Judul
ini sengaja saya tulis untuk memprovokasi para jokowers atau anti
jokower. Sungguh. Dengan kesadaran yang paling dalam, saya memang
dipaksa memilih Jokowi.
Lalu
apakah saya silau dengan hasil-hasil survey ? Atau memang Pemilu
memang tidak luber lagi. Ah. Entahlah. Yang pasti saya dipaksa
memilih Jokowi.
Lalu
apa alasannya ? Apakah saya memilih dengna tidak kesadaran penuh.
Atau saya tidak memperhatikan informasi tentang Jokowi ?. Entahlah.
Yang pasti saya dipaksa memilih Jokowi.
Memang
Pilpres belum dimulai. Para Partai masih sibuk “mematut”
diri. Mereka “berhitung”, mengkalkulasikan “suara”
yang akan diraih, siapa partai yang hendak dibangun koalisi, partai
mana yang dianggap tidak jelas arah politiknya, partai mana yang
hasilnya cuma “desimal”. Ah. Entahlah. Entahlah. Yang
pasti saya dipaksa memilih Jokowi.
Namun
yang pasti, partai sudah mengeluarkan “putra terbaik”nya
untuk mengikuti Pilpres. Walaupun belum resmi dan memang belum
diresmikan oleh KPU, nama-nama yang beredar sudah bisa dibaca.
Ada
partai yang sudah baik dilihat dari jaringan, organisasi maupun
kader-kadernya. Namun ketika namanya disodorkan menjadi Capres,
kening kemudian berdenyit. Apakah dia memang pantas ? Ah. Malaslah
saya berdebat. Yang penting. Suara korban bencana tidak mungkin saya
abaikan.
Ada
partai yang dengan gagah berani, teriak berapi-api, seakan-akan
menghadapi “singa” di gurun. Namun “suka ngeles”
ketika diungkit masa lalu. Ah. Jadi malas.
Nah.
Ketika cuma Jokowi. Ya. Cuma Jokowi yang memberikan harapan. Maaf.
Yang bisa saya dapatkan cuma harapan.
Mengapa
cuma harapan ?
Dengan
harapan itulah, saya kemudian bisa tersenyum memandang Indonesia.
Negeri yang konon kataya disebut sebagai Jamrud Khatulistiwa.
Negeri
yang sering disebut “gemah ripah, loh jinawi, tata tentram,
kerta rahadjo”. Atau dalam seloko Jambi “negerinya elok. Padi
menguning, airnya jernih, ikannya jinak, padinya gepuk, ke aek cemeti
keno. Ke darat durian gugur'.
Dengan
harapan itulah, saya memandang Indonesia.
Dan
saya kemudian dipaksa memilih harapan itu.