27 Oktober 2023

opini musri nauli : Cara Membaca Gibran menjadi Cawapres 2024

 


Ditengah-tengah gegap gempita polemik majunya Cawapres 2024 cukup menarik untuk ditelusuri. Ditengah polemik maupun berbagai nuansa demokrasi yang “seakan-akan” setback hingga 20 tahun lalu kemudian menemukan momentum ketika “Putra Presiden” kemudian didorong menjadi Cawapres 2024. Mendampingi Prabowo sebagai Capres 2024. 


Namun yang menarik adalah ketika berbagai pernyataan enteng baik Presiden maupun Walikota Solo itu sendiri. 


Presiden Jokowi dengan enteng menjawab “Mereka sudah dewasa. Orang tua hanya merestui”. Sedangkan Walikota Solo sendiri juga Enteng menjawab “saya membawa diri saya sendiri. Tidak mewakili siapapun”. 

Bahkan tidak tanggung-tanggung, sang Bungsu (Kaesang) juga dengan nyeleneh membantah tuduhan “dinasti” yang menyebutkan “mau lihat KK saya” ketika menjadi Ketua Partai. 


Berbagai pernyataan ini menarik untuk ditelusuri. 


Ditengah masyarakat Melayu Jambi, banyak sekali seloko untuk menggambarkan peristiwa diatas. 


Pertama. Seloko Ayam berinduk serai berumput. Ada juga yang menyebutkan “Ayam berinduk banyak anak, serai berumpun banyak batang”. 


Ungkapan ini menggambarkan “terlepas” kedua Putra Presiden Jokowi Sudah mempunyai keluarga sendiri, namun keduanya masih terikat didalam hubungan kekerabatan keluarga. 


Sehingga walaupun mereka sudah mandiri, lepas dari tanggungjawab orang tua, namun seloko “Ayam berinduk serai berumput” (Ayam berinduk banyak anak, serai berumpun banyak batang),   membuktikan, terhadap peristiwa apapun yang berkaitan dengan nama Keluarga Besar, termasuk berbagai langkah politik tidak dapat terlepas dari “ikatan” kuat dari orang tua. 


Seloko “Seloko Ayam berinduk serai berumput (“Ayam berinduk serai berumput”. Ayam berinduk banyak anak, serai berumpun banyak batang),” juga menggambarkan, kedua orang tetap bertanggungjawab terhadap seluruh putra-putrinya. Sekaligus harus mampu mencegah ataupun dapat memberikan pertimbangan terhadap langkah-langkah yang diambil sang putra apabila melihat adanya nilai-nilai yang mengganggu nurani publik. 


Selain itu ada juga seloko “Anak bebapak” atau “Anak sekato bapak” yang menggambarkan bagaimana penghormatan terhadap orang tua (bapak) sebagai pimpinan didalam rumpun Keluarga.


Kedua. Seloko Anak bebapak” atau “Anak sekato bapak” juga terdapat didalam berbagai Struktur sosial masyarakat Melayu Jambi juga terdapat didalam berbagai seloko seperti “Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak. Atau “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang”. Ada juga menyebutkan “ 


Penggambaran seloko Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak. Atau “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang” atau “alam sekato Rajo. Negeri Sekato Batin” atau “alam berajo. Negeri Bebatin” atau “Alam sekato Rajo. Negeri Sekato Batin” atau “alam berajo. Negeri Bebatin”, “alam takambang jadi Guru”



dapat dilihat bagaimana struktur sosial “Alam nan barajo” adalah penggambaran tentang Struktur sekaligus penghormatan terhadap kepemimpinan ditengah masyarakat. 


“Alam nan barajo” atau “alam sekato Rajo” adalah seluruh masyarakat harus taat dengan hukum alam yang terjadi di wilayahnya. Sehingga penghormatan terhadap alam Semesta harus memberikan perlindungan kepada alam agar tidak memberikan derita/bencana yang terjadi ditengah masyarakat. 


Seloko Negeri bebatin atau “negeri sekato batin adalah gambaran Seloko sekaligus seluruh titah (perintah) dari Raja (dibaca sebagai Pemimpin) harus ditaati. Agar ketertiban dan ketentraman ditengah masyarakat dapat dicapai. 


Sedangkan Seloko “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Rantau Sekato Jenang” ada juga menyebutkan “Luak bepenghulu, Kampung betuo, Rantau bejenang”, adalah gambaran Penghulu, Tuo-tuo kampung (tuo-tuo tengganai) dan Jenang adalah perlindungan yang diberikan kepada masyarakat di rumpun perkampungan lebih Kecil. 


Penghulu, tuo Tuo-tuo kampung (tuo-tuo tengganai) maupun Jenang sekaligus menjadi lembaga untuk menyelesaikan persoalan “Anak kemenakan”. 


Dengan melihat bagaimana bentuk struktur sosial ditengah masyarakat Melayu Jambi tidaklah mungkin seorang manusia di Indonesia harus lepas struktur sosial ada. Bagaimanapun dia telah lepas dari Keluarga secara finansial, namun tanggungjawab Orang Tua (Anak sekato bapak/Anak bebapak), Penghulu (Luak Sekato Penghulu), Tuo-tuo kampung (kampung betuo/kampung sekato tuo), tuo tengganai (tuo tengganai/tuo sekato tengganai) adalah struktur yang menjaga nilai-nilai agung yang dipegang oleh masyarakat Melayu Jambi. 


Dengan demikian, berbagai pernyataan seperti “Mereka sudah dewasa. Orang tua hanya merestui” atau “saya membawa diri saya sendiri. Tidak mewakili siapapun” atau “mau lihat KK saya” menggambarkan “keangkuhan” sekaligus hendak melepaskan dari seluruh atribut struktur sosial yang hidup ditengah masyarakat. 


Pernyataan ataupun cara pandang ini sekaligus hendak melepaskan dari peradaban leluhur bangsa Indonesia yang menempatkan manusia Indonesia sebagai pribadi yang luhur. 


Advokat. Tinggal