Akhir-akhir
ini tema gambut menggelinding setelah kebakaran massif 2013 dan semakin parah
tahun 2015. Gambut sebagai entitas unik (PP No. 71 Tahun 2014 dan PP No. 57
Tahun 2016) tidak bisa sertamerta hanya diletakkan sebagai komoditas ekonomi
semata. Gambut harus diletakkan sebagai kawasan ekosistem yang tidak bisa
dipisahkan satu dengan yang lain.
Di
tengah masyarakat, gambut dikenal “tanah goyang (Papua), “Lebak Berayun
(Sumsel), “Payo atau payo dalam (Jambi)” adalah tempat yang dilindungi dan
tidak boleh diganggu. “Hutan Hantu Pirau” masyarakat Jambi menyebutnya.
Penghormatan
terhadap “hutan hantu pirau” Melambangkan kebudayaan, cara pandang,
penghormatan bahkan bentuk perlindungan masyarakat terhadap alam. Sebagai
daerah konservasi.
Nama-nama
tempat seperti “Buluran muning darat,
Buluran muning laut, Lubuk tapa, Danau cempedak, Danau Gerang, Danau empang palang, Sematang tawing, Buluran buang, Kuala Belaga, Simpang Jadam, Air Tenang, Bidawang, Lintas Panjang adalah nama-nama tempat untuk tempat mencari kayu
alam atau tempat masyarakat mencari ikan.
Selain itu juga dikenal nama tempat masyarakat
mencari rotan, madu, jelutung dan pandan.
Nama-nama tempat ini dikenal dan ditandai
dengan “akar bekait, pakis dan jelutung”
(Walhi, 2016).
Diluar
tempat “hutan hantu pirau” kemudian ditetapkan sebagai kawasan “peumoan’.
Tempat menanam padi. Tidak boleh dialilhkan selain menanam padi.
Selain
itu juga dikenal “petanang”. Tempat perkebunan tanaman khas gambut seperti
kelapa atau pinang.
Setiap
pemilik tanaman kemudian melakukan batas antara satu dengan yang lain dengan
tanda. Kemudian dikenal “mentaro” atau “tanam mati”. Tanaman pinang disusun
berjejer mengelilingi tanah.
Namun negara kemudian menganggap sebagai
“tanah liar (woeste grond). Didalam “agrarische wet” staatblaad 1874 disebutkan
sebagai tanah liar adalah pribumi tidak menerapkan hak-hak berasal dari
pembukaan lahan (ontginningrecht) sehingga kemudian termasuk tanah negara (staatdomein).
Asas ini dikenal asas “domein verklaring”
Tanah liar (woeste grond) berupa tanah hutan, tanah
liar, tanah terpakai, tanah tidak dibudidayakan atau tanah kosong.
Padahal gambut milik komunal (beschikhingrecht).
Dengan menganggap tanah liar (woeste grond)
maka kemudian tempat-tempat dikonversi menjadi izin sawit dan HTI. Dan mengubah
bentang alam gambut sebagai kawasan budidaya gambut (UU Perkebunan). Atau
menggunakan term “kawasan lindung gambut” dan “budidaya gambut ( UU Kehutanan).
Maka gambut kemudian dikeringkan dengan
membangun kanal-kanal yang memanjang, membelah, mengelilingi izin agar dapat
ditanami. Dan dibersihkan (land clearing) baik dengan menggunakan alat berat
maupun “dibakar’.
Disaat musim tanam maka gambut tidak bisa
dikendalikan. Api kemudian menyambar akar-akar kering dibawah gambut (spoon). Terus
mengeluarkan asap menutupi Pulau Sumatera dan Kalimantan hingga “ekspor” ke
Singapura dan Malaysia.
Akibat
“salah urus” gambut mengakibatkan kebakaran yang tidak bisa ditanggulangi. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, lahan konsesi di areal gambut yang rusak mencapai 1,4 juta hektar.
Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 16 Tahun 2017 menyebutkan “Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung mengalami
kerusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, apabila melampaui
kriteria baku kerusakan sebagai berikut: terdapat drainase buatan dan
tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa di
bawah lapisan Gambut; dan/atau
terjadi pengurangan luas dan/atau volume tutupan
lahan.
Sedangkan
kategori budidaya gambut disebutkan “Ekosistem Gambut dengan fungsi budidaya mengalami
kerusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, apabila memenuhi kriteria
muka air tanah di lahan Gambut lebih dari 0,4 (nol
koma empat) meter di bawah permukaan Gambut
pada titik penaatan dan/atau
tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa di
bawah lapisan Gambut..
Dengan hilangnya tempat-tempat yang dilindungi
masyarakat, maka fungsi gambut menjadi berkurang dan hilang. Kayu seperti
Punak, Meranti tinggal cerita. Pohon jelutung musnah. Rotan dan pandan kemudian menjadi hilang.
Bahkan masyarakat disekitar gambut kehilangan
ikan seperti Ikan
toman, baung sudah jarang didapatkan. Apalagi ikan Tapa. Bahkan ikan lais yang
semula kurang mendapatkan perhatian dari memancingpun sudah mulai susah
didapatkan. Ikan Toman (channidae),
ikan baung (Macrones nemurus), ikan tapa (Wallago) adalah ikan-ikan khas (biodiversity) gambut. Selain itu
juga dikenal arwana silver (Schlerophages formosus), ridiangus (Balantiocheilos
melanopterus), belida (Notopterus chitala), sepat batik (Cydochaicichthys
aroplos), serandang (Channa pleurophthalma) dan tilan (Mastacembelus
erythrotaenia).
Mengembalian fungsi tempat yang dilindungi oleh
masyarakat adalah mandat yang ditegaskan oleh Peraturan Presiden No. 1 Tahun
2016. Dan kita berkejaran dengan waktu untuk memulihkan gambut (restorasi
gambut).
Baca juga : Gambut dari pendekatan etnografi