Usai sudah “penantian
panjang” dari penumpang Malaysia Airline MH 370 yang hilang. Pernyataan
resmi dari Pemerintah Malaysia yang menganggap Malaysia Airline jatuh di
sebelah utara Perth, Australia. Titik jatuh dari jalur resmi perjalanannya.
Berbagai berita
saling berseliweran. Semula Malaysia “menuduh” pesawat di bajak
sekelompok teroris. Dengan “serius” tuduhan itu juga disampaikan ke
Pemerintah Indonesia dengan “mencatut” nama-nama penumpang yang bagian dari
teroris. Pemerintah Indonesia kemudian resmi mengajukan keberatan dan tidak
menganggap adanya tuduhan serius. Tuduhan ini kemudian menghantam berbagai
nama-nama ke negara Iran ataupun tuduhan lainnya.
Belum selesai
tuduhan itu, Pemerintah Malaysia meminta kepada negara-negara kepulauan Pasifik
untuk membantu pencarian. Bahkan skenario sampai ke Pulau Andaman hingga ke
Kazakhtan.
Sementara
keluarga penumpang “mulai kesal”. Berbagai informasi yang cenderung
tertutup diminta untuk dibuka. Selain memastikan perjalanan pesawat juga
sebagai bentuk membantu mengungkapkan berbagai informasinya.
Malaysia
kemudian panik. Berbagai manuver yang dilakukan justru membuat Pemerintah mulai
tersudut. Menghadapi persoalan ini justru Pemerintah mengeluarkan jurus aneh.
Meminta ke berbagai negara agar menyerahkan berbagai laporan radar kepada
Malaysia. Cara ini selain aneh dan mengundang keberatan dari negara-negara
Pasifik. Justru cara-cara ini menunjukkan Pemerintah Malaysia tidak menghormati
kedaulatan negara-negara. Selain itu juga, cara koordinasi Malaysia
mengakibatkan Malaysia semakin “diserang” oleh keluarga korban.
Persoalan
Malaysia mengingatkan penulis akan berbagai peristiwa kejadian “hilangnya”
pesawat Adam Air di Sekitar Pulau Sulawesi. Adam Air yang semula menolak
memberikan informasi namun kemudian tidak ada pilihan selain memenuhi
permintaan dari berbagai kalangan. Adam Air kemudian diketahui tenggelam di
sekitar Pulau Sulawesi, jalur yang tidak biasa ditempuh penerbangan domestik
komersil.
Cara menghadapi
persoalan mengenai pesawat dapat kita dalam pandangan Prof. Satjipto Rahadjo
didalam bukunya “BIARKAN HUKUM MENGALIR” telah menguraikan panjang lebar.
Ketika terjadi
kecelakaan pesawat terbang di Amerika yang menewaskan seluruh penumpang dan
awak pesawatnya, yang terjadi kemudian adalah proses litigasi dimana pengacara
si korban dan pihak asuransi berdebat meminta pertanggungjawaban maskapai dan
besaran ganti rugi yang harus ditanggung oleh pihak maskapai yang dibayarkan
kepada keluarga korban atau ahli waris.
Lain dengan
Jepang ketika kecelakaan pesawat terbang yang menewaskan seluruh penumpang dan
awak pesawatnya, yang terjadi kemudian adalah dimana pimpinan maskapai
penerbangan tersebut menunduk dan meminta maaf dalam-dalam terhadap keluarga
korban, kemudian pihaknya menanggung biaya penguburan dan pendidikan bagi
keluarga korban. Setelah proses santunan dan penguburan selesai dilaksanakan,
pimpinan maskapai mengundurkan diri.
Fenomena yang
terjadi di Amerika dan Jepang diatas memberikan sebuah contoh perilaku dan cara
menyelesaika sengketa dengan gaya masing-masing. Walaupun sama-sama sebagai
negara maju, tetapi dalam perilaku Amerika tetaplah Amerika yang selalu tetap
menekankan kebebasan dan individu. Jepang tentulah memiliki cara dan kekhasan
tersendiri seperti yang tercermin dalam peristiwa diatas.
Dengan
mengingatkan cara Indonesia menghadapi persoalan pesawat Adam Air, cara Jepang
dan Amerika menghadapi persoalan pesawat terbang, maka kita dapat melihat cara
Pemerintah Malaysia.
Pemerintah
Malaysia tidak terbiasa menghadapi berbagai polemik. Dengan sistem politik yang
bisa dikendalikan dengan ISA Act (semacam UU Subversi), tidak ada suara
keberataran dari publik di Malaysia. Pemerintah Malaysia bisa mengendalikan
baik suara kritis, media massa yang terbuka menyampaikan fakta hingga bisa
mengendalikan “sumber informasi” resmi dari Pemerintah. Informasi yang
disorting demi kepentingan dengan kedok nasionalisme.
Pemerintah “dianggap
pelit” baik memberikan informasi maupun pembiayaan yang akan timbul dalam
operasi mengungkapkan keberadaan pesawat yang hilang.
Sudah saatnya
Malaysia “berbenah” menghadapi putaran global yang menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, kejujuran, transparan dan keteladanan.
Baca : KISAH PESAWAT NEGERIKU