04 April 2015

opini musri nauli : PELAKSANAAN MORATORIUM DI JAMBI


Luas wilayah Provinsi Jambi mencapai 5,1 juta hektar atau seluas 53.435 Km2. Seluas 95,44 persen meliputi daratan dan seluas 4,66 persen meliputi wilayah perairan. Sekitar 42,73 persen atau seluas 2.1 juta hektar merupakan kawasan hutan yang terbentang dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di sebelah Barat hingga Taman Nasional Berbak (TNB) di sebelah Timur. Sisanya, seluas 57,27 persen atau 2,9 juta hektar merupakan Kawasan Pertanian dan Non Pertanian.
Dari 2,1 juta hektar kawasan hutan, 818 ribu hektar kemudian ditetapkan dengan pemberian izin untuk HTI. Berbanding terbalik untuk hutan kemasyarakatan hanya 53 ribu hektar.

Belum lagi kawasan untuk pertambangan. JATAM menyebutkan kawasan tambang di Jambi seluas 1,09 juta hektar. Sedangkan untuk perkebunan sawit dari total izin seluas 1 juta hektar maka baru ditanami seluas (eksisting) seluas 515 ribu hektar. Ketimpangan penguasaan lahan menyebabkan berbagai konflik di Jambi.

Sementara itu penurunan luasan tutupan lahan hutan Jambi selama kurun waktu 10 tahun berkurang sebesar 1 juta hektar. Dari 2,4 juta hektar pada tahun 1990 menjadi 1,4 juta hektar pada tahun 2000 atau sebesar 29,66 persen dari total luas wilayah Jambi. Pengurangan tutupan lahan hutan ini terjadi di dataran rendah dan pegunungan, yaitu 435 ribu hektar. Sisanya terjadi di lahan rawa gambut.

Deforestrasi dalam kurun waktu 2009-2014 mengalami perubahan yang sangat signifikan. Di tahun 2012 deforestasi mencapai 76.522 hektare.

Semangat moratorium untuk mengembalikan fungsi hutan sebagai ekosistem dan merehabilitasi hutan akibat penghancuran illegal logging (deforestasi) disambut dengna baik. Penetapan kawasan hutan sebagaimana ditetapkan dalam Inpres No. 6 Tahun 2013 kemudian dituangkan didalam peta.

Hasil analisis dokument yang dilakukan oleh Walhi Jambi, sebagian besar wilayah PIPPIB di Provinsi Jambi terletak di kawasan hutan konservasi (Taman Nasional, Hutan Lindung, Cagar Alam, HL Gambut) atau total PIPIB yang terdapat di wilayah konservasi seluas 859.899,22 Ha (93,15 %). Padahal kawasan hutan konservasi terletak di Taman nasional, Hutan Lindung, caga alam dan Hutan Lindung Gambut yang tunduk dengan UU No. 5 Tahun 1990 dan relatif terproteksi dari gangguan illegal logging.

Padahal wilayah ekosistem gambut di Jambi belum semuanya masuk kedalam wilayah PIPPIB Revisi V. Seharusnya wilayah ini harus diselamatkan dan harus dimasukkan kedalam wilayah PIPPIB

Selain itu PIPPIB Revisi V masih banyak yang berada di dalam wilayah konsesi baik perusahaan perkebunan sawit, tambang maupun perusahaan Hutan Tanaman Industri. Hasil analisis dokumen dan hasil investigasi lapangan Walhi jambi sekitar 150.935,91 Ha.

Memasukkan Perusahaan sawit dan HTI kedalam PIPPIB menimbulkan persoalan. Selain merupakan areal konflik antara masyarakat dengan perusahaan, areal konflik merupakan ruang kelola masyarakat dan semakin meminggirkan masyarakat.

PIPPIB revisi V masih beririsan/bersinggungan dengan lokasi wilayah kelola masyarakat. Bahkan terdapat Kantor Kepala Desa di Desa Sungai Baung, Desa Parit Bilal dan Desa Sinar Wajo.

Dengan melihat analisis dokumen dan investigasi yang telah dilakukan, maka moratorium harus dilakukan dengan peninjauan ulang terhadap izin-zin yang dikeluarkan karena banyak perizinan perkebunan sawit tidak sesuai dengan dokumen dan fakta lapangan baik soal tempat dan luasan pembukaan lahan. Selain itu juga wilayah PIPPIB harus memasukan daerah-daerah respan air dan wilayah ekosistem gambut.

Adanya partisipasi masyarakat didalam invetarisasi wilayah moratorium dan monitoring terhadap peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB). Selain bisa memastikan kawasan-kawasan yang jadikan wilayah moratorium.

Perizinan masa moratorium

Namun bukan untuk memperbaiki tata kelola, pada saat bersamaan Pemerintah masih memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk bergerak di HTI. Sebagai contoh PT. Delonix Lestari Raya (PT. DLR). PT. Delonix Lestari Raya (DLR) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang Kehutanan. Pada tahun 2014, PT. DLR mengajukan permohonan izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) seluas 7.922 ha yang berlokasi di Kecamatan Sungai Manau, Kecamatan Pangkalan Jambu, Kecamatan Renah Pembarap dan Kecamatan Tabir Barat, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.

Pemerintah kemudian Menteri Kehutanan mengelurkan surat (SP I) dengan Nomor S.88/Menhut-VI/2014 tanggal 10 Februari 2014 yang isinya adalah perintah kepada PT. DLR untuk menyusun dokument Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). Hal ini juga menjadi dasar bagi PT. DLR untuk menyusun dokument Analisa Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) yang merupakan salah satu bagian dari dokumen AMDAL.

PT. Delonix Lestari Raya merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan, perusahaan ini sedang menunggu surat keputusan dari menteri kehutanan untuk bisa beroperasi menjalankan usaha dibidang kehutanan tersebut.

Dengna memperhatikan keinginan moratorium yang dicanangkan oleh Pemerintah, maka semangat moratorium belum mencapai hasil yang diharapkan. Moratorium dikawasan hutan konservasi tidak mencapai keinginan memberikan hutan untuk sedikit bernafas. Pemberian izin masih dilakukan terhadap kawasan hutan.