Peristiwa
tragis yang merenggut nyawa pejuang petani, Indra Pelani (Serikat
Tani Tebo) memantik dukungan publik. Kepergian Indra Pelani menuai
protes dan dukungan dari berbagai kalangan. Berbagai website resmi
dari berbagai organisasi yang memiliki “concern” terhadap
peristiwa ini telah memuatnya.
Pihak
Asia Pulp and Paper (APP group dari PT. WKS) menyatakan resmi
mengutuk keras perbuatan pelaku dan bertanggungjawab dan menyerahkan
kepada proses hukum siapapun yang terlibat.
Dukungan
nasional dan internasional telah mengalir. Penulis mendapatkan ucapan
duka cita yang mendalam yang disampaikan berbagai organisasi
internasional. Ucapan duka cita telah disampaikan kepada Ibunda
Almarhum Indra Pelani.
Kepergian
Indra Pelani masih menyimpan tanya. Tanpa memasuki wilayah hukum
terhadap proses yang tengah berlangsung, pertanyaan tetap mengganggu.
Berbagai misteri harus diungkapkan. Bagaimana misteri terhadap
“rencana/desain” untuk membunuh Indra Pelani. Mengapa mayat
kemudian dibuang. Persoalan apa hingga pelaku begitu tega
melakukannya. Siapa yang terlibat dari desain pembunuhan. Apakah
hanya pelaku yang tengah diproses atau adanya keterlibatan
pihak-pihak yang belum tersentuh. Siapa yang ingin “memancing”
dari keruhnya konflik antara pihak PT. WKS dengan masyarakat. Siapa
yang dirugikan dari proses negosiasi yang tengah berlangsung. Misteri
itu disebabkan hingga kini belum mendapatkan jawaban yang layak
terhadap peristiwa tersebut.
Namun
problema utamanya tidak hanya “sekedar” mengungkapkan peristiwa
tragis terhadap Indra Pelani. Tapi problema konflik yang belum
terselesaikan. Termasuk menggunakan cara-cara kekerasan yang masih
digunakan dan masih effektif untuk membuat konflik semakin kisruh.
Pola
Kekerasan
Secara
faktual, konflik antara masyarakat Desa Lubuk Mandarsyah dengan PT.
WKS sudah mulai kondusif. Masyarakat yang tergabung di Serikat Tani
Tebo sudah membangun komunikasi dengan PT. WKS. Perusahaan sedang
mempersiapkan berbagai alternatif model pola penyelesaian dengan Desa
Lubuk Mandarsyah. Dengan melihat kondisi ini, maka secara de facto,
konflik antara Desa Lubuk Mandarsyah dan PT. WKS praktis tidak ada
persoalan.
Namun,
misteri ini kemudian tersulut dengan peristiwa tragis. Penulis
menemui kesulitan mengapa peristiwa tragis terjadi disaat konflik
mulai kondusif.
Yang
paling menyedihkan adalah penggunaan pola kekerasan didalam
menyelesaikan persoalan. Itu problema utama didalam melihat konflik.
Tentu saja ada “tangan-tangan tersembunyi” yang “membenturkan”
antara masyarakat Desa Lubuk Mandarsyah dengan PT. WKS. Tangan-tangan
tersembunyi cukup “memainkan” perannya dan desainnya cukup rapi
dan canggih sehingga peristiwa tragis tidak terjadi. Tentu saja tidak
sesederhana dengan pengungkapan dari pelaku yang membunuh korban.
Pola
kekerasan masih digunakan dan masih effektif untuk membenturkan
antara masyarakat Desa Lubuk Mandarsyah dengan PT. WKS. Pola
kekerasan ini ingin langsung membenturkan sehingga konflik yang sudah
mulai kondusif akan melebar dan pertaruhan dan mengganggu citra PT.
WKS yang tunduk dengna Protokol komitmen. Upaya ini cukup canggih
sehingga penulis kesulitan “membaca jejak” dan arah yang tengah
dimainkan.
Dalam
berbagai kesempatan, penulis tetap mendesak kepada proses hukum untuk
dapat membongkar “misteri” ini. Siapapun yang bertanggungjawab
dan “merencanakan” hingga terjadinya peristiwa tragis diproses
hukum.
Selain
“menghentikan” cara-cara kekerasan, pola kekerasan digunakan
harus dihentikan. Penggunaan atribut yang “berbau” uniform harus
dievaluasi total. Penggunaan atribut yang berbau “uniform' selain
memprovokasi dan menimbulkan gesekan di tengah masyarakat, cara ini
juga bertentangan dengan semangat dan membangun kepercayaan (trusth)
memasuki tahap negosiasi. Cara ini justru dapat “dimanfaatkan”
dan membuat konflik tetap laten.
