14 Januari 2018

opini musri nauli : Kekebalan Profesi Advokat



Akhir-Akhir ini dunia advokat sedang diuji sikap profesionalismenya. Advokat sebagai profesi mengalami sebuah proses untuk menentukan apakah advokat bagian dari proses hokum atau menjadi pihak yang cukup netral dalam sebuah perkara.

Kisah bermula ketika ditangkapnya seorang advokat yang dituduh melakukan serangkaian perbuatan sebagaimana didalam pasal 21 UU Tipikor. Sebuah tuduhan cukup serius didalam proses pengembangan kasus E-KTP.

Namun yang menjadi perhatian saya adalah apakah pernyataan dari Advokat yang menyebutkan KPK sedang melakukan upaya “Dibumihanguskan” terhadap diri advokat dan akan juga menghabisi profesi advokat” ?.

Pernyataan kemudian disusul dengan ujaran “Hari ini saya diperlakukan oleh KPK berarti semua advokat diperlakukan hal yang sama. Ini akan diikuti oleh kepolisian maupun jaksa. Jadi advokat dikit-dikit menghalangi”. Dan tidak lupa menyebutkan “pasal 16 UU Advokat’.

Untuk memudahkan pembahasan, pertanyaan standar selalu dikemukakan. Apakah pekerjaan yang dilakukan telah sesuai dengan etika profesi. Apakah “etika” kemudian tidak semata-mata merujuk kepada “kepantasan” atau tidak tapi juga mengikuti kaidah-kaidah hokum yang berlaku.

Secara limitative, pasal 16 UU Advokat menyebutkan “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.

Makna ini kemudian disebutkan dengan gamblang oleh sang advokat. Namun terhadap fundamental penting lupa disebutkan. “Dengan itikad baik”.

Apakah ketika menjalankan tugas telah mengacu kepada UU Advokat dan kode etik profesi advokat ?

Dalam praktek selama ini, advokat tunduk dengan profesi advokat. Menguji “menjalankan tugas profesi” tidak dapat dilepaskan dari “dengna itikad baik”. Bukankah lembaga-lembaga resmi seperti praperadilan adalah mekanisme “dengan itikad baik”.

Lalu apakah dengan menguji praperadilan kemudian “dengan itikadi baik” telah terpenuhi.

Namun sorotan yang penting bukan itu. Upaya praperadilan klien advokat telah dilalui. Putusan Praperadilan telah dijalankan oleh KPK. KPK Menghormati putusan praperadilan.

Namun upaya praperadilan kedua kandas. Materi praperadilan kemudian gugur ketika perkara kemudian telah dilimpahkan ke pengadilan Negeri.

Dari satu dimensi telah dilalui. Dan semuanya kemudian tenang.

Namun yang dilupakan adalah “skenario” penting untuk menyelamatkan sang klien.

Dengan membangun asumsi, rangkaian bahkan modus canggih “melarikan” sang klien, menyebutkan kecelakaan hingga berbagai rangkaian “memesan satu lantai” rumah sakit adalah fakta yang terpisah.

Upaya yang dilakukan inilah yang kemudian menyebabkan KPK menetapkan tersangka. Sederhana bukan ?

Lalu mengapa kemudian terhadap “upaya yang kedua” kemudian dikaitkan dengan “upaya membumihanguskan”  dan menghabisi profesi advokat ?

Mengaitkan scenario kedua dengan menarik-narik problema pribadi menjadi problema semua advokat adalah kekeliruan yang nyata.

Masih banyak advokat yang melakukan praperadilan (baik kalah maupun menang) yang tidak terseret dengan perkara kliennya.

Sebagai contoh Dr. Maqdir Ismail yang menjadi Kuasa Hukum dari Budi Gunawan hingga kini sama sekali tidak terdengar disebut sebagai pihak yang menghalangi. Dan masih banyak teman-teman advokat yang mengajukan praperadilan namun sama sekali tidak dikait-kaitkan dengan perkara kliennya.

Dengan melihat perumpamaan maka dengan jelas tergambar. Advokat yang menghalang-halangi pemeriksaan terhadap klien, membuat skenario kecelakaan, memesan satu lantai rumah sakit adalah dimensi terpisah dari tanggungjawab advokat.

Dan perbuatan itu tidak tepat kemudian ditarik menjadi persoalan seluruh advokat. Apalagi tuduhan “menghabisi advokat’. Sama sekali tidak tepat.  Itu adalah tanggungjawab pribadi manusia yang sadar dengan resiko membangun scenario untuk menjauhkan pemeriksaan dari klien.

Atau dengan kata lain, kekebalan profesi advokat tidak dapat ditemukan setelah upaya yang dilakukan kemudian bertujuan tidak “dengan itikad baik’. Semuanya menjadi musnah. Sehingga kekebalan profesi tidak dapat diterapkan. Dengan demikian maka proses hokum adalah proses hokum yang dilakukan sebagai pribadi manusia biasa. Diperlakukan sama dengan pribadi manusia yang lain.

Tinggal kita menunggu proses hukum yang tengah berlangsung. Apakah rangkaian yang disebutkan oleh KPK yang dilakukan sang advokat memang “bertujuan” untuk “melarikan” sang klien kemudian terbukti.

Dimuat di Harian Jambione, 15 Januari 2018