Ya.
Untuk sahabat-sahabatku yang akan merayakan Natal dan Tahun baru,
dari lubuk hati yang paling dalam saya mengucapkan Selamat natal dan
Tahun baru. Semoga cahaya kristus menerangi bumi dan memberikan
kedamaian di bumi.
Ucapan
ini saya sampaikan disaat issu dan diskusi klasik perdebatan polemik
mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru. Saya merasakan “keanehan”
diskusi ini selalu muncul setiap menjelang natal dan tahun baru.
Entah siapa yang memulai diskusi ini, kata-kata rasial muncul dan
kemudian “memproteksi” diri dari berbagai perdebatan.
Seakan-akan
“koor', situs abal-abal dan kata-kata mulai muncul di medsos. Entah
bertujuan jangka pendek, pragmatis dan cenderung mengkerdilkan
logika, ditambah dengan pendapat “yang katanya ustadz” namun
pendek pemikirannya. Untuk memperkuat ditambah ayat-ayat dari Al
Qur'an yang penafsiran sempit. Sesak nafas rasanya.
Sayapun
kaget ketika diskusi menabrak disana-sini. Saya kemudian teringat
tokoh-tokoh Islam yang plural, ormas keagamaan yang memberikan ruang
untuk mendiskusikannya. Quraish Shihab, Hamka, Gusdur. Bahkan Banser
NU menyiagakan pasukannya menjaga gereja-gereja. Dari merekalah, saya
menemukan inspirasi bagaimana Islam memandang toleransi beragama di
Indonesia.
Untuk
merangkai cerita saya, saya memulai dengan pertemuan Ustadz muda dari
Karawang.
Kami
bertemu dalam pertemuan nasional membicarakan DAS (Daerah aliran
Sungai) di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beberapa waktu
yang lalu.
Sebagai
tokoh NU dari Karawang, pembicaraan tentang Lingkungan hidup membuat
darah saya mendidih. Dia dengan runut mengeluarkan ayat-ayat yang
memberikan makna “kewajiban” orang Islam untuk menjaga Lingkungan
hidup. “amanah”. Itu kesan tegasnya. Manusia sebagai kalifah
(pemimpin) dimuka bumi “berkewajiban” untuk menjaga bumi. Wuih.
Keren.
Kata-kata
yang masih sangat saya ingat. “Kita adalah penduduk Indonesia yang
beragama Islam”. Kalimat pendek yang menegaskan posisi dan sikap
dia tentang Islam dan keindonesiaan.
Ya.
Ada kata “islam” dan Indonesia'. Dia memulai dengan pengungkapan
“penduduk Indonesia” dan Islam. Kesan yang hendak dibangun.
Identitas “orang Indonesia” harus diutamakan daripada “berkesan
Islam” dari budaya. Sambil meletakkan kopiah dan menyeruput kopi
kental hitam, dia berkata. Nih. Kopiah adalah budaya kita. Untuk
perempuan, pakai selendang.
Betul
kita memang orang islam. Tapi kita tidak boleh meninggalkan identitas
kita sebagai orang Indonesia. Kita tetap berbudaya Indonesia.
Saya
mengangguk sambil melihat kopiah hitam.
Kata-kata
itu kemudian teringat dengan kata-kata Gusdur “Islam datang bukan
untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya arab. Bukan untuk
“aku” menjadi “ana”. Bukan sampeyan” jadi “antum”,
sedhulur jadi “akhi”. Kita pertahankan milik kita. Kita harus
serap ajarannya, tapi bukan budaya arabnya.
Sayapun
teringat kepada Gusdur yang kukuh mempertahankan Islam sebagai agama
yang menghargai pluralisme. “Tidak penting apapun agama atau
sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua
orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.
Tidak
ada satupun orang yang meragukan Gusdur. Tinggal dan besar dari kaum
nahdiyin namun mampu berfikir ke depan dan punya visi kebangsaan.
Gusdur adalah orang multidimensi. Hidup di berbagai dunia yang
membuat pemimpin dunia mengaguminya. Perjalanan ke berbagai dunia.
Mengunjungi berbagai negara dari Amerika, Cuba, Singapura, China,
Arab Saudi membuat mereka takjub akan “kelihaian” diplomatik
Gusdur.
Photo-photo
kunjungan kenegaraan Gusdur membuat posisi Indonesia “berhasil”
melewati pusaran demokrasi dari proses transisi reformasi. Di tangan
Gusdur, ancaman rush berhasil dilewati. Gusdur salah tokoh peletak
pondasi pilar demokrasi.
Gusdur
berhasil melewati ancaman “islam dan demokrasi. Indonesia kemudian
dikenal sebagai negara penduduk Islam terbesar di dunia. Namun
Indonesia kemudian berhasil meletakkan demokrasi tanpa harus
berbenturan dengan islam. Buah tangan Gusdur yang membuat kita dapat
menikmati hingga sekarang.
Suara-suara
yang disampaikan sang Ustadz muda dengan suara bergetar kemudian
meyakini saya, keteladanan Gusdur sudah menjadi pandangan dari kaum
nadhiyin.
Kembali
ke pembahasan tentang ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru.
Entah
bagaimana pula rangkaian itu terus dibombardir di medsos. Usia
Republik Indonesia hampir mencapai 70 tahun dan keindonesiaan
kemudian dipertanyakan.
Kita
seakan-akan “berdosa” telah mengucapkan kalimat selamat natal dan
Tahun Baru. Seakan-akan kita telah melakukan perbuatan yang dilarang
agama dan kita diharapkan berdosa apabila meneruskannya ke depan.
Sungguh aneh.
Penjelasan
dari Quraish Shihab mampu dengna jernih menjelaskannya. Sebagai ahli
Fiqh dan hadist dari Al Azhar, Kairo, Mesir, kejernihan Quraish
Shihab menjelaskan tentang ucapan Selamat Natal dan Selamat Tahun
baru dengna mengambil contoh dari perjalanan dan pandangan ulama
besar dunia membuat saya yakin dengan pilihan saya. Saya tetap
mengucapkan selamat Natal dan tahun baru kepada sahabat-sahabat saya
yang nasrani. Saya tidak peduli karena saya juga mempunyai refensi
tentang agama dan toleransi beragama.
Meminjam
istilah yang disampaikan dari Ustadz dari Karawang, saya penduduk
Indonesia. Indonesia mempunyai peradaban jauh sebelum Islam masuk ke
Indonesia. Indonesia mengalami peradaban baik peninggalan dari ajaran
leluhur nenek moyang, Budha, Hindu, China, India, Eropa, Kristen,
Islam. Semuanya masih tetap tumbuh dan hidup berdampingan saling
menghormati. Saling menghargai.
Lihatlah
di sekeliling kita. Hampir praktis kita pasti bertemu dengan
teman-teman yang beraneka ragam suku dan agama.
Mulai
dari sekolah dasar, tetangga, teman pergaulan, teman kerja, mitra
kerja, teman berorganisasi. Hampir praktis semuanya tidak ada masalah
dan tidak perlu dipermasalahkan.
Apakah
dengan status abal-abal dan website/situs abal-abal kemudian kita
harus bermusuhan. Rasanya terlalu mahal harga sebuah toleransi dan
peradaban yang mesti kita terima dengan mendengar penjelasan picik
kaum berpandangan sempit. Tentu saja kita tidak mau terjebak strategi
yang gembor-gemporkan di medsos. Terlalu mahal harga yang harus kita
terima.
Sudah
saatnya, perdebatan itu dihentikan. Kalo anda tidak ingin mengucapkan
Selamat natal dan tahun baru berdasarkan keyakinan. Saya akan
menghormati. Sebagaimana anda juga menghormati saya yang tetap
mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru.
Namun
menggunakan kata-kata “kafir” dan “haram” kepada saya, tidak
perlu diungkapkan di medsos. Biarlah itu menjadi diskusi yang tidak
perlu saya ketahui.
Selamat
Natal dan tahun baru kepada Teman-teman yang merayakan. Semoga cahaya
kristus menerangi bumi.