Sudah
saatnya pola kekerasan yang diwariskan rezim orde baru dihentikan.
Sudah saatnya pola kekerasan menyikap perbedaan dan konflik harus
diselesaikan.
Konflik
di sektor Sumber daya alam
Peristiwa
tragis terhadap Indra Pelani kembali membuka data-data konflik yang
masih tengah terjadi.
Konflik
di sektor sumber daya alam bermula dari struktur ketimpangan lahan.
Hasil riset Walhi 2014 menyebutkan dari 2,1 juta hektar merupakan
kawasan hutan. 2,1 juta hektar kemudian 818 ribu hektar sudah
ditetapkan untuk HTI. Berbanding terbalik kawasan untuk
kemasyarakatan hanya mencapai 53 ribu hektar.
Sedangkan
di sektor Tambang seluas satu juta hektar. Diluar itu, sudah terdapat
515 ribu untuk sawit. Belum lagi tumpang tindih antara kawasan sawit
dan HTI di kawasan gambut.
Dalam
catatan Walhi Jambi sejak tahun 1999-2012, berbagai konflik di
Propinsi Jambi mencapai hingga 300 konflik. Merata dari Kerinci
hingga ke daerah hilir di kawasan gambut Timur pesisir Jambi.
Trend
konflik sudah bergeser. Apabila kita perhatikan trend konflik sejak
1999-2004 di sektor sawit, maka bergeser ke issu kehutanan. Dan lima
tahun terakhir ini kemudian di sektor pertambangan.
Sedangkan
dilihat dari tipologi konflik yang sudah merata di berbagai daerah,
maka bisa kita lihat mulai dari hulu (kabupaten Sarolangun dan
Merangin), bergeser ke daerah tengah (kabupatn Bungo, Tebo dan
Batanghari) dan bergerak ke daerah hilir (Muara Jambi Tanjabbar,
Tanjabtim).
Akibat
konflik sudah memakan korban. Di sektor sawit, kerusuhan massa
berakhir dengan pembakaran. Merata di berbagai tempat. Termasuk
meninggalnya beberapa petani yang berhadapan dengan perusahaan.
Begitu juga disektor kehutanan dengan konflik pembakaran alat berat
PT. WKS tahun 2007 dan memakan korban baik di Senyerang dan terhadap
Indra Pelani. Sedangkan di sektor pertambangan, berbagai korban sudah
berjatuhan. Baik di Bungo, Bangko dan Sarolangun. Bahkan dalam 6
bulan terakhir ini, korban sudah berjatuhan setiap bulan.
Dengan
melihat persoalan konflik, berdasarkan hasil kajian Tim Inventarisir
dan Resolusi Konflik Pemerintah Propinsi Jambi “memprioritaskan”
seperti PT. REKI, PT. LAJ, PT. KDA, PT. WKS, PT. Asiatic Persada
untuk dapat diselesaikan.
Berbagai
peringatan (warning sistem) sudah sering disampaikan. Namun
peringatan kurang mendapatkan respon yang baik dari Pemerintah.
Masyarakat yang berkonflik justru “dibenturkan” langsung kepada
perusahaan. Pada titik inilah, berbagai ruang untuk menyelesaikan
“menemukan” jalan buntu.
Memang
ada upaya yang serius terhadap penyelesaian konflik di sektor sumber
daya alam. Berbagai inisiatif, peran aktif beberapa daerah untuk
menyelesaikan konflik. Namun upaya itu tidak cukup. Masih dibutuhkan
kerja serius dan upaya berbagai kalangan agar konflik tidak semakin
melebar.
Momentum
meninggalnya Indra Pelani harus dapat “membuka mata” dan membuka
ruang untuk mendialogkan berbagai konflik di Jambi. Sudah saatnya
kita harus mengedepankan dialog daripada menggunakan cara-cara
kekerasan didalam menyelesaikan persoalan.
Masih
banyak pekerjaan rumah dan waktu yang panjang untuk menuntaskan
berbagai konflik di Jambi.
Semoga
kita tidak meninggalkan “warisan” konflik kepada generasi
mendatang.
Selamat
Jalan Adikku.
Semoga
kepergianmu tidak sia-sia.
Baca : in Memoriam Indra Pelani dan Ini Pembunuhan Berencana