10 Maret 2015

opini musri nauli : SDA dan konflik (In Memoriam Indra Pelani)


Peristiwa tragis yang merenggut nyawa pejuang petani, Indra Pelani (Serikat Tani Tebo) memantik dukungan publik. Kepergian Indra Pelani menuai protes dan dukungan dari berbagai kalangan. Berbagai website resmi dari berbagai organisasi yang memiliki “concern” terhadap peristiwa ini telah memuatnya.

Pihak Asia Pulp and Paper (APP group dari PT. WKS) menyatakan resmi mengutuk keras perbuatan pelaku dan bertanggungjawab dan menyerahkan kepada proses hukum siapapun yang terlibat.
Dukungan nasional dan internasional telah mengalir. Penulis mendapatkan ucapan duka cita yang mendalam yang disampaikan berbagai organisasi internasional. Ucapan duka cita telah disampaikan kepada Ibunda Almarhum Indra Pelani.

Kepergian Indra Pelani masih menyimpan tanya. Tanpa memasuki wilayah hukum terhadap proses yang tengah berlangsung, pertanyaan tetap mengganggu. Berbagai misteri harus diungkapkan. Bagaimana misteri terhadap “rencana/desain” untuk membunuh Indra Pelani. Mengapa mayat kemudian dibuang. Persoalan apa hingga pelaku begitu tega melakukannya. Siapa yang terlibat dari desain pembunuhan. Apakah hanya pelaku yang tengah diproses atau adanya keterlibatan pihak-pihak yang belum tersentuh. Siapa yang ingin “memancing” dari keruhnya konflik antara pihak PT. WKS dengan masyarakat. Siapa yang dirugikan dari proses negosiasi yang tengah berlangsung. Misteri itu disebabkan hingga kini belum mendapatkan jawaban yang layak terhadap peristiwa tersebut.

Namun problema utamanya tidak hanya “sekedar” mengungkapkan peristiwa tragis terhadap Indra Pelani. Tapi problema konflik yang belum terselesaikan. Termasuk menggunakan cara-cara kekerasan yang masih digunakan dan masih effektif untuk membuat konflik semakin kisruh.

Pola Kekerasan

Secara faktual, konflik antara masyarakat Desa Lubuk Mandarsyah dengan PT. WKS sudah mulai kondusif. Masyarakat yang tergabung di Serikat Tani Tebo sudah membangun komunikasi dengan PT. WKS. Perusahaan sedang mempersiapkan berbagai alternatif model pola penyelesaian dengan Desa Lubuk Mandarsyah. Dengan melihat kondisi ini, maka secara de facto, konflik antara Desa Lubuk Mandarsyah dan PT. WKS praktis tidak ada persoalan.

Namun, misteri ini kemudian tersulut dengan peristiwa tragis. Penulis menemui kesulitan mengapa peristiwa tragis terjadi disaat konflik mulai kondusif.

Yang paling menyedihkan adalah penggunaan pola kekerasan didalam menyelesaikan persoalan. Itu problema utama didalam melihat konflik. Tentu saja ada “tangan-tangan tersembunyi” yang “membenturkan” antara masyarakat Desa Lubuk Mandarsyah dengan PT. WKS. Tangan-tangan tersembunyi cukup “memainkan” perannya dan desainnya cukup rapi dan canggih sehingga peristiwa tragis tidak terjadi. Tentu saja tidak sesederhana dengan pengungkapan dari pelaku yang membunuh korban.

Pola kekerasan masih digunakan dan masih effektif untuk membenturkan antara masyarakat Desa Lubuk Mandarsyah dengan PT. WKS. Pola kekerasan ini ingin langsung membenturkan sehingga konflik yang sudah mulai kondusif akan melebar dan pertaruhan dan mengganggu citra PT. WKS yang tunduk dengna Protokol komitmen. Upaya ini cukup canggih sehingga penulis kesulitan “membaca jejak” dan arah yang tengah dimainkan.

Dalam berbagai kesempatan, penulis tetap mendesak kepada proses hukum untuk dapat membongkar “misteri” ini. Siapapun yang bertanggungjawab dan “merencanakan” hingga terjadinya peristiwa tragis diproses hukum.

Selain “menghentikan” cara-cara kekerasan, pola kekerasan digunakan harus dihentikan. Penggunaan atribut yang “berbau” uniform harus dievaluasi total. Penggunaan atribut yang berbau “uniform' selain memprovokasi dan menimbulkan gesekan di tengah masyarakat, cara ini juga bertentangan dengan semangat dan membangun kepercayaan (trusth) memasuki tahap negosiasi. Cara ini justru dapat “dimanfaatkan” dan membuat konflik tetap laten.

Sudah saatnya pola kekerasan yang diwariskan rezim orde baru dihentikan. Sudah saatnya pola kekerasan menyikap perbedaan dan konflik harus diselesaikan.

Konflik di sektor Sumber daya alam

Peristiwa tragis terhadap Indra Pelani kembali membuka data-data konflik yang masih tengah terjadi.

Konflik di sektor sumber daya alam bermula dari struktur ketimpangan lahan. Hasil riset Walhi 2014 menyebutkan dari 2,1 juta hektar merupakan kawasan hutan. 2,1 juta hektar kemudian 818 ribu hektar sudah ditetapkan untuk HTI. Berbanding terbalik kawasan untuk kemasyarakatan hanya mencapai 53 ribu hektar.

Sedangkan di sektor Tambang seluas satu juta hektar. Diluar itu, sudah terdapat 515 ribu untuk sawit. Belum lagi tumpang tindih antara kawasan sawit dan HTI di kawasan gambut.

Dalam catatan Walhi Jambi sejak tahun 1999-2012, berbagai konflik di Propinsi Jambi mencapai hingga 300 konflik. Merata dari Kerinci hingga ke daerah hilir di kawasan gambut Timur pesisir Jambi.

Trend konflik sudah bergeser. Apabila kita perhatikan trend konflik sejak 1999-2004 di sektor sawit, maka bergeser ke issu kehutanan. Dan lima tahun terakhir ini kemudian di sektor pertambangan.

Sedangkan dilihat dari tipologi konflik yang sudah merata di berbagai daerah, maka bisa kita lihat mulai dari hulu (kabupaten Sarolangun dan Merangin), bergeser ke daerah tengah (kabupatn Bungo, Tebo dan Batanghari) dan bergerak ke daerah hilir (Muara Jambi Tanjabbar, Tanjabtim).

Akibat konflik sudah memakan korban. Di sektor sawit, kerusuhan massa berakhir dengan pembakaran. Merata di berbagai tempat. Termasuk meninggalnya beberapa petani yang berhadapan dengan perusahaan. Begitu juga disektor kehutanan dengan konflik pembakaran alat berat PT. WKS tahun 2007 dan memakan korban baik di Senyerang dan terhadap Indra Pelani. Sedangkan di sektor pertambangan, berbagai korban sudah berjatuhan. Baik di Bungo, Bangko dan Sarolangun. Bahkan dalam 6 bulan terakhir ini, korban sudah berjatuhan setiap bulan.

Dengan melihat persoalan konflik, berdasarkan hasil kajian Tim Inventarisir dan Resolusi Konflik Pemerintah Propinsi Jambi “memprioritaskan” seperti PT. REKI, PT. LAJ, PT. KDA, PT. WKS, PT. Asiatic Persada untuk dapat diselesaikan.

Berbagai peringatan (warning sistem) sudah sering disampaikan. Namun peringatan kurang mendapatkan respon yang baik dari Pemerintah. Masyarakat yang berkonflik justru “dibenturkan” langsung kepada perusahaan. Pada titik inilah, berbagai ruang untuk menyelesaikan “menemukan” jalan buntu.

Memang ada upaya yang serius terhadap penyelesaian konflik di sektor sumber daya alam. Berbagai inisiatif, peran aktif beberapa daerah untuk menyelesaikan konflik. Namun upaya itu tidak cukup. Masih dibutuhkan kerja serius dan upaya berbagai kalangan agar konflik tidak semakin melebar.

Momentum meninggalnya Indra Pelani harus dapat “membuka mata” dan membuka ruang untuk mendialogkan berbagai konflik di Jambi. Sudah saatnya kita harus mengedepankan dialog daripada menggunakan cara-cara kekerasan didalam menyelesaikan persoalan.

Masih banyak pekerjaan rumah dan waktu yang panjang untuk menuntaskan berbagai konflik di Jambi.

Semoga kita tidak meninggalkan “warisan” konflik kepada generasi mendatang.

Selamat Jalan Adikku.
Semoga kepergianmu tidak sia-sia.