Akhir-Akhir
ini dunia advokat sedang diuji sikap profesionalismenya. Advokat sebagai
profesi mengalami sebuah proses untuk menentukan apakah advokat bagian dari
proses hokum atau menjadi pihak yang cukup netral dalam sebuah perkara.
Kisah
bermula ketika ditangkapnya seorang advokat yang dituduh melakukan serangkaian
perbuatan sebagaimana didalam pasal 21 UU Tipikor. Sebuah tuduhan cukup serius
didalam proses pengembangan kasus E-KTP.
Namun
yang menjadi perhatian saya adalah apakah pernyataan dari Advokat yang
menyebutkan KPK sedang melakukan upaya “Dibumihanguskan”
terhadap diri advokat dan akan juga menghabisi profesi advokat” ?.
Pernyataan
kemudian disusul dengan ujaran “Hari ini saya diperlakukan oleh KPK
berarti semua advokat diperlakukan hal yang sama. Ini akan diikuti oleh
kepolisian maupun jaksa. Jadi advokat dikit-dikit menghalangi”. Dan tidak lupa menyebutkan “pasal 16 UU
Advokat’.
Untuk
memudahkan pembahasan, pertanyaan standar selalu dikemukakan. Apakah pekerjaan
yang dilakukan telah sesuai dengan etika profesi. Apakah “etika” kemudian tidak
semata-mata merujuk kepada “kepantasan” atau tidak tapi juga mengikuti
kaidah-kaidah hokum yang berlaku.
Secara
limitative, pasal 16 UU Advokat menyebutkan “Advokat
tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas
profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang
pengadilan.
Makna
ini kemudian disebutkan dengan gamblang oleh sang advokat. Namun terhadap
fundamental penting lupa disebutkan. “Dengan itikad baik”.
Apakah
ketika menjalankan tugas telah mengacu kepada UU Advokat dan kode etik profesi
advokat ?
Dalam
praktek selama ini, advokat tunduk dengan profesi advokat. Menguji “menjalankan tugas profesi” tidak dapat
dilepaskan dari “dengna itikad baik”.
Bukankah lembaga-lembaga resmi seperti praperadilan adalah mekanisme “dengan itikad
baik”.
Lalu
apakah dengan menguji praperadilan kemudian “dengan itikadi baik” telah
terpenuhi.
Namun
sorotan yang penting bukan itu. Upaya praperadilan klien advokat telah dilalui.
Putusan Praperadilan telah dijalankan oleh KPK. KPK Menghormati putusan
praperadilan.
Namun
upaya praperadilan kedua kandas. Materi praperadilan kemudian gugur ketika
perkara kemudian telah dilimpahkan ke pengadilan Negeri.
Dari
satu dimensi telah dilalui. Dan semuanya kemudian tenang.
Namun
yang dilupakan adalah “skenario” penting untuk menyelamatkan sang klien.
Dengan
membangun asumsi, rangkaian bahkan modus canggih “melarikan” sang klien,
menyebutkan kecelakaan hingga berbagai rangkaian “memesan satu lantai” rumah
sakit adalah fakta yang terpisah.
Upaya
yang dilakukan inilah yang kemudian menyebabkan KPK menetapkan tersangka.
Sederhana bukan ?
Lalu
mengapa kemudian terhadap “upaya yang kedua” kemudian dikaitkan dengan “upaya
membumihanguskan” dan menghabisi profesi
advokat ?
Mengaitkan
scenario kedua dengan menarik-narik problema pribadi menjadi problema semua
advokat adalah kekeliruan yang nyata.
Masih
banyak advokat yang melakukan praperadilan (baik kalah maupun menang) yang
tidak terseret dengan perkara kliennya.
Sebagai
contoh Dr. Maqdir Ismail yang menjadi Kuasa Hukum dari Budi Gunawan hingga kini
sama sekali tidak terdengar disebut sebagai pihak yang menghalangi. Dan masih
banyak teman-teman advokat yang mengajukan praperadilan namun sama sekali tidak
dikait-kaitkan dengan perkara kliennya.
Dengan
melihat perumpamaan maka dengan jelas tergambar. Advokat yang
menghalang-halangi pemeriksaan terhadap klien, membuat skenario kecelakaan,
memesan satu lantai rumah sakit adalah dimensi terpisah dari tanggungjawab
advokat.
Dan
perbuatan itu tidak tepat kemudian ditarik menjadi persoalan seluruh advokat.
Apalagi tuduhan “menghabisi advokat’. Sama sekali tidak tepat. Itu adalah tanggungjawab pribadi manusia yang
sadar dengan resiko membangun scenario untuk menjauhkan pemeriksaan dari klien.
Atau
dengan kata lain, kekebalan profesi advokat tidak dapat ditemukan setelah upaya
yang dilakukan kemudian bertujuan tidak “dengan itikad baik’. Semuanya menjadi
musnah. Sehingga kekebalan profesi tidak dapat diterapkan. Dengan demikian maka
proses hokum adalah proses hokum yang dilakukan sebagai pribadi manusia biasa.
Diperlakukan sama dengan pribadi manusia yang lain.