (12) Peraturan Pemerintah Mengenai Audit
Lingkungna Hidup, (13) Peraturan Pemerintah Mengenai tata cara
penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, (14)
Peraturan Pemerintah Mengenai tata cara pemulihan fungsi lingkungan
hidup, (15) Peraturan Pemerintah Mengenai dana penjaminan, (16)
Peraturan Pemerintah Mengenai pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup, (17) Peraturan Pemerintah Mengenai
konservasi dan pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi
atmosfer, (18)Peraturan Pemerintah Mengenai pengelolaan B3, (19)
Peraturan Pemerintah Mengenai tata cara dan persyaratan dumping
limbah, (20) Peraturan Pemerintah Mengenai tata cara pengangkatan
pejabat pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan
pengawasan (21) Peraturan Pemerintah Mengenai sanksi administratif
(22) Peraturan Pemerintah Mengenai lembaga penyedia jasa penyelesaian
sengketa lingkungan hidup (24) Peraturan Pemerintah Mengenai hak
gugat masyarakat (25) Peraturan Pemerintah Mengenai pelaksanaan
penegakan hukum terpadu
Namun sejak tahun 2009 –
2014, Presiden baru mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
2012 mengatur dua instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, yaitu instrumen kajian lingkungan hidup (dalam bentuk amdal
dan UKL-UPL) serta instrumen Izin Lingkungan.
Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 2012 merupakan pengganti PP 27 Tahun 1999 Tentang
Amdal dengan penambahan berbagai pengaturan dan ketentuan perihal
izin lingkungan.
Apabila kita melihat
lahirnya PP No. 27 Tahun 2012 tanggal 23 Januari 2012, maka Presiden
SBY sudah melewati waktu penerbitan PP yang merupakan mandat dari UU
No. 32 Tahun 2009 paling lama 3 Oktober 2010.
Kembali ke pembahasan RPP
Gambut, sebelum kita melihat relevansi PP, maka ada baiknya kita
sejenak melihat makna yang yang hendak disampaikan didalam RPP
Gambut.
Sebelum menetapkan RPP
Gambut, kewajiban konstitusi Presiden SBY harus melakukan
inventarisasi lingkungan hidup baik untuk nasional, pulau dan wilayah
ekoregion. Dengan melakukan inventarisasi lingkungan hidup maka
diharapkan dapat menyediakan informasi potensi dan ketersediaan,
jenis yang dimanfaatkan, bentuk penguasaan dan pengetahuan
pengelolaan, bentuk kerusakan dan konfli dan penyebab konflik yang
timbul akibat pengelolaan. Pasal 6 UU PPLH sudah mengamanatkannya.
Ketersediaan informasi
dan potensi gambut merupakan bentang alam yang tidak terjebak dengan
wilayah administrasi kenegaraan.
Setelah dilakukan
inventarisasi lingkungan hidup barulah ditetapkan kawasan nasional,
kawasan pulau dan kawasan regional gambut.
Sebagai contoh. Kawasan
Pantai timur Sumatera yang menyisir dari Riau, Jambi dan Sumsel tidak
dapat bisa dipandang sebagai wilayah administrasi bentang alam tiga
propinsi. Namun bentang alam yang seragam harus digunakan sebagai
pendekatan wilayah regional gambut untuk pesisir Timur Sumatera.
“Salah memandang”
bentang alam pesisir timur Sumatera yang mengakibatkan berbagai
persoalan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Sebagai contoh, di Riau,
Pulau Padang yang dikategorikan pulau kecil dan bergambut tidak boleh
ada konsesi. Namun dalam prakteknya telah dibebani konsesi HTI1
dimana diberi konsesi di Pulau Padang sekitar 35.000 hektar dan
Tebing Tinggi mencapai 60.000 hektar2
Di Jambi sendiri, Dengan
luasan hutan gambut yang ada di Provinsi Jambi mencapai 736.224
hektar3,
ekspansi HTI dan perkebunan kelapa sawit juga telah merusak 70 %
kawasan gambut di 3 Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung
Timur dan Muaro Jambi4.
Kawasan gambut terus menerus dibebani konsensi dan telah
kehilangan fungsi ekologis dengan signifikan dalam 1 dekade terakhir.
