30 Januari 2018

opini musri nauli : Tanah dan hak atas tanaman tumbuh


Dalam perjalanan saya ke Pasaman Barat, Sumbar, saya menemukan istilah untuk melhat “sistem pengelolaan tanah’ di Sumbar. Istilah “siliah jariah” adalah fundamental penting terhadap tanah.

Secara harfiah kata “siliah jariah” adalah “siliah” atau silsilah. Sedangkan “jariah” adalah “jerih payah”

Sistem “siliah jariah” adalah ganti rugi  atau mengganti pohon atau tanaman jerih payah orang lain/nenek moyang karena telah membuka “rimbo” atau tanah ulayat.

Prosesi dimulai dengan penerimaan  “orang luar” dengan membayar uang adat sebagai uang “baangku mamak” sebagai symbol telah diterima sebagai anak nagari. Simbol membayar uang adat kepada “baangku mamak” disebut sebagai “adat diisi. Limbago dituang”.

Setelah diterima “anak nagari” sebagai “baangku mamak”, maka dapat mengelola tanah dengan system “siliah jariah”. Mengganti tanaman yang ditumbangkan. Dan menikmati hasil tanaman. Namun tidak berhak atas tanah.

Dengan demikian maka terhadap “hak atas tanaman” tidak dapat berlaku untuk tanah. Nilai ini kemudian dikenal “kabau pai. Kubangan tinggal”.

Konsep ini tidak berbeda di Jambi. Di Desa Tanjung Alam[1], Merangin, prosesi diterima “anak nagari” sebagai “baangku mamak” dimulai prosesi dari Seloko seperti “Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Dimana air disauk, disana ranting dipatah”, “Mencari induk semang”, “Nasi putih air jernih”.

Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Dimana air disauk, disana ranting dipatah. Setiap pendatang yang masuk ke Tanjung Alam harus Memenuhi persyaratan administrasi kependudukan, mengikuti segala hukum adat dan bersedia melaksanakan hukum adat Desa Tanjung Alam,

Mencari induk semang. Harus Tinggal di tempat Induk Semang selama 6 (enam) bulan, Nasi putih air jernih. Masuk petang, keluar pagi. Kemudian induk semang mengabarkan kepada Kepala Desa dan mengadakan rapat adat dengan membawa nasi putih dan air jernih.

Dengan demikian maka prosesi “baangku mamak” dapat dipadankan “Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Dimana air disauk, disana ranting dipatah”, “Mencari induk semang”, “Nasi putih air jernih”.

Sehingga “anak nagari” yang membayar uang adat “baangku mamak”’ dipadankan “mencari induk semang”. Maka prosesi “adat diisi. Limbago dituang” dipadankan “nasi putih air jernih”.

Sebagai “anak nagari” atau orang yang “mencari induk semang” maka apabila meninggalkan nagari atau Desa tidak dibenarkan membawa hak atas tanah.

Prinsip ini kemudian dikenal “Kabau Pai. Kubangan tinggal”. Atau “Kabau Tagak. Kubangan tinggal”[2]

Prinsip ini juga dikenal di Desa Tanjung Alam. “Harta berat ditinggal, harta ringan dibawa”.

Harta berat ditinggal, harta ringan dibawa pergi adalah hasil / harta dari pencarian selama hidup (tanah, kebun dan sawah adalah harta berat, pakaian, perhiasan dan perabotan adalah harta ringan).

Dalam materi hukum adat, Tanah ditempatkan sebagai harta pusaka tinggi. Harta yang tidak boleh dibagi-bagikan kepada ahli waris. Hanya boleh dibagikan apabila mayik tabujua di tangah rumah, gadih gadang alun balaki, rumah gadang katirisan, mambangkik batang tarandam.

Penghormatan terhadap tanah dikuatkan berdasarkan Peraturan Daerah Sumatera Barat  No.16 Tahun 2008 (Perda No. 16 Tahun 2008)[3] yang menyebutkan “tanah ulayat”, “tanah ulayat nagari”, “tanah ulayat suku”, “tanah ulayat kaum”, “tanah ulayat Rajo”. “Tanah ulayat nagari”, tanah ulayat suku” dan “tanah ulayat kaum” disebut sebagai “tanah pusako tinggi”.

Bahkan ditegaskan “penyerahan hak ulayat” berkaitan dengan “system bagi hasil’. Dengan berakhirnya “hak atas tanaman” maka “hak ulayat” kembali kepada pihak tanah ulaya semula[4].  

Dengan demikian maka “anak nagari” yang mendapatkan tanah untuk “ditanami” dengan system “siliah jariah’ adalah berkaitan dengan “hak atas tanaman  tumbuh’. Bukan pembayaran “uang adat’ sebagai “peralihan hak atas tanah’.




[1] Peraturan Desa Tanjung Alam No. 3 Tahun 2011 Tentang Piagam Depati Duo Menggalo
[2] Nagari Kapa dan Nagari Sasak, Pasaman Barat, Sumbar, 26 Januari 2018
[3] Peraturan Daerah Sumatera Barat No. 16 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya.         
[4] Pasal 11 Perda No. 16 Tahun 2008