Akhir-akhir ini saya
mendapatkan kesempatan untuk “berbagi pengetahuan” tentang
hukum lingkungan. Kesempatan yang tidak mungkin saya sia-siakan
sekaligus mengabarkan perkembangan kerusakan lingkungan yang semakin
rendah menuju ke titik nadir.
Kesempatan ini bermula
ketika kasus kabut asap1
semakin massif di Jambi tahun 2014 setelah mengulangi kejadian tahun
2013.
Berangkat dari persoalan
kabut asap kemudian saya diminta untuk dapat “membagi pengetahuan
di Kampus Fakultas Hukum Universitas Jambi dan di Kantor Walhi Jambi.
Selama 5 kali putaran diskusi.
Saya kemudian membagi
pengetahuan di Kampus Universitas Sahid Jakarta.
Walhi Jambi sudah
beberapa kali memulai putaran diskusi yang kemudian berujung terhadap
terlibatnya Walhi Jambi bersama-sama dengan Walhi Riau mengajukan
gugatan perbuatan melawan hukum Negara (onrechtmaatigoverdaad)
terhadap kabut asap tahun 2013.
Walhi yang mempunyai
legal standing (hak gugat organisasi lingkungan hidup)
kemudian meminta pertanggungjawaban Negara yang abai terhadap Hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (the rights to healthful
and deccen environement). Hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat telah tegas dicantumkan didalam pasal 28H ayat (1) UUD 1945
yang menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Walhi kemudian mengajukan
gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan para tergugat
dimulai dari Presiden, Menteri Lingkungan, Menteri Kehutanan,
Kapolri, dua gubernur yaitu Gubernur Riau dan Gubernur Jambi dan 11
Kepala Daerah.
Belum selesai disidangkan
kabut asap 2013, asap kembali berulah tahun 2014. Jambi, Sumsel dan
Kalteng mengalami kabut asap dan mengganggu berbagai kehidupan
masyarakat2.
Persoalan kabut asap
merupakan muara dari pengelolaan yang buruk di sector kehutanan dan
industry ekstraktif seperti perkebunan kelapa sawit dan tambang.
Hampir praktis, titik api
baik tahun 2013 maupun 2014 berada di konsensi perusahaan HTI dan
perkebunan kelapa sawit.
Dalam catatan Walhi,
sejak tahun 2006 terdapat 146.264 titik api. Tahun 2007 : 37.909
titik api. Tahun 2008 : 30.616 titik api. Tahun 2009 : 29.463 titik
api. Tahun 2010 : 9.898 titik api. Tahun 2011 : 22.456 ttk api.
Bahkan selama periode 13-30 Juni 2013, tercatat 2.643 jumlah
peringatan titik api
Angka-angka ini mewakili
kesuraman tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan
persoalan asap dari tahun-ketahun.
Padahal kebakaran Hutan
Indonesia di Tahun 1982 - 1983 merupakan kebakaran hutan/lahan
terbesar pertama di Indonesia.
Kebakaran tahun 1997 -
1998, terjadi di 23 propinsi (dari 27 propinsi di Indonesia pada
waktu itu). Hampir seluruh wilayah ASEAN terkena dampaknya.
Periode tahun 1999 –
2007, Kerugian dari kebakaran hutan dan lahan di tahun 2001 sampai
dengan tahun 2006 cukup besar. Di wilayah Sumatera, kerugian mencapai
US $ 7,8 milyar dan di wilayah Kalimantan mencapai US $ 5,8 milyar.
Gabungan keduanya telah mencapai separuh dari total kerugaian di
seluruh Indonesia3.
Pertanggungjawaban
Dalam berbagai rumusan
peraturan perundang-undangan, terhadap terjadinya kabut asap
menimbulkan pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban dapat berupa
pertanggungjawaban Negara (onrechtmaatigoverdaad) dan
pertanggungjawaban korporasi (onrechtmaatigdaad).
Dalam Konstitusi, pasal
28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat (the rights to healthful and deccen environemen)
merupakan hak asasi.