Belum lagi kejadian di
Rawa Tripa dan kebakaran asap yang “menghebohkan” tahun
2013 di Riau dan Jambi dan tahun 2014 yang membuat Riau merasakan
tidak melihat langit biru selama 6 bulan.
Pengalaman demi
pengalaman seharusnya mengajarkan kita kembali ke makna tersurat dari
UU PPLH yang secara tegas Presiden harus menetapkan kawasan wilayah
regional.
Sebagaimana didalam
“pertimbangan” RPP Gambut, menggunakan pendekatan pasal 11
UUPPLH, dimana PP yang mengatur tentang “turunan” pasal 11
UUPPLH, maka sebelum dilakukan pengaturan mengenai Gambut, Pemerintah
harus menetapkan kawasan nasional gambut, kawasan regional gambut dan
kawasan wilayah gambut.
Penetapan wilayah
regional haruslah dipandang sebagai kesamaan (a). karakteristik
bentang alam, (b). daerah aliran sungai, (c). iklim, (d). flora dan
fauna, (e). sosial budaya, (f). ekonomi, (g). kelembagaan masyarakat,
dan (h). hasil inventarisasi lingkungan hidup. Sebuah amanat yang
secara tegas telah dicantumkan didalam UU PPLH
Sebagai amanat UUPPLH
maka penetapan wilayah regional tidak tepat apabila kita sandingkan
dengan
Pasal 22 RPP tersebut
juga membedakan ketentuan kriteria baku kerusakan ekosistem
berdasarkan fungsi, gambut lindung dan gambut budidaya.
Dengan “mengabaikan”
penetapan kawasan regional gambut maka RPP Gambut “kehilangan”
relevansinya.
Selain itu juga didalam
pasal 35 RPP Gambut menjelaskan tentang sanksi administratif. Pasal
35 RPP Gambut “Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
melanggar kriteria baku kerusakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22, dikenai sanksi administratif5.
Secara “sekilas”
sanksi administratif telah diatur didalam UUPPLH. Namun yang
“dilupakan” pelanggaran terhadap kriteria baku kerusakan
yang telah diatur didalam UUPPLH merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 97 UUPPLH secara tegas menyatakan “Tindak pidana dalam
undang-undang ini merupakan kejahatan”
Sehingga tidak tepat
apabila mandat UUPPLH yang mengkategorikan “Tindak pidana dalam
undang-undang ini merupakan kejahatan”namun
didalam pasal 35 RPP kemudian dikenakan sanksi administratif.
Dengan melihat penjelasan
yang telah disampaikan, maka RPP sudah kehilangan relevansinya.
Selain memang Presiden SBY belum membuat PP Mengenai inventarisasi
Lingkungan hidup baik tingkat nasional, pulau dan regional dan PP
Mengenai penetapan wilayah ekoregion sebagai basis RPP Gambut,
pengenaan sanksi administratif yang seharusnya sanksi pidana,
penerbitan RPP Gambut sudah melewati waktu yang ditentukan pasal 126
UUPPLH6.
Presiden SBY “diinstruksikan' membuat PP paling lama 3 Oktober 2010
Sehingga tidak salah
kemudian RPP Gambut merupakan pelanggaran konstitusi yang cukup
serius dilakukan Pemerintah.
1Ketentuan
ini secara tegas diatur didalam UU No. 27 Tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
2Irsyadul
Halim, Sekjend Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) dalam
pertemuan Jaringan Masyarakat Gambut Sumatera, Palembang, Juli 2013.
3Wetland,
2010
4Walhi
Jambi, 2013
5Sanksi
administratif berupa (1) penghentian kegiatan yang menyebabkan
perubahan muka air Gambut, (2) penghentian kegiatan yang
menyebabkan tereksposnya sedimen berpirit, (3) penutupan saluran
drainase, (4) melakukan rehabilitasi akibat pengurangan luas
dan/atau volume tutupan lahan pada Ekosistem Gambut dengan fungsi
lindung, (5)dan/atau pencabutan izin lingkungan.
6Pasal
126 UUPPLH menegaskan “Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan
dalam Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan”. UUPPLH
disahkan tanggal 3 Oktober 2009.