Akhirnya
sampai juga saya keinginan menginjakkan tanah di Celebes. Negeri
masyur yang lebih sering disebut-sebut dalam buku. Mengunjungi
Makassar sebagai pintu gerbang timur Indonesia.
Yang
terbayang ketika membicarakan negeri Makassar adalah perahu phinisi,
pelaut, Suku Bugis, pakaian bodo, penyebaran islam, badik, Sultan
Hasanuddin, Jusuf Kalla dan tentu saja dialek yang khas. Berbicara
cepat dan tegas. Persis dialek orang Medan.
Sebagai
pintu gerbang timur Indonesia, Makassar pintu menuju ke berbagai
propinsi di Sulawesi seperti Kendari (Sulawesi Tenggara), Palu
(sulawesi Tengah), Mamuju (Sulawesi Barat), Manado (Sulawesi Utara),
Gorontalo, Maluku dan Maluku Utara. Bahkan pintu sebelum menuju ke
Papua (Sorong atau Merauke). Walaupun ada penerbangan langsung menuju
Jakarta – Manado, Jakarta – Palu, Jakarta -Merauke, namun pilihan
melalui Makassar merupakan pilihan utama sebelum menuju ke
daerah-daerah timur.
Sebelum
ke Makassar, hampir praktis, keinginan ke Sulawesi merupakan
keinginan untuk mampir ke negeri-negeri Timur Indonesia. Keinginan
untuk mengetahui wilayah timur Indonesia selain terkenal dengan
rempah-rempah, catatan perjalanan petualang dunia membuat keinginan
semakin kuat ke Sulawesi. Hingga mendapatkan kesempatan menghadiri
acara di Sulawesi, kesempatan tidak disia-siakan. Kesempatan inilah
sekaligus untuk membuktikan cerita tentang negeri masyur dari Timur
Indonesia.
Berbeda
dengan perjalanan yang sering dilakukan pelancong seperti menikmati
kuliner, membawa oleh-oleh khas lokal, berfoto di maskot
daerah-daerah tertentu, saya berkeinginan untuk melihat dari sudut
pandang lain. Saya ingin merasakan “aura” denyut dan nafas dalam
proses interaksi proses perubahan sosial yang tengah terjadi.
Keinginan itu kemudian saya mulai dengan melihat benteng panyua
(Belanda memelintir menjadi Benteng Rotherdam).
Sebelum
“dikuasai” Belanda, benteng berfungsi sebagai pertahanan Kerajaan
Gowa. Dengan bentuknya memanjang seperti “penyu” yang kemudian
disebut dalam dialek Makassar “Pannyuwa”, dibangun oleh Raja Gowa
IX yang bernama Daeng Matanre Karang Manguntungi Tumaparisi Kallona
dan diselesaikan putranya Manriwa Gau Daeng Bonto Karaeng Laklung
Tunipallanga Ulaweng.
Dalam
brosur disebutkan Benteng sebagai benteng pengawal untuk melindungi
benteng Induk Sompu Opu dan juga sebagai tempat tinggal pembesar
Raja.
Masa
Sultan Hasanuddin justru dipergunakan sebaga pusat persiapan perang
dan upacara membasuh panji-panji dengan darah dalam menghadapi
Belanda. Sejarah kemudian mencatat, Benteng berhasil dikuasai dengan
perjanjian Bungaya tahun 1667 dengan mengganti bentuk fisik khas
tradisional Makassar yang bertiang tinggi dengan banggunan gaya Eropa
abad 17.
Kekaguman
saya terhadap bangunan bukan karena dibangun pada abad 15, tapi
proses politik selama 6 abad di bangunan ini. Dengan memperhatikan
proses 6 abad, maka dipastikan, proses politik mengalami pasang surut
di negeri Makassar. Bangunan ini menjadi saksi dalam setiap perubahan
politik di Makassar.
Sayapun
kemudian berkeliling mengitari bangunan benteng yang terdiri 15
bangunan yang luasnya mencapai 11 ribu m. Didalam benteng terdapat
Tempat kediaman pembesar, kantor, gudang senjata, Gedung perkantoran,
perumahan, menara pengintai, Jembatan, tembok pertahanan, Istana di
bawah tanah bahkan penjara. Tempat diasingkan Raja Jawa Pangeran
Diponegoro. Bahkan ada cerita Tuanku Imam Bonjol sempat dipenjara di
Benteng. Terhadap kebenaran tentang Tuanku Imam Bonjol belum dapat
saya konfirmasikan kebenarannya.
Khayalanpun
melayang membayangkan bagaimana suasana benteng. Persis saya rasakan
ketika mengitari Candi Muara Jambi yang terdiri dari 82 candi yang
masih menjadi polemik. Yang masih misteri apakah Candi Muara Jambi
merupakan pusat Sriwijaya atau Kerajaan Melayu Jambi. Namun yang
pasti Candi Muara Jambi merupakan pusat tempat belajar Agama Budha
salah satu terbesar pada abad VI.
Sejarah
Membicarakan
Makassar tidak dapat dilepaskan dari negeri yang menguasai
kerajaan-kerajaan di Timur Indonesia. Kerajaan Gowa.
Abdul
Razak Daeng Patunru menyebutkan “Kerajaan Gowa” maka tidak dapat
dilepaskan dari Kerajaan Tallo. Hubungna keduanya sangat erat dan
menguasai di Timur Indonesia. Di tengah masyarakat kemudian dikenal
peribahasa “Ruwa Kareng Serre Ata. Dua Raja satu rakyat.
Kata ini bermakna “Barang siapa yang hendak memperselisihkan
Gowa dengan Tallo, maka dikutuk Dewata. Belanda menyebutkan
“zusterstaten”. Dua kerajaan bersaudara.
Masa
Raja Gowa IX, berhasil menaklukan negeri seperti Garassik,
Kantingang, Parigi, Siang, Sidenreng, Lembangang, Bulukumba, Selayar,
Marusu.
Raja
Gowa juga mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Bone, Kerajaan Luwu
(Bone Selatan), bahkan memperluas negeri Wajo, Mandar, hingga
Toli-toli (Sulteng). Bahkan dengan simbol Kerajaan Gowa, berhasil
membangun kekuatan di laut dengan imperium hingga, ke Kalimantan
Timur, NTT, NTB, Maluku, Brunei, Papua. Mereka juga membangun
hubungan dengan Bali, Malaka dan Banten.
Namun
yang unik adalah Suku Kajang (Bulukumba). Mereka menghormati adat
yang dikenal dengan istilah “Pasang”. Pasang yang paling dijaga
oleh masyarakat adat Kajang Ammatoa yaitu “Parakai Lino A’rurung
Bonena. Kammaya Tompa Langika. Siagang Rupa Taua. Siagang Boronga
(Peliharalah bumi beserta isinya. Demikian pula langit. Demikian pula
manusia. Demikian pula hutan).
Mereka
mempunyai hutan Karanjang. Anjo boronga anre nakkulle nipanraki.
Punna nipanraki boronga, nupanraki kalennu” artinya (Hutan
tidak boleh dirusak. Jika engkau merusaknya, maka sama halnya engkau
merusak dirimu sendiri).
“Anjo
natahang ri boronga karana pasang. Rettopi tanayya rettoi ada”
artinya (Hutan bisa lestari karena dijaga oleh adat. Bila bumi
hancur, maka hancur pula adat).
Pemimpin
adat (Ammatoa) membagi hutan menjadi 3 bagian, yaitu Borong
Karamaka (Hutan Keramat), tempat kediaman leluhur (Pammantanganna
singkamma Tau Riolonta), Borong Batasayya (Hutan Perbatasan),
Borong Luara’ (Hutan Rakyat). Di Jambi sendiri dalam Margo
Bathin Pengambang biasa dikenal “Teluk Sakti Rantu betuah,
gunung bedewo.
Menjaga
hutan agar Naparanakkang Juku. Napaloliko Raung Kuju. Nahambangiko
Allo. Nabatuiko Ere Bosi. Napalolo Rang Ere Tua. Nakajariangko
Tinanang. (Ikan bersibak. Pohon - pohon bersemi. Matahari
bersinar. Hujan turun. Air tuak menetes. Segala tanaman menjadi
tumbuh). Istilah ini mirip
dengan seloko “Negeri aman padi menjadi. Air bening
ikannya jinak. Rumput mudo kerbaunya gemuk. Ke aek cemeti keno. Ke
darat durian gugur”
Suku
Kajang melengkapi suku-suku di Sulawesi selatan seperti Suku Bentong
(Maros dan Bone), Suku
Tulumpanuae/Tasing
(Majene), Suku Duri (Enrekang), Suku Konjo (Pegunungan dan Pesisir),
Suku Luwu (Luwu), Suku Mamuju (Pantai Timur Sulawesi), Suku Mandar
(Majene) dan Toraja (Tana Toraja), Suku Bone, Suku Toraja dan Suku
Bugis, Suku Wajo.
Kerajaan
Luwu adalah kerajaan tertua, terbesar, dan terluas di Sulawesi
Selatan yang wilayahnya mencakup Tana Luwu, Tana Toraja, Kolaka, dan
Poso. Mereka dapat disejajarkan dengan Kerajaan di China
Sedangkan
Suku Toala atau suku Pannei (Pangkep dan Maros) merupakan suku tertua
di Sulsel. Telah hadir di bumi Sulawesi sejak zaman Mezolithicum,
yaitu zaman batu muda, sekitar 5000 tahun yang lalu (bahkan nenek
moyang suku Toala telah ada sekitar 8000 tahun Sebelum Masehi.).
Ada juga menyebutkan Suku Toraja sebagai suku tertua dan suku asli
dari bangsa protomalayan (proto malayo) sekitar 7000 tahun yang lalu.
Toraja dikenal dengan tradisi “pemakaman”
Sementara
ada juga menganggap Masyarakat adat Kajang merupakan salah satu suku
tertua yang sangat terkenal di Sulawesi selatan. Hmm. Entahlah. Namun
yang pasti ketiga suku itu termasuk tertua di Sulawesi
Sementara
ada juga menganggap Masyarakat adat Kajang merupakan salah satu suku
tertua yang sangat terkenal di Sulawesi selatan.
Membicarakan
Gowa tidak bisa dilepaskan dari sastra Lontar “ I La Galigo”.
I
La Galigo merupakan karya ini dianggap sebagai salah satu karya agung
dunia. Naskah I La Galigo panjangnya mengalahkan Mahabharata karya
Valmiki dan India, Odyssey karya Homeros dari Yunani.
Isinya
sebagian berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epos
ini menceritakan tentang penciptaan alam semesta oleh raja dunia atas
atau raja langit bernama La Patiganna. Disebutkan pula bahwa epos ini
bercerita tentang Sawerigading, seorang perantau juga pahlawan yang
gagah berani.
Melihat
kejayaan negeri Gowa dengan perjalanan panjangnya, berbagai suku tua
yang kukuh memegang tradisi, masih didokumentasi berbagai artefak
peninggalan sejarah, peperangan dan kegigihan melawan Belanda,
membuat perjalanan saya ke Makassar “seakan-akan” terlalu
singkat. Masih banyak cerita yang mesti digali. Dan cerita saya yang
sudah saya sampaikan masih memerlukan kajian lebih mendalam. Mesti
banyak pelajaran yang belum saya temukan. Masih banyak pertanyaan
yang belum dijawab.
Namun.
Sekilas cerita yang baru saya dapatkan membuat saya kagum dengan
sejarah panjang di Makassar.