Deklarasi ini menegaskan
keterkaitan erat antara hak terhadap lingkungan yang baik dan sehat
dan hak pembangunan, seperti hak untuk hidup dalam kondisi yang layak
dan hak hidup dalam suatu lingkungan yang memiliki kualitas yang
memungkinkan manusia hidup sejahtera dan bermartabat.
Hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat ini menjadi penopang bagi hak-hak dasar manusia
lainnya.
HAL ini kemudian
diturunkan didalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sedangkan
pertanggungjawaban korporasi dapat dilihat menggunakan mekanisme
absolute liability4,
strict liability5
dan perbuatan melawan hukum (onrechtmaatigdaad)
Melihat rumusan diatas,
maka terhadap pelaku penyebab kabut asap mudah Dengan menggunakan
mekanisme Absolute liability, maka pemilik izin tidak dapat
menghindarkan atau pengecualian pertanggungjawaban.
Dengan melihat titik api
(hotspot) dan dilakukan overlay dengan peta, maka dapat ditentukan
letak titik api (hotspot) didalam sebuah kawasan sebuah izin (baik
perkebunan maupun kehutanan). Pemerintah kemudian bisa menyeret
pemilik izin untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Dalam pembuktian, tidak
perlu menentukan perbuatan melawan hukum (onrechmaatigdaad),
kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa). Beban
pembuktian ini dikenal dalam sistem hokum Eropa kontinental.
Sedangkan terhadap
kejahatan sektor sumber daya alam dengan cara pandang (mainstream)
sistem hukum Eropa kontinental harus ditinggalkan. Beban Pembuktian
harus bergeser kedalam sistem hokum anglo saxon. Paradigma yang
keluar dari ortodok dan konvensional menjadi beban pembuktian yang
simple, sederhana dan mudah dilaksanakan.
Dengan menggunakan
prasyarat absolute liability, maka pemilik izin bertanggungjawab
terhadap terjadinya kebakaran didalam izinnya.
Kebakaran yang di areal
kebakaran lahan (titik api) terjadi di wilayah izin perusahaan baik
perkebunan maupun Hutan Tanaman Industri (HTI). Pemerintah terkesan
tidak berkutik berhadapan dengan perusahaan.
Pemerintah dapat
memberikan sanksi kepada perusahaan yang tidak mampu menjaga
arealnya.
Lalu mengapa begitu sulit
dan belum banyak kabar ditangkapnya pelaku penyebab kabut asap ?
Pertanyaan itu yang
kemudian menggugah dan sering dipertanyakan dari mahasiswa.
Dengan melihat pemaparan
yang telah disampaikan, maka kemudian berbagai kelompok mahasiwa
berkeinginan untuk mendiskusikan lebih lanjut.
Saya kemudian
menyampaikan harapan. Agar persoalan lingkungan hidup semakin
mendapatkan tempat dalam kajian akademis, maka mahasiswa kemudian
akan menjadikan matakuliah hukum lingkungan untuk memotret persoalan
lingkungan hidup di sekitarnya.
Harapan saya kemudian
tersambung. Mahasiswa berharap agar dapat dilakukan diskusi-diskusi
lingkungan sehingga mahasiswa menjadi paham makna lingkungan hidup
bagi manusia.
Acara diakhiri dengan
penyerahan spanduk bertuliskan “Wellcome to Walhi” yang dipasang
di Kantor Walhi Jambi.
Selain itu juga
diserahkan bunga melati untuk mengingat buah tangan dari Mahasiswa
Fakultas Hukum UNJA.
Saya kemudian mengucapkan
terima kasih atas kedatangan mahasiswa ke Walhi dan mendiskusikan
tentang lingkungna hidup dan hukum lingkungan.
Saya berharap hubungan
ini dapat menumbuhkan bibit-bibit yang segera tunas untuk mengawal
agenda-agenda lingkungan di Jambi.
Sebelum menutup tulisan,
saya tidak lupa kepada Dr. Elita Rahmi dan Dr. Deni Bram yang
memberikan “ruang kelas” kepada saya untuk menyampaikan pandangan
saya.
Semoga hubungan dan
kerjasama ini dapat mempertajam gagasan dan menyemaikannya di dunia
kampus.
1
Saya sengaja menggunakan istilah kabut asap sebagai padanan
terjemahan dari istilah asing “haze” dalam pergaulan
internasional. Kata ini sengaja saya pilih dengan tekanan terhadap
dampak daripada penggunaan istilah “kebakaran hutan dan lahan
sebagaimana slogan yang sering kita dengarkan ketika terjadinya
kebakaran setiap tahun di Sumatera dan Kalimantan. Kata “kebakaran
hutan dan lahan” lebih menitikberatkan kepada penyebab bukan
dampak. Selain itu, istilah merupakan percakapan hubungan diplomatic
ketika rakyat Singapura dan Malaysia melakukan protes diterimanya
“ekspor asap” dari Indonesia tahun 2013. Mereka mendesak
Pemerintah Singapura untuk menegur
dengan keras
Indonesia yang menjadi penyebab mengeluarkan
asap. Mereka
meminta Indonesia harus
bertanggungjawab.
Hal ini paling tidak diindikasikan dengan hadirnya Haze Bill sebagai
bentuk kekecewaan dari Singapura terkait lambatnya respons Indonesia
secara yuridis dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
Pemerintah Singapura kemudian mengirimkan nota protes. Langkah ini
sebenarnya sudah lama dikirimkan oleh negara-negara ASEAN yang
mendesak Indonesia agar meratifikasi
Persetujuan ASEAN Tentang Pencemaran Asap Lintas Batas (ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution) mulai
dari tahun 2002 yang ironisnya baru diratifikasi tahun 2014 dan
tercatat sebagai negara terakhir.
2
Titik api tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Tahun 2013
Riau, Jambi menyumbang titik api terbesar. Tahun 2014, gentian
Sumsel dan Kalimantan Tengah yang mempunyai titik api terbesar.
3
Walhi 2006
4
Absolute liability dalam kabut asap dapat dilihat didalam berbagai
ketentuan peraturan. UU No. 41 tahun 1999 “pemegang hak atau
izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal
kerjanya (Pasal 49 PP No. 4 tahun 2001 “Penanggungjawab usaha
bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di
lokasi usahanya dan wajib segera melakukan penanggulangan kebakaran
tersebut, serta melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran di lokasi usahanya tersebut (Pasal 18
ayat 1 dan Pasal 21 ayat 1 ). Sedangkan PP No. 45 tahun 2004
“perlindungan hutan atas kawasan hutan merupakan kewajiban dan
tanggung jawab dari pengelola hutan/kawasan hutan, baik itu BUMN,
pemegang izin (izin pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, izin pemungutan
hasil hutan, dan izin pinjam pakai kawasan hutan), maupun pengelola
hutan/kawasan hutan untuk tujuan khusus, sesuai dengan wilayah
kerja/izinnya. (Pasal 8 ayat 1-3). Begitu juga kalimat “Perlindungan
hutan salah satunya dengan menghindari kerusakan hutan yang
disebabkan oleh kebakaran karena perbuatan manusia maupun alam
(Pasal 18). Kata-kata seperti “penanggungjawab usaha
bertanggungjawab atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan”,
“perlindungan huta atas kawasan hutan merupakan kewajiban” dan
“perlindungan hutan salah satunya dengan menghindari kerusakan
hutan” merupakan ciri dari absolute liability
5
Kalimat “Kewajiban (pemegang izin) utk melakukan upaya
pencegahan kebakaran Pasal 48 ayat 3 UU No. 41/99, Pasal 12 PP No. 4
tahun 2001, Pasal 8 ayat 4 PP No. 45 tahun 2004 dan Kewajiban
menyediakan sarana/prasarana pencegahan/penanggulangan kebakaran
(Pasal 14 PP No. 4 tahun 2001 merupakan salah satu syarat untuk
terpenuhinya strict liability