01 April 2014

opini musri nauli : AKU DIPAKSA MEMILIH JOKOWI

Judul ini sengaja saya tulis untuk memprovokasi para jokowers atau anti jokower. Sungguh. Dengan kesadaran yang paling dalam, saya memang dipaksa memilih Jokowi.


Lalu apakah saya silau dengan hasil-hasil survey ? Atau memang Pemilu memang tidak luber lagi. Ah. Entahlah. Yang pasti saya dipaksa memilih Jokowi.

Lalu apa alasannya ? Apakah saya memilih dengna tidak kesadaran penuh. Atau saya tidak memperhatikan informasi tentang Jokowi ?. Entahlah. Yang pasti saya dipaksa memilih Jokowi.

Memang Pilpres belum dimulai. Para Partai masih sibuk “mematut” diri. Mereka “berhitung”, mengkalkulasikan “suara” yang akan diraih, siapa partai yang hendak dibangun koalisi, partai mana yang dianggap tidak jelas arah politiknya, partai mana yang hasilnya cuma “desimal”. Ah. Entahlah. Entahlah. Yang pasti saya dipaksa memilih Jokowi.

Namun yang pasti, partai sudah mengeluarkan “putra terbaik”nya untuk mengikuti Pilpres. Walaupun belum resmi dan memang belum diresmikan oleh KPU, nama-nama yang beredar sudah bisa dibaca.

Ada partai yang sudah baik dilihat dari jaringan, organisasi maupun kader-kadernya. Namun ketika namanya disodorkan menjadi Capres, kening kemudian berdenyit. Apakah dia memang pantas ? Ah. Malaslah saya berdebat. Yang penting. Suara korban bencana tidak mungkin saya abaikan.

Ada partai yang dengan gagah berani, teriak berapi-api, seakan-akan menghadapi “singa” di gurun. Namun “suka ngeles” ketika diungkit masa lalu. Ah. Jadi malas.

Nah. Ketika cuma Jokowi. Ya. Cuma Jokowi yang memberikan harapan. Maaf. Yang bisa saya dapatkan cuma harapan.

Mengapa cuma harapan ?

Dengan harapan itulah, saya kemudian bisa tersenyum memandang Indonesia. Negeri yang konon kataya disebut sebagai Jamrud Khatulistiwa.

Negeri yang sering disebut “gemah ripah, loh jinawi, tata tentram, kerta rahadjo”. Atau dalam seloko Jambi “negerinya elok. Padi menguning, airnya jernih, ikannya jinak, padinya gepuk, ke aek cemeti keno. Ke darat durian gugur'.

Dengan harapan itulah, saya memandang Indonesia.


Dan saya kemudian dipaksa memilih harapan itu.