Dalam
perjalanan saya ke Pasaman Barat, Sumbar, saya menemukan istilah untuk melhat “sistem
pengelolaan tanah’ di Sumbar. Istilah “siliah jariah” adalah fundamental
penting terhadap tanah.
Secara
harfiah kata “siliah jariah” adalah “siliah” atau silsilah. Sedangkan “jariah”
adalah “jerih payah”
Sistem
“siliah jariah” adalah ganti rugi atau mengganti
pohon atau tanaman jerih payah orang lain/nenek moyang karena telah membuka “rimbo”
atau tanah ulayat.
Prosesi
dimulai dengan penerimaan “orang luar” dengan
membayar uang adat sebagai uang “baangku mamak” sebagai symbol telah diterima
sebagai anak nagari. Simbol membayar uang adat kepada “baangku mamak” disebut
sebagai “adat diisi. Limbago dituang”.
Setelah
diterima “anak nagari” sebagai “baangku mamak”, maka dapat mengelola tanah
dengan system “siliah jariah”. Mengganti tanaman yang ditumbangkan. Dan
menikmati hasil tanaman. Namun tidak berhak atas tanah.
Dengan
demikian maka terhadap “hak atas tanaman” tidak dapat berlaku untuk tanah.
Nilai ini kemudian dikenal “kabau pai.
Kubangan tinggal”.
Konsep
ini tidak berbeda di Jambi. Di Desa Tanjung Alam[1],
Merangin, prosesi diterima “anak nagari” sebagai “baangku mamak” dimulai prosesi
dari Seloko seperti “Dimana bumi dipijak,
disana langit dijunjung. Dimana air disauk, disana ranting dipatah”, “Mencari induk semang”, “Nasi putih air
jernih”.
Dimana
bumi dipijak, disana langit dijunjung.
Dimana air disauk, disana ranting dipatah. Setiap
pendatang yang masuk ke Tanjung Alam harus Memenuhi persyaratan administrasi
kependudukan, mengikuti segala hukum adat dan bersedia melaksanakan hukum
adat Desa Tanjung Alam,
Mencari
induk semang. Harus Tinggal di tempat Induk Semang
selama 6 (enam) bulan,
Nasi putih air jernih. Masuk petang,
keluar pagi. Kemudian induk
semang
mengabarkan kepada Kepala Desa dan mengadakan rapat
adat dengan membawa nasi putih dan air jernih.
Dengan demikian maka prosesi “baangku
mamak” dapat dipadankan “Dimana bumi dipijak,
disana langit dijunjung. Dimana air disauk, disana ranting dipatah”, “Mencari induk semang”, “Nasi putih air
jernih”.
Sehingga “anak nagari” yang membayar uang
adat “baangku mamak”’ dipadankan “mencari
induk semang”. Maka prosesi “adat diisi. Limbago dituang” dipadankan “nasi
putih air jernih”.
Sebagai “anak nagari” atau orang yang “mencari
induk semang” maka apabila meninggalkan nagari atau Desa tidak dibenarkan membawa
hak atas tanah.
Prinsip ini kemudian dikenal “Kabau Pai. Kubangan tinggal”. Atau “Kabau
Tagak. Kubangan tinggal”[2]
Prinsip ini juga dikenal di Desa Tanjung
Alam. “Harta berat ditinggal, harta
ringan dibawa”.
Harta berat ditinggal, harta ringan dibawa
pergi adalah hasil / harta dari pencarian selama hidup (tanah, kebun dan sawah
adalah harta berat, pakaian, perhiasan dan perabotan adalah harta ringan).
Dalam materi hukum adat, Tanah ditempatkan sebagai harta pusaka tinggi.
Harta yang tidak boleh dibagi-bagikan kepada ahli waris. Hanya boleh dibagikan
apabila mayik
tabujua di tangah rumah, gadih gadang alun balaki, rumah gadang katirisan, mambangkik
batang tarandam.
Penghormatan terhadap
tanah dikuatkan berdasarkan Peraturan Daerah Sumatera Barat No.16 Tahun 2008 (Perda No. 16 Tahun 2008)[3] yang menyebutkan “tanah
ulayat”, “tanah ulayat nagari”, “tanah ulayat suku”, “tanah ulayat kaum”, “tanah
ulayat Rajo”. “Tanah ulayat nagari”, tanah ulayat suku” dan “tanah ulayat kaum”
disebut sebagai “tanah pusako tinggi”.
Bahkan ditegaskan “penyerahan
hak ulayat” berkaitan dengan “system bagi hasil’. Dengan berakhirnya “hak atas tanaman”
maka “hak ulayat” kembali kepada pihak tanah ulaya semula[4].
Dengan demikian maka “anak nagari” yang
mendapatkan tanah untuk “ditanami” dengan system “siliah jariah’ adalah
berkaitan dengan “hak atas tanaman tumbuh’.
Bukan pembayaran “uang adat’ sebagai “peralihan hak atas tanah’.