Diibaratkan
lakon wayang, goro-goro sudah dimulai. Lakon masih misteri disimpan sang
dalang. Dengan menggunakan berbagai pasukan, goro-goro kemudian “menyita” perhatian public. Entah sambil
ngomel terhadap “lambatnya” Jokowi
terhadap peristiwa ini ataupun kegeraman terhadap “Cepatnya” pengungkapan kasus terhadap BW dan kemudian disusul
ditangkap terhadap BW di tengah jalan, membuat sebagian mulai “meragukan” professional Bareskrim
mengungkapkan kasus.
Keraguan
itu berdasar. Pengalaman empiric yang terekam di memori public, praktis -
laporan terjadinya tindak pidana memerlukan waktu yang cukup lama
pengungkapannya.
Dalam
tahap penyelidikan, penyidik memerlukan “bukti
permulaan yang cukup untuk meningkatkan ke tahap penyidikan. Dilakukan
gelar perkara, dicroscek antara satu kesaksian dengan lain, menghubungkan
antara saksi dengan barang bukti sehingga menimbulkan keyakinan kepada penyidik
telah terjadinya tindak pidana.
Selain
itu Insting penyidiklah yang cukup membantu mempercepat pengungkapan kasus.
Betul.
Ada perkara yang cepat diungkapkan. Penulis pernah bertemu menyidik yang
mengungkapkan kasus pembunuhan yang cukup heboh di Jambi hanya memerlukan waktu
“8 jam”. Insting penyidik meyakini setelah melihat TKP, melihat kerumuman orang
yang melihat mayat di tepi sungai Batanghari, memeriksa korban, melihat motif
dan melihat luka si korban.
Kejelian
penyidik membuktikan sebuah teori kriminologi “setiap kejahatan pasti meninggalkan jejak”. Kemampuan penyidik
membaca jejak dibutuhkan selain jam terbang penyidik, juga insting yang
terasah, informasi di tempat perkara hingga berbagai pengolahan data sehingga
menjadi informasi yang berguna.
Tentu
saja selain dipelajari didalam teknik penyidikan, “ketenangan” membaca jejak dan “tidak
ada intervensi” terhadap perkara membuat perkara cepat diungkapkan.
Sehingga
prestasi polisi dalam mengungkapkan kasus pembunuhan praktis selalu bisa
diungkapkan.
Sekarang
mari kita lihat apakah kemampuan penyidik didalam mengungkapkan kasus terhadap
BW (komisioner KPK) memang “handal” ?
Pertanyaan
mengganggu. Apakah kasus ini sudah pernah disidik ?
Menurut
mantan Wakapolri, Ogroeseno, kasus ini pernah dilaporkan dan kemudian
dicabut. Membuat laporan, mencabut dan
kemudian memproses lagi merupakan acrobat yang “kehilangan” legitime yang sulit
diterima dalam proses pembuktian.
Lha,
ini khan main-main. Masak laporan yang telah dicabut kemudian diproses lagi ?
Apakah Bareskrim “mau dipermainkan seperti itu ?’.
Bahkan
dengan tegas, dia berujar, Harusnya kan
dikumpulkan dulu fakta-fakta di lapangan. Polisi itu tugasnya membuat terang
suatu perkara. Bukan mengumpulkan barang bukti, kalau kumpulkan barang bukti
kan namanya pemulung barang bukti. Enggak boleh
Dari
titik ini saja, merupakan amunisi yang akan berbalik kepada Bareskrim Polri.
Lalu
siapa yang melaporkan perkara ini ?
Ya.
Sugianto. Seorang legislator yang terpilih dari Dapil Kalimantan Tengah dengan
perolehan suara mencapai 41.337 suara (35,8%).
Nama
Sugianto menjadi populer saat terjadi kasus penyiksaan investigator lingkungan
hidup Faith Doherty dari Environmental Investigation Agency, London dan
Ruwidrijanto, anggota lembaga swadaya masyarakat Telapak Indonesia. Sugianto
juga dituding menyiksa Abi Kusno Nachran, wartawan tabloid Lintas Khatulistiwa.
Abi ternyata masih kakek Sugianto.
Penyiksaan
yang diterima Faith Doherty waktu itu cukup kejam. Empat jari tangan kirinya
terpotong, menyisakan hanya jempol. Sedangkan Abi Kusno Nachran, jari di tangan
kanannya utuh, tapi sekujur lengannya menyimpan bekas luka. Abi menyebut dua
nama yang bertanggung jawab atas kekerasan itu: Sugianto dan Abdul Rasyid.
Tahun
2010, Sugianto kemudian mencalonkan diri sebagai Calon Bupati Kotawaringin
Barat. Pilkada ini hanya diikuti dua pasangan calon Sugianto Sabran-Eko
Soemarno dan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto. Berdasarkan hasil penghitungan
suara yang dilakukan KPUD Kotawaringin Barat, Sugianto-Eko memenangkan Pilkada
dengan meraih 67.199 suara.
Ujang
Iskandar-Bambang Purwanto kemudian menggugat di MK dengan didampingi Bambang
Widjojanto. MK kemudian membatalkan Sugianto-Eko.
Sugianto-Eko
tidak puas dan “mempersoalkan keterangan
saksi” yang dianggap palsu. Sugianto kemudian melaporkan kasus pemberian
keterangan palsu itu ke Bareskrim pada 2010 lalu. Hasilnya, Ratna divonis lima
bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sekarang
marilah diskusikan mengenai kapasitas saksi.
Melihat
pemberitaan di berbagai media, simpang siur laporan dari pelapor, ok, kita
tetapkan tanggal 19 Januari 2015. Apakah ketika waktu datang, saksi pelapor
langsung membawa saksi ? Biasanya, saksi pelapor belum membawa saksi. Dan itu
lumrah.
Apakah
saksi pelapor mempunyai kapasitas saksi sebagai saksi pelapor ?. Padahal
didalam KUHAP, saksi adalah orang yang mendengar, mengetahui dan melihat
langsung terjadinya tindak pidana ?
Apakah
saksi pelapor telah memenuhi kriteria sebagai saksi pelapor.
Selain
itu juga, didalam KUHAP juga dijelaskan, saksi yang diminta keterangan juga
dilihat kehidupannya, pergaulan sosialnya, track record (saya sengaja menterjemahkan secara sederhana). Data ini penting
untuk melihat relevansi dan kepentingan dari saksi pelapor terhadap peristiwa
ini.
Apabila
saksi pelapor diragukan keterangannnya, maka saksi pelapor dapat disebutkan
sebagai Saksi palsu (false witness).
Saksi palsu berbahaya selain karena bukan semata-mata karena kesalahan
memberikan keterangan (yang dilihat dan
didengar), melainkan yang lebih fundamental adalah kebohongan di dalam
hatinya (a lie in the heart of the
witness). Dengan kata lain, sebuah kesaksian yang palsu bukan hanya masalah
ketepatan representasi pengalaman melainkan masalah hati yang disebut Riceour sebagai the evil intention yang
berakibat fatal dalam mengupayakan keadilan.
Dari
titik ini saja, Bareskrim terlalu teledor untuk melanjutkan pemeriksaan ini.
Terus.
Apakah kemudian keesokan harinya saksi pelapor kemudian membawa saksi-saksi ?
Itu baru saksi.
Dalam
keterangan pers, Mabes Polri mengklaim telah menghadirkan alat bukti seperti
saksi, saksi ahli dan surat.
Nah.
Apakah tanggal 19 Januari 2015 saksi pelapor telah membawa saksi ahli. Siapa
saksi ahli yang mau bersama-sama dengan saksi pelapor memberikan keterangan
tanggal 19 Januari.
Apabila
tanggal 19 Januari 2015, saksi pelapor belum membawa saksi ahli, maka
dibutuhkan proses administrasi pemanggilan saksi ahli paling cepat 3 hari
sebagaimana diatur didalam KUHAP.
Artinya.
tanggal 20 Januari, barulah surat panggilan terhadap saksi ahli. Dan sesuai
dengan KUHAP, maka saksi ahli diberikan waktu 3 hari untuk datang memberikan
keterangan.
Terus.
Tanggal 23, barulah datang saksi ahli memberikan keterangan. Maka tim penyidik
harus gelar perkara di internal kepolisian.
Padahal
kita sudah tahu, tanggal 23 Januari, pagi hari sudah dilakukan penangkapan
terhadap BW.
Misteri
inilah yang membuat saya bingung untuk melihat “cepatnya” Bareskrim mengungkapkan kasus ini
Sehingga
tidak salah, tokoh selevel mantan Wakapolri, dengan keras menyindir “Makanya sekarang kalau dicabut dan
dilaporkan kembali kan akrobat. Harusnya kan dikumpulkan dulu fakta-fakta di
lapangan. Polisi itu tugasnya membuat terang suatu perkara. Bukan mengumpulkan
barang bukti, kalau kumpulkan barang bukti kan namanya pemulung barang bukti.
Enggak boleh
Tidak
tahu Wakapolri
Peristiwa
yang menarik,ketika Wakapolri tidak mengetahui tentang penangkapan. Berbagai
berita headline mengabarkan Johan Budi yang sudah menghubungi Wakapolri tentang
penangkapan BW, namun Wakapolri sama sekali tidak mengetahui tentang
penangkapan BW.
Saya
percaya kepada pernyataan dari Wakapolri yang sama sekali tidak mengetahui
tentang penangkapan BW. Artinya memang ada “operasi
liar’ diluar koordinasi Wakapolri.
Ini
sangat berbahaya dan justru menimbulkan trauma tentang “penculikan” sampai selevel komisioner KPK. Cara-cara ini
mengingatkan kelakuan orde baru yang menjalankan operasi diluar kendali
pemimpin tertinggi.
Begitu
berbahayakah BW sehingga dilakukan penangkapan. Padahal berbagai Peraturan
Kapolri sudah mengatur tentang tatacara penangkapan yang berdampak kepada
kondisi social yang akan menurunkan martabat dan kewibawaan Polri.
Berbagai
catatan ini sengaja memaparkan fakta-fakta bagaimana operasi rekayasa terhadap
BW sudah kasat mata. Tim Independent yang dibentuk Jokowi dapat menguraikan dan
memberikan pandangan sehingga “tuduhan”
serius terhadap rekayasa terhadap BW dapat diungkapkan.