Akhir-akhir ini tema Pemilihan Presiden/Wakil Presiden (Pilpres 2024) menarik perhatian publik. Tema ini sengaja dibenturkan dengan kepemimpinan anak muda.
Sebagian kalangan kemudian menyoroti Putusan MK No 90/2024 yang memberikan “karpet Merah” kepada seorang Anak muda, Walikota Solo yang Masih berusia dibawah 40 tahun (UU Pemilu). Namun kemudian MK membolehkan dengan cara menambahkan klausula Anak kalimat “kecuali” pernah atau sedang menjabat kepala Daerah.
Terlepas dari putusan MK yang menimbulkan reaksi publik namun ketika publik kemudian mempertanyakan bagaimana putusan MK memberikan karpet Merah kepadan Sang Walikota Solo namun jawabannya sungguh mencengangkan.
Baik Presiden Jokowi maupun sang Walikota dengan entengnya menjawab “Kalau tidak suka, ya, jangan pilih saya”.
Jawaban yang diberikan justru menimbulkan kesesatan logika (mistake). Terutama dilihat dari fallacy of Composition and division (Pilihan Kebenaran).
Membuat perumpamaan “keistimewaan (karpet merah)” dengan “Kalau tidak suka, ya, jangan pilih saya” adalah perumpaan yang tidak equal (tidak sepadan).
Terlepas dari gonjang-ganjing politik, memberikan “keistimewaan (karpet merah)” adalah satu hal. Sementara antara nanti akan dipilih atau tidak tidak adalah hal yang berbeda.
Bahkan ujaran enteng “Kalau tidak suka, ya, jangan pilih saya” adalah simpikasi persoalan yang memantik polemik ditengah masyarakat.
Selain itu ketika publik kemudian mempertanyakan “keistimewaan (karpet merah)” kemudian dijawab dengan “kepemimpinan anak muda”, lagi-lagi sama sekali tidak equal. Tidak sepadan dan disandingkan.
Membicarakan “keistimewaan (karpet merah)” adalah persoalan konstitusi yang tidak bisa dianggap enteng. Apalagi sambi cengar-cengir menjawabnya. Ini adalah persoalan konstitusi yang mengganggu nalar publik. Terutama yang menekuni bidang ilmu hukum. Termasuk hukum, konstitusi dan politik.
Namun ketika “keistimewaan (karpet merah)” disandingkan dengan “kepemimpinan anak muda” justru justru menimbulkan kesesatan logika (mistake). Terutama dilihat dari fallacy of Composition and division (Pilihan Kebenaran).
Tidak ada kaitannya antara alasan “keistimewaan (karpet merah)” dengan kepemimpinan Anak muda.
Tentu saja membicarakan Anak muda bukanlah yang mengambil pilihan pintas (shortcut) dengan diberikan keistimewaan (karpet merah)”.
Kepemimpinan Anak muda harus berproses. Lihatlah bagaimana pemimpin-pemimpin muda Republik Indonesia yang meniti karir politik dengan mengasah dan menggembleng mengikuti berbagai organisasi pergerakan yang panjang.
Sehingga anak-anak muda entah Syahrir, Hatta Muda, Soekarno Muda di usia mudanya mengalami proses panjang. Bukan jalur pintas (shortcut). Sehingga kemudian mereka teruji dan menjadi Pemimpin yang dhormati. Baik karena pengalaman panjang sebagai tokoh pergerakkan maupun pemikiran yang luas.
Didalam irisan yang lain Kegeraman, kemarahan ataupun polemik yang terjadi berangkat dari cara pandang masyarakat Indonesia (cara pandang alam Kosmopolitan) tentang Kepemimpinan.
Ditengah masyarakat Melayu Jambi, Simbol kepemimpinan sering dilekatkan didalam Seloko yang menyebutkan Pohon Beringin. Pohon Gedang ditengah dusun. Akarnya kuat tempat besilo. Dahannya kuat tempat begayut”. Ada juga yang menyebutkan “kayu gedang ditengah dusun. Pohonnya rimbun. Akarnyo tempat duduk besilo”. Ada juga yang menyebutkan Pemimpin itu hendaknyo ibarat sebatang pohon, batangnyo besak tempat besandar, daunnyo rimbun tempat belindung ketiko hujan tempat beteduh ketiko panas, akarnyo besak tempat besilo.. pegi tempat betanyo, balik tempat babarito.
Kata “akar” menunjukkan “tempat yang kuat” untuk duduk besilo. Sehingga kepemimpinan dapat memayungi seluruh masyarakat. Dalam alam kosmopolitan masyarakat Jawa dikenal “Memayung Hayuning Bawana”.
Sedangkan seloko Tempat Betanyo dapat diartikan pemimpin adalah tempat untuk pergi tempat betanyo. Sedangkan setelah kembali dari bepergian, maka Pemimpin kemudian menjadi tempat untuk berkabar (Balik tempat beberito)
Seloko ini kemudian dilekatkan kepada Pemimpin yang dihormati ditengah masyarakat yang sering dilengkapi dengan istilah adat “Kampung betuo, alam berajo, negeri bebathin”. Atau “Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai. Atau “Alam sekato rajo, negeri Sekato Batin.
Seloko ini juga dikenal di Minangkabau “goenoeng nan tinggi, rimbo nan dalem, padang nan lawas, radja nan poenja". (Lihat Het Sumatra's Westkust-Rapport en de Adat, P. DE ROO DE LA FAILLE , Hal. 39)
Dalam Konsep Von Savigny dikenal dengan istilah “die Volksgeist”. Volksgeist merupakan gabungan dari kekuatan magis yang melingkupi suatu perkumpulan adat / persekutuan hukum (rechtsgemeenshap).
Disisi lain, sifat kepemimpinan Seorang pemimpin menjadi suri tauladan yang ditandai dengan Seloko “Janganlah Telunjuk lurus, kelingking bekait. Sehingga pernyataan ataupun apapun sikap dari kepemimpinan tidak boleh berbeda dengan yang diucapkan dengan apa yang akan dilakukan.
Dalam tradisi pemikiran Masyarakat Jawa dikenal "esuk dele sore tempe”. Pemimpin yang sering berubah pendapat atau mengingkari janjinya sendiri. Tuduhan ini tidak main-main. Tuduhan ini sekaligus ungkapan pribadi dari penutur yang sudah Tahap mengganggap Pemimpin yang tidak konsisten dengan pendapatnya atau suka ingkar janji. Dalam bahasa sehari-hari sering juga disebutkan sebagai “Plintat-plintut”.
Selain itu juga seorang Pemimpin harus mencerminkan Hendaknyo tibo nampak muko, balik nampak punggung. Seseorang harus menyampaikan sikap yang baik kepada siapapun yang pernah membesarkannya. Sehingga seloko Hendaknyo tibo nampak muko, balik nampak punggung kemudian ditafsirkan sebagai ketika datang baik-baik, alangkah bijaksana dan elegan kemudian diapun pergi juga secara baik-baik pula.
Hubungan antara pemimpin dengan alam kemudian ditandai dengan Tanda hubungan baik antara pemimpin dengan alam. Seperti seloko “Negeri Aman, Padi Menjadi. Airnyo bening, ikannya jinak. Rumput mudo, kebaunya gepuk. Padi masak, rumpin mengupih. Timun mengurak, bungo tebu. Meyintak ruas terung ayun mengayun. Cabe bagai bintang timur. Ke ayek tiik keno, ke darat durian guguu.
Advokat. Tinggal di Jambi