17 Januari 2018

opini musri nauli : MAHAR POLITIK


Kata Mahar Politik semakin menggelinding di wacana public ketika salah satu kandidat Pilkada gagal mendapatkan rekomendasi partai. Di tengah “perdebatan” tentang kegagalan mencalonkan, sang kandidat kemudian bercerita dan memberikan keterangan pers. Cerita yang mengkonfirmasikan tentang “dana untuk partai” menyediakan rekomendasi pencalonan.

Penyiapan sejumlah dana kepada partai kemudian dikenal “mahar politik”. Sebuah kata yang diplesetkan dari kata “mahar” dari lembaga perkawinan didalam islam.
Entah mengapa “penempatan” kata mahar sebagaimana keagungan dalam prosesi perkawinan islam masuk ke ranah politik. Istilah agung kemudian menjadi sandi dan kode untuk menyiapkan sejumlah dana untuk partai. Seperti kode  Liqo untuk pertemuan dan 4 juz untuk kode 4 milyar. Kode “liqo” dan “Juz” digunakan untuk transaksi korupsi.  Padahal kata Liqo dan Juz adalah kata-kata penting dalam agama islam.

Kata mahar kemudian direduksi menjadi “dana untuk partai” dan menyiapkan dana menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa candidate mau menyediakan dana yang begitu besar untuk mendapatkan rekomendasi.

Sebagai gambaran. Untuk Jakarta dengan PAD sebesar Rp 41 trilyun, maka Gubernur dan Wakil Gubernur menerima dana operasional Rp 4,5 milyar/bulan. Atau 0,13 % dari PAD.

Bayangkan untuk Jakarta dengan PAD tertinggi. Rp 41 trilyun namun cuma mendapatkan dana operasional cuma Rp 4,5 milyar/bulan.

Bandingkan dengan Kepala Daerah yang PAD cuma berkisar milyar ataupun APBD cuma paling tinggi 5 Trilyun.

Apakah dana yang telah dikeluarkan dapat dikembalikan dalam periode jabatannya. Atau menduduki Kepala Daerah adalah jabatan prestise khusus sehingga dana yang dikeluarkan tidak menghitungkan besarnya ?

Besarnya “mahar politik” sudah sering diingatkan oleh KPK akan “rawan korupsi” didalam pengelolaan APBD dan “suap” dalam berbagai perizinan.

Penghitungan besarnya biaya yang dikeluarkan dan “dana yang berhasil” dikembalikan mengingatkan Buku Somarsaid Moertono “Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI – XIX”.

Dalam “serat Centini”, pemimpin perampok perkasa disebut Petinggi Desa dan menguasai jalan-jalan di seluruh hutan dan barisan bukit dibebani tugas untuk memerintah dan menenteramkan daerahnya. Prinsip ini dikenal “Pilihlah pejabat-pejabat” dengan tanggungjawab kedaerahan atas dasar pengaruh yang sudah dipunyainya dalam masyarakat. Konon dan orang percaya, dengan mengikutsertakan kepala-kepala perampok, maka khusus daerah bebas dari gangguan perampokan. Prinsip ini dipegang oleh Raja “njaga tatatentreming praja” (menjaga ketentraman dan ketertiban negara), “sekaligus menjaga pemerintahan (pangreh-praja).

Dengan “pengaruh” terhadap wilayahnya maka pendatang yang lewat harus membayar “upeti”.  Meyer melukiskan pembegalan di Banten yang kemudian dikenal uang pungutan “wang Ngaraksa”, atau di Jawa pada masa revolusi 1945 – 1950.

Dengan memungut “upeti” atau “wang Ngaraksa” sebagai hak memungut pajak dan rampasan perang terhadap wilayah-wilayah yang dikuasai, para gerombolan yang menjadi “piwularang” dan menjadi petinggi Desa kemudian dilindungi oleh Raja.

Apakah para candidate yang rela mengeluarkan “mahar politik” yang besar dan tidak bisa dikembalikan berupa fasilitas atau gaji dengan diterimanya lalu bertindak dengan cara apapun. Bahkan  “bertindak” seperti “gerombolan” yang haus menerima “upeti”.

Sehingga tidak salah kemudian KPK mempunyai catatan 78 Kepala Daerah yang tersangkut kasus korupsi.