Diibaratkan pertandingan, pluit
panjang sudah dibunyikan. Pemain sudah memberikan pandangannya baik yang suka
maupun yang menggerutu. Hasil pertandingan sudah diketahui.
Namun pertandingan yang baik
tetap memberikan inspirasi kepada seluruh pemain, penonton dan pengamat.
Pertandingan yang dilakukan dengan tidak baik akan memberikan penilaian kepada
wasit. Penonton akan menuduh wasit tidak mengerti tatacara pertandingan.
Penonton protes dan akan memberikan “penilaian tersendiri” cara wasit
memimpin pertandingan.
Begitu juga persidangan
praperadilan Komjen Budi Gunawan (BG). Terlepas dari putusan akhir (amar),
pertimbangan yang disampaikan oleh hakim memberikan “kesan” kepada
praktisi hokum untuk menilai “pertimbangan” hakim sebelum memutuskan
perkara BG. Pertimbangan yang digunakan hakim untuk menilai perkara menarik
perhatian penulis.
Untuk memudahkan pemahaman
pikiran yang hendak saya sampaikan, maka saya akan menyusun dengan membuat
perkiraan tema pertimbangan hakim sebelum menjatuhkan putusan. Perkiraan ini
sekaligus mengukur apakah pertimbagnan yang digunakan sudah dapat
dipertanggungjawabkan secara hokum.
1.
Asas Positivisme
Sebagai aturan tentang
praperadilan telah dijelaskan didalam pasal 1 ayat (1), pasal 77, pasal 82 dan
pasal 95 KUHAP. Menggunakan penafsiran grammatical (letterllijk) hakim
tidak dibenarkan secara rigid (ketat) melakukan penafsiran sebagaimana
telah diatur didalam KUHAP.
Namun dalam pertimbangannya,
penetapan seorang sebagai tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan.
Sehingga tindakan penyidik dalam penyidikan dan jaksa penuntut umum sebagaimana
diatur dalam Pasal 77 KUHAP, masuk ke dalam objek praperadilan.
Adapun pertimbangan KPK yang
mengaku belum pernah melakukan upaya paksa sebagaimana kewenangan praperadilan,
hakim menyatakan bahwa penetapan seorang tersangka juga merupakan upaya paksa
yang dilakukan dalam proses penyidikan.
Memberikan penafsiran “tindakan
penyidik” menetapkan tersangka merupakan upaya paksa yang dapat
diperiksa di muka hokum merupakan roh dari praperadilan. Namun hokum
acara pidana harus ketat. Keketatan itu harus memenuhi 4 persyaratan 1) nullum crimen, noela poena sine lege praevia, 2) nullum crimen, noela
poena sine lege scripta, 3) nullum crimen, noela poena sine lege certa, dan 4)
nullum crimen, noela poena sine lege stricta.
Hakim tidak dibenarkan “membuat
hukum acara” baru terutama di lapangan hukum pidana. Itu kesesatan yang tidak bisa disamakan
dengan pemeriksaan hukum perdata didalam menemukan hukum (rechtvinding)
dengan alasan kekosongan hukum.
2.
Unsur korupsi
Sebagai bahan dasar untuk
mengukur “integritas” dan mengukur pertimbangan hakim, ada baiknya kita
sejenak mendiskusikan tentang makna “korupsi”.
UU NO.31/1999 jo UU No.20/2001
menyebutkan bahwa pengertian korupsi mencakup perbuatan (a) Melawan hokum, (b) Menyalahgunakan kewenangan karena
jabatan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/kedudukan yang dapat merugikan
keuangan/perekonomian Negara, (c) delik
penyuapan, (d) delik penggelapan dalam jabatan, (e) Delik pemerasan dalam
jabatan, (f) Delik yang berkaitan dengan pemborongan, (g) Delik gratifikasi.
Lalu timbul pertanyaan? Apakah
terhadap perbuatan yang dilakukan oleh BG menerima dana didalam mengurus
penempatan personil sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Mabes Polri (Karobinkar)
tahun 2003-2006 tidak termasuk kedalam kategori korupsi ?
Mengapa dengan alasan seperti
Karobinkar merupakan jabatan administrasi dan bukan penyelenggara negara.
Karobinkar jabatan di bawah deputi Kapolri sebagai pelaksana staf, setingkat
pejabat eselon II. Selain itu juga tidak termasuk kedalam kategori penegak
hokum dan golongan penyenggaran Negara “tidak termasuk kedalam kategori
sebagai korupsi”. Mengapa Hakim cuma
mendasarkan kepada pasal 6 dan pasal 11 UU KPK yang membagi kategori “penyelenggara
Negara/penegak hokum, kasus yang meresahkan masyarakat dan diatas 1 milyar yang
cuma dijadikan sandaran.
Mengapa tidak melihat secara utuh
untuk melakukan penilaian “apakah menerima dana didalam jabatannya”
dapat dikategorikan sebagai korupsi. Sungguh pendidikan yang salah di tengah
masyarakat.
3.
Menggali
Untuk memberikan
pertimbangannya, hakim praperadilan
kemudian mengutip asas “hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan
tidak ada hokum yang mengaturnya’. Dan asas “hakim harus menggali nilai-nilai
di tengah masyarakat” sebagaimana diatur didalam UU Kekuasaan Kehakiman.
Walaupun secara resmi tidak ada
penjelasan apakah asas ini masuk kedalam hokum pidana atau hokum perdata, namun
didalam lapangan hokum pidana terutama hokum acara pidana sangat ketat (rigid)
Bagir Manan pernah mengingatkan
““Hakim adalah mulut atau corong undang-undang (spreekbuis van de wet,
bouche de la hoi) . Pernyataan ini didukung oleh Logemann menyatakan “men
mag de norm waaraan men gebonden is niet willekeurig uitleggen, doch alleen de
juiste uitleg mag gelden” orang tidak boleh menafsirkan secara sewenang-wenang
kaidah yang mengikat, hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat
undang-undang menjadi tafsiran yang tepat
Pemikiran ini sekaligus mendukung
sistem hokum di Indonesia yang menganut sistem hokum Eropa continental. Hukum
Acara pidana berangkat dari peraturan perundang-undangan. Bukan dari case yang
masuk seperti diatur didalam sistem hokum Anglo Saxon.
Sudah banyak sekali Surat Edaran
Mahkamah Agung dan Sikap Mahkamah Agung yang memberikan batasan tentang “praperadilan”
dan hokum acara di lapangan hokum pidana. Dengan demikian, maka berbeda dengan
hokum perdata. Hukum acara pidana tidak dapat disandarkan dengan asas “hakim
tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hokum yang mengaturnya”
dan asas “hakim harus menggali hokum yang ada di tengah masyarakat”. Itu
sama sekali dimensi yang terpisahkan.
4.
Taat Asas
Sekali lagi saya harus bolak
balik memahami asas apa yang digunakan oleh hakim prapid sebelum menjatuhkan
putusan. Mengutip dari yang disampaikan
oleh Gustav Radbruck tentang tujuan hukum yaitu keadilan (gerechtigkeit),
kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit).
Sekarang mari kita telusuri
pertimbangan hakim prapid.
Memberikan pertimbangan “penetapan
tersangka” tidak tunduk kepada pasal 77, pasal 82 dan pasal 95 KUHAP
merupakan “keluar dari pengap” tafsiran asas kepastian hukum
(rechtssicherheit).
Namun kemudian mereduksi peran BG
bukan penyelenggara Negara dan bukan penegak hokum Sebagai Kepala Biro
Pembinaan Karir Mabes Polri (Karobinkar) tahun 2003-2006 malah “terjebak” kembali kedalam asas kepastian
hukum (rechtssicherheit)
Mengapa pertimbangannya
melompat-lompat dan tidak konsisten ?. Meninggalkan tradisi kepastian hukum
(rechtssicherheit) namun malah terjebak kembali ke asas kepastian hukum
(rechtssicherheit) ?
Menggunakan satu asas maka harus
konsisten dengan satu asas. Hakim dibenarkan memilih asas apakah keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum
(rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit). Namun hakim harus
tetap konsisten dengan asas. Taat asas. Tidak dibenarkan menggunakan
satu asas namun kemudian “mengelimir” dan kembali mengakui asas yang
lain.
Selain itu juga logika yang
hendak dibangun tentu saja berangkat dari “common sense”. Tidak memerlukan
tafsiran yang rumit untuk menerima atau menolak logika yang hendak disodorkan.
Namun ketika pertimbagan yang
disampaikan oleh Hakim prapid, maka logika yang dibangun tidak meyakinkan,
menggunakan berbagai alasan untuk “mengacaukan” logika sehat yang sudah
tersusun (mistake). Dengan demikian maka logika yang disusun dapat
dikategorikan sebagai kesesatan (mistake)
5.
Penafsiran Hukum
Didalam memberikan pertimbangannya,
hakim menggunakan penafsiran “kekosongan hokum (rechtvinding)” untuk
menerima permohonan tentang “penetapan tersangka’.
Pertanyaannya adalah ? Apakah
hakim dibenarkan untuk memberikan penafsiran dengan alasan “mengisi
kekosongan hokum (rechtvinding)”.
Sebelum melakukan penafsiran,
maka definisi penafsiran didalam lapangan hokum pidana harus ketat. Penafsiran
hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-daalil yang tercantum
dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki serta yang dimaksud oleh
pembuat undang-undang.
Penafsiran hokum tidak boleh
sepotong-sepotong, harus utuh (komprehensif) sehingga hokum menjadi jelas dan
terang. Bukan menimbulkan kerumitan baru.
Hakim harus “memahami”
sejarah lahirnya peraturan perundang-undangan (penafsiran historial),
penafsiran resmi (authentic), maksud dari pembuat UU (content issu)
dan kalimat didalam peraturan perundang-undangan (penafsiran grammatical).
Menggunakan asas “hakim tidak boleh menolak perkara dengan
alasan tidak ada hokum yang mengaturnya’ dan asas “hakim harus menggali
nilai-nilai di tengah masyarakat” sebagaimana diatur didalam UU Kekuasaan
Kehakiman merupakan pintu (permit). Bukan wewenang untuk menafsirkan
KUHAP dan UU KPK secara bebas.
Kedua asas harus dilihat sebagai entry
point untuk kemudian melakukan penafsiran dari KUHAP dan UU KPK.
Hakim tidak dibenarkan
mempergunakan kedua asas itu lalu “sesuka-sukanya” menafsirkan KUHAP dan
UU KPK.
Lalu mengapa penafsiran hokum
terhadap Komjen BG sebagai penegak hokum Sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir
Mabes Polri (Karobinkar) tahun 2003-2006 bukan “penyelenggara Negara”
dan bukan penegak hokum namun
melupakan makna “korupsi” sebagaimana diatur didalam UU Korupsi itu
sendiri.
Apakah mengalami penyempitan
makna ketika menerima dana didalam jabatannya Kepala Biro Pembinaan Karir
Mabes Polri (Karobinkar) tahun 2003-2006 sehingga tidak dikategorikan sebagai
korupsi ? Mengapa pemahaman korupsi begitu sempit dan terjebak dengan
penafsiran “grammatical” didalam pasal 6 dan pasal 11 UU KPK semata-mata
?
Sehingga tidak salah kemudian
penafsiran hokum yang digunakan oleh hakim prapid tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara akademik.
6.
Kemanfaatan Hukum (zweckmassigkeit).
Terlepas dari apapun putusan yang
telah diputuskan oleh hakim prapid, hokum bukanlah berada di ruang hampa. Hukum
harus hidup di sanubari rakyat. Atau seperti yang telah disampaikan oleh
Aristoteles “Hukum harus membela kepentingan atau kebaikan bersama/Common
good)”.
Lalu apakah dengan putusan yang
telah dihasilkan, maka persoalan hokum telah selesai. Apa manfaat yang