Kata
Mahar Politik semakin menggelinding di wacana public ketika salah satu kandidat
Pilkada gagal mendapatkan rekomendasi partai. Di tengah “perdebatan” tentang
kegagalan mencalonkan, sang kandidat kemudian bercerita dan memberikan
keterangan pers. Cerita yang mengkonfirmasikan tentang “dana untuk partai”
menyediakan rekomendasi pencalonan.
Penyiapan
sejumlah dana kepada partai kemudian dikenal “mahar politik”. Sebuah kata yang
diplesetkan dari kata “mahar” dari lembaga perkawinan didalam islam.
Entah
mengapa “penempatan” kata mahar sebagaimana keagungan dalam prosesi perkawinan
islam masuk ke ranah politik. Istilah agung kemudian menjadi sandi dan kode untuk
menyiapkan sejumlah dana untuk partai. Seperti kode Liqo untuk pertemuan dan 4 juz untuk kode 4
milyar. Kode “liqo” dan “Juz” digunakan untuk transaksi korupsi. Padahal kata Liqo dan Juz adalah kata-kata
penting dalam agama islam.
Kata
mahar kemudian direduksi menjadi “dana untuk partai” dan menyiapkan dana
menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa candidate mau menyediakan dana yang begitu
besar untuk mendapatkan rekomendasi.
Sebagai
gambaran. Untuk Jakarta dengan PAD sebesar Rp 41 trilyun, maka Gubernur dan
Wakil Gubernur menerima dana operasional Rp 4,5 milyar/bulan. Atau 0,13 % dari
PAD.
Bayangkan
untuk Jakarta dengan PAD tertinggi. Rp 41 trilyun namun cuma mendapatkan dana
operasional cuma Rp 4,5 milyar/bulan.
Bandingkan
dengan Kepala Daerah yang PAD cuma berkisar milyar ataupun APBD cuma paling
tinggi 5 Trilyun.
Apakah
dana yang telah dikeluarkan dapat dikembalikan dalam periode jabatannya. Atau
menduduki Kepala Daerah adalah jabatan prestise khusus sehingga dana yang
dikeluarkan tidak menghitungkan besarnya ?
Besarnya
“mahar politik” sudah sering diingatkan oleh KPK akan “rawan korupsi” didalam
pengelolaan APBD dan “suap” dalam berbagai perizinan.
Penghitungan
besarnya biaya yang dikeluarkan dan “dana yang berhasil” dikembalikan
mengingatkan Buku Somarsaid Moertono “Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI –
XIX”.
Dalam
“serat Centini”, pemimpin perampok perkasa disebut Petinggi Desa dan menguasai
jalan-jalan di seluruh hutan dan barisan bukit dibebani tugas untuk memerintah
dan menenteramkan daerahnya. Prinsip ini dikenal “Pilihlah pejabat-pejabat”
dengan tanggungjawab kedaerahan atas dasar pengaruh yang sudah dipunyainya
dalam masyarakat. Konon dan orang percaya, dengan mengikutsertakan
kepala-kepala perampok, maka khusus daerah bebas dari gangguan perampokan.
Prinsip ini dipegang oleh Raja “njaga tatatentreming praja” (menjaga
ketentraman dan ketertiban negara), “sekaligus menjaga pemerintahan
(pangreh-praja).
Dengan
“pengaruh” terhadap wilayahnya maka pendatang yang lewat harus membayar “upeti”.
Meyer melukiskan pembegalan di Banten yang
kemudian dikenal uang pungutan “wang Ngaraksa”, atau di Jawa pada masa revolusi
1945 – 1950.
Dengan
memungut “upeti” atau “wang Ngaraksa” sebagai hak memungut pajak dan rampasan
perang terhadap wilayah-wilayah yang dikuasai, para gerombolan yang menjadi “piwularang”
dan menjadi petinggi Desa kemudian dilindungi oleh Raja.
Apakah
para candidate yang rela mengeluarkan “mahar politik” yang besar dan tidak bisa
dikembalikan berupa fasilitas atau gaji dengan diterimanya lalu bertindak
dengan cara apapun. Bahkan “bertindak”
seperti “gerombolan” yang haus menerima “upeti”.
Sehingga
tidak salah kemudian KPK mempunyai catatan 78 Kepala Daerah yang tersangkut
kasus korupsi.