Peristiwa pembunuhan dan ditembaknya Brigadir Josua betul-betul menyentak publik.
Bayangkan. Seorang anggota polisi dibunuh dan ditembak oleh komandannya sendiri dan dirumah dinas Kadiv Propam Mabes Polri.
Inspektur berpangkat bintang dua. Perwira tinggi yang menjadi “rissing star dan diramalkan menjadi Kapolri.
Mabes Polri telah menetapkan tersangka. Selain Komandannya sendiri, dua teman Brigadir Josua dan supir Irjen itu sendiri.
Belum usai kekagetan penetapan komandan Josua sebagai tersangka kemudian disusul sang Istri.
Dalam paparannya Kapolri didepan Komisi III DPR-RI kemudian menyebutkan 97 anggota kemudian diperiksa. 35 orang kemudian dilakukan patsus dan 18 orang kemudian ditempatkan penempatan khusus. 6 orang malah kemudian ditetapkan sebagai tersangka menghalangi penyidikan (obstruction of justice).
Sayapun menggelengkan Kepala. Bayangkan hingga melibatkan 3 perwira tinggi, 1 orang Jenderal bintang dua, 3 orang bintang satu, Komisaris Besar sebanyak 6 orang, AKBP sebanyak 7 orang, Kompol sebanyak 4 orang, AKP 5 orang, Iptu sebanyak 2 orang, Ipda sebanyak satu orang, Bripka ada satu, Brigadir ada satu, Briptu ada dua orang dan Bharada ada dua orang.
Bayangkan. Melibatkan 1 orang Jenderal bintang berpangkat dua dan 3 orang Jenderal bintang satu sebanyak tiga orang bukan main. Jabatan itu adalah posisi penting dan strategis di Kepolisian. Di daerah selevel Kapolda dan Wakapolda.
Dibawahnya juga bukan main. Melibatkan 6 orang Kombes, AKBP 7 orang. Cukup untuk menguasai 6 kota dan 7 Kabupaten untuk level Kapolres. Apabila dibandingkan maka ketiga belas orang dapat mengisi 6 jabatan strategis di Polda untuk jabatan Kombes dan 7 Kapolres.
Dibawahnya lagi juga bukan main. Jabatan Kompol, AKP dan Iptu bisa menduduki Kapolsek. Sedangkan Iptu dan Ipda bisa menduduki jabatan Kanit Reskrim di Polsek.
Apabila melihat berbagai pangkat yang kemudian dilakukan patsus, maka dipastikan seluruh yang menjadi perhatian Kapolri akan menguasai seluruh jabatan penting di Polda dan Polres didalam satu provinsi.
Tidak salah kemudian dengan komposisi yang selengkap itu, “desain pembunuhan” hampir sempurna. Dan upaya sistematis menghalangi penyidikan (obstruction of justice) hampir nyaris tidak terpantau di publik.
Namun para “kreator” dan desain yang “mengaku ulung” ternyata lupa dengan “adagium” Tidak ada kejahatan yang sempurna” atau Teori klasik Canter & Donna, Pelaku adalah “orang yang paling dikenal sang korban” dan Teori Locard Exchange (setiap kontak yang terjadi akan meninggalkan jejak), skenario palsu tentu saja meninggalkan kejanggalan dari nalar publik.
Apa sih penyebab utama dari pembunuhan terhadap Brigadir Josua dan mengapa hingga ditemukan dirumah Dinas Kadiv Propam ?
Apakah penyebab utama sehingga terjadinya peristiwa tersebut ? Apakah cekcok antara Ajudan (skenario awal) sehingga kemudian menarik pelatuk pistol ? Apakah terlibat perkelahian antara para Ajudan ?
Nah. Pertanyaan standar yang lupa kemudian didesain itulah yang kemudian membuka kotak pandora.
Kejelian dari Kapolri yang berlatar belakang Reserse membuat saya yakin, so pasti Kapolri mampu membongkarnya.
Semula berbagai hambatan struktur maupun hambatan kultur, meminjam Istilah Mahfud, Psiko hirarki, membuat Kapolri harus “membereskan” terlebih dahulu “hambatannya”.
Menurut Peneliti psikologi politik di Universitas Indonesia, Dicky Pelupessy, Menko Polhukam hendak menyampaikan ke publik bahwa ada proses dalam pengusutan kasus Brigadir J yang berhubungan dengan politik. Dicky menjelaskan, psiko-hierarki dimaknai sebagai hubungan hierarki, yaitu antara kedudukan lebih tinggi dan yang lebih rendah atau antara atasan dengan bawahan. Hierarki ini melibatkan sesuatu yang tak kasatmata dan rumit.
Dalam sebuah dialog Kecil, saya pernah mengungkapkan, “biarlah Polri menyelesaikan masalah internal”. Memang pelan tapi sangat sistematis.
Kejelian sekaligus “ketelatenan” dari Kapolri mengingatkan cara-cara yang digunakan oleh Kapolri sebelumnya, Tito Karnavian didalam menyelesaikan “kasus Mako Brimob” dan “geger Demo anti Ahok”.
Tito dikenal Pemimpin yang bertangan dingin. Tidak terpancing dengan “gaya propaganda” dari para pelaku. Tito mampu menyelesaikan berbagai persoalan sembari mengembalikan fungsi kepolisian yang mampu menyelesaikan persoalan tanpa harus menerima serangan balik.
Kejelian sekaligus “kejeniusan” Tito mampu kemudian menghadirkan Kepolisian yang bercitra positif di Tengah masyarakat.
Tipe serupa kemudian dilakukan Kapolri sekarang. Cara menyelesaikan sekaligus “membuat telak’ dan mampu membongkar “gerbong” panjang keterlibatan internal Kepolisian membuat Irjen PS “lunglai tidak berdaya”. Persis dengan pepatah “menarik rambut dari tepung. Rambut tertarik. Tapi tepung tidak tebayak”.
Sukses gemilang yang diraih dengan jitu Kapolri dengan jajaran kembali membangkitkan optimisme dari publik terhadap kinerja Kepolisian.
Namun tentu saja ada Pekerjaan besar yang harus dibenahi di Kepolisian. Tema yang sama sekali tidak tergambarkan didalam pertemuan Kapolri - Komisi III DPR-RI.
Menurut berbagai sumber disebutkan, Sebagai amanat sekaligus perjuangan reformasi, Reformasi Polri dimulai sejak dipisahkannya organisasi kepolisian dari lingkungan militer berdasarkan TAP MPR No VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Polri dari TNI dan TAP MPR No VII Tahun 2000 tentang Peran Polri dan TNI.
Selanjutnya Polri menyusun Buku Biru Reformasi Menuju Polri yang Profesional, yang berisi rumusan perubahan dari aspek struktural, meliputi perubahan posisi kepolisian dalam ketatanegaraan, bentuk organisasi, susunan, dan kedudukan. Aspek instrumental meliputi perubahan filosofi, doktrin, fungsi, kewenangan, dan kompetensi. Aspek kultural meliputi perubahan sistem perekrutan, pendidikan, anggaran, kepegawaian, manajemen, dan operasional kepolisian.
Dalam proses reformasi, elite politik telah mendudukkan otonomi kepolisian secara luas, seperti menempatkan Polri di bawah Presiden, struktur kepolisian terpusat, mandiri dalam sistem penyidikan tindak pidana, mandiri dalam sistem kepegawaian, mandiri dalam sistem anggaran.
Reformasi Polri seharusnya ditentukan bagaimana meletakkan lembaga kepolisian dalam negara demokrasi yang berbasis kekuatan masyarakat sipil. Secara normatif, fungsi kepolisian dapat ditetapkan sebagai: (1) penegak hukum, (2) penjaga ketertiban dan keamanan, dan (3) pelayan publik. Ketiga fungsi itu belum menggambarkan sesuatu, kecuali wilayah kerja yang perlu diisi berbagai konsep dalam konteks fungsionalisasi. Melihat kiprah elite politik itu, ada kekhawatiran ketiga fungsi kepolisian tersebut terisi oleh aspek-aspek yang tidak terkait upaya membangun kepolisian yang profesional.
Namun yang paling Penting, meminjam istilah Mahfud, Psiko hirarki, persoalan mendasar dari Kepolisian justru terletak di kultural.
Bayangkan. Desain dan skenario palsu dari Irjen FS begitu diamini 35 orang yang mempunyai posisi Penting di Kepolisian.
Keterlibatan 1 Jenderal berbintang dua, 3 orang Jenderal bintang satu sebanyak tiga, 6 orang Kombes, AKBP 7 orang dan Kompol/AKP/ Iptu/Ipda meninggalkan rekam jejak yang buruk. Belum lagi 6 orang malah kemudian ditetapkan sebagai tersangka menghalangi penyidikan (obstruction of justice).
Faktor “Psiko hirarki” harus menjadi bagian penting dari proses reformasi Kepolisian. Selama faktor “Psiko hirarki” menjadi faktor yang dominan didalam pengambilan keputusan di Kepolisian maka menjadi Pekerjaan rumah yang belum tuntas hingga sekarang.
Tradisi ini dimulai dengan “penghapusan” cara-cara komando dalam proses penegakkan hukum.
Pengucapan “mas”, “abang” atau “bapak” dari komandan yang umurnya lebih muda kepada anggotanya adalah upaya Sederhana untuk mengembalikan sekaligus menghapuskan sikap komandan kepada anggotanya.
Atau panggilan “dik” dari komandan kepada anggotanya yang lebih muda.
Begitu juga panggilan “komandan” dari anggota kepada Pemimpin unit kerjanya. Alangkah bijaksana panggilan ini cukup diganti dengan panggilan “bapak” sebagai bentuk keakraban dari anggota kepada komandannya.
Begitu juga didalam pengungkapan kasus. Para komandan harus mendengarkan dari pandangan anggotanya untuk melihat kasus ini lebih jeli. Sekaligus menguji insting para Penyidik yang kaya jam terbang. Bukan semata-mata “memberikan instruksi’ kepada anggotanya untuk mengungkapkan kasus.
Faktor “Psiko hirarki” yang dimulai dari proses Sederhana akan mengembalikan kekerabatan sekaligus keakraban antara Pemimpin unit kepada anggotanya.
Dengan panggilan “keakraban” dari setiap uni selain akan mengembalikan fungsi sebagai institusi sipil akan memudahkan para Penyidik membongkar kasus-kasus yang rumit tanpa harus dihambat atau dibatasi “Psiko hirarki”.
Dengan Tanpa beban tanpa harus dihambati faktor “Psiko hirarki”, berbagai kejanggalan dari peristiwa mampu diungkapkan secara obyektif. Sekaligus menjawab berbagai kejanggalan didalam mengungkapkan kasusnya.
Bukankah sering diceritakan, prestasi moncer dalam kasus pembunuhan cukup mampu diungkapkan para Penyidik di tingkat Polsek. Dan tanpa “intervensi” apapun dari kasus pembunuhan, para Penyidik mampu kok didalam mengungkapkannya.
Sembari menunggu proses perbaikan di internal Kepolisian, Seluruh pelaku yang kemudian terseret dalam upaya menghalangi penyidikan (obstruction of justice) harus dihadirkan dimuka persidangan. Sehingga upaya Polri ditengah masyarakat mendapatkan apresiasi masyarakat.
Sedangkan dugaan keterlibatan personil yang kemudian dikategorikan “tidak profesional’ haruslah dihukum kode etik.
Seluruh proses selain memberikan pelajaran kepada para pelaku sekaligus memberikan pendidikan di internal Kepolisian.
Agar Penyidik Kepolisian tunduk kepada ketentuan hukum. Bukan terjebak dengan desain/skenario palsu dan faktor “Psiko hirarki”.
Selamat bekerja Kepolisian Republik Indonesia.