Belum
selesai akhir ending Sarpin effect, dunia hokum kembali
dikejutkan dengan persidangan Asyani, seorang nenek berusia 63 tahun
di PN Situbondo.
Pada
pertengahan Desember 2014, Nenek Asyani dimasukkan penjara dengan
tuduhan menebang kayu jati dan mencuri milik Perhutani. Padahal Nenek
Asyani bukan menebang kayu jati milik Pemerintah melainkan miliknya
sendiri.
Persidangan
Nenek Asyani mengingatkan persidangan terhadap kasus-kasus
sepele seperti pencurian, kakao, pencurian sandal, pencurian listrik
cas HP, persidangan e-mail ”Prita”,
pencurian semangko yang menarik perhatian nasional.
Kasus
pencurian, kakao, pencurian sandal, pencurian listrik cas HP,
persidangan e-mail ”Prita”, pencurian semangko menjadi
inspirasi MA keluar dari “kungkungan” aliran positivisme.
Sudah
lama Mahkamah Agung menyadari dan mendorong agar perkara ringan cukup
diselesaikan di luar proses peradilan (out
of court settlement). MA kemudian
mengeluarkan untuk perkara perdata, mediasi bersifat wajib, dan bisa
diterapkan untuk semua tingkatan peradilan (Perma
No 1 Tahun 2008). Bahkan untuk perkara
pidana, MA mengeluarkan PERMA No. 2 Tahun 2012. MA
kemudian menafsirkan ”Rp 250 dengan definisi RP 2.500.000,- dalam
pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, Pasal 407, pasal 482
KUHP.
Problema
hokum mulai muncul. Apakah Hukum dapat membenarkan dan memaafkan
perbuatan dari Nenek Asyani ?
Menggunakan
definisi UU P3H (UU yang sedang digugat di MK), persoalan
hokum tidak bisa menjelaskan apakah Nenek Asyani dapat menghilangkan
sifat tindak pidana (Straf-uitsluitings-gronden) dalam hal ini
menghilangkan sifat melanggar hukum (wederrchtelijkheid) dan
memaafkan si pelaku (“feit d’xcuse”)
Berkaitan
dalam asas hukum pidana yaitu ‘Geen straf zonder schuld, actus
non facit reum nisi mens sir rea’, bahwa ‘tidak dipidana
jika tidak ada kesalahan’.
Seseorang
yang terbukti melakukan tindak pidana hanya dapat dihukum jika
terdapat kesalahan. Dalam bahasa latin diungkapkan dengan kata-kata
“actus non facit reum, nisi mens sit rea.
Dalam
asas positivisme maka dengan melihat unsur kesalahan (schuld)
dan “mens rea”, Menilik terhadap perbuatan yang didakwakan
kepada Nenek Asyani yang menebang kayu jati (terlepas milik
Pemerintah ataupun miliknya sendiri), maka Nenek Asyani tidak
dapat dilepaskan dari proses hukum. Nenek Asyani tetap bisa
dipersangkakan melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur
didalam UU Kehutanan. Perbuatan “menebang kayu” tanpa izin
bertentangan dengna hukum.
Nenek
Asyani telah “terbukti” dalam proses penyidikan sehingga
proses hukum dilanjutkan hingga di persidangan.
Begitu
menggunakan rujukan terhadap menghilangkan sifat tindak pidana
(Straf-uitsluitings-gronden) dalam hal ini menghilangkan sifat
melanggar hukum (wederrchtelijkheid) dan memaafkan si pelaku
(“feit d’xcuse”), maka Nenek Asyani tidak dapat
melepaskan tanggungjawab hukum.
Namun
yang dilupakan dalam proses hukum, penegak hukum baik di tingkat
penyidikan maupun penuntutan melupakan asas keadilan. Mereka lupa
sebagaimana disampaikan oleh Gustav Radbruck. Gustav memberikan
“ingatan” tentang tujuan hukum yaitu keadilan hukum
(gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtssicherheit) dan
kemanfaatan hukum (zweckmassigkeit).
Dalam
istilah lain, MK sudah menyampaikan keadilan prosedural (procedural
justice) dan keadilan substantif (substantive justice).
Keadilan prosedural adalah keadilan yang didasarkan pada
ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum formal.
Sedangkan keadilan substantif adalah keadilan yang didasarkan pada
nilai-nilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai
hati nurani.
Selain
itu juga yang sering diingatkan oleh Aristoteles “Hukum harus
membela kepentingan atau kebaikan bersama/Common good”. Atau
disampaikan oleh Hart “hukum sebagai sistem harus adil.
Dengan
melihat persidangan terhadap Nenek Asyani, maka kita bisa seharusnya
mendorong putusan kemanfaatan hukum (zweckmassigkeit) terhadap
Nenek Asyani. Tidak semata-mata menggunakan pendekatan semata-mata
kedalam kepastian hukum (rechtssicherheit) atau keadilan hukum
(gerechtigkeit).
Apakah
bermanfaat terhadap proses hukum kepada nenek Asyani ? Apa pelajaran
yang bisa ditarik dari peristiwa terhadap nenek Asyani ? Apakah akan
memberikan “effek jera” kepada nenek Asyani ?
Melihat
berbagai dinamika yang terjadi di tengah masyarakat, melihat berbagai
peraturan baik hukum normatif, semangat restroaktive justice hingga
semangat memberikan pelajaran hukum, maka konstruksi hukum bisa
dilakukan.
Terhadap
Nenek Asyani bisa dilakukan putusan “menjatuhkan hukuman”
dengan tetap Rasa kemanusiaan dan nurani melihat keadaan nenek Asyani
adalah pondasi utama sebelum menjatuhkan.
Nenek
Asyani bisa dijatuhi pidana penjara yang dihitung selama nenek
Asyani telah menjalani penjara.
Dengan
demikian, maka setelah putusan dibacakan, Nenek Asyani bisa menghirup
udara segar.
Kedepan.
Pelajaran pahit harus kita terima. Peristiwa persidangan terhadap
nenek Asyani harus menggunakan cara-cara restoraktive justice. Harus
dihentikan cara-cara memberikan “penghukuman” kepada rakyat
melalui pengadilan.
Tanpa
pernah “membenarkan” perbuatan menebang kayu tanpa
izin, harus diselesaian dengan menggunakan berbagai mekanisme
diluar pengadilan untuk memberikan pelajaran hukum dan pendidikan
hukum kepada masyarakat yang “buta hukum” dan perlu
perlindungan negara.
Hukum
Pidana sebagai Ultimum Remedium merupakan senjata terakhir
dalam penegakkan hukum. Menggunakan hukum pidana sebagai “effek
jera” merupakan konsep hukum dalam era kolonial. Cara ini harus
dihentikan dan digantikan hukum yang berwajah humanisme. Dan
menempatkan kemanusiaan sebagai penghormatan sebagai negara
berdaulat.
Dimuat di Jambi Ekpspress, 18 Maret 2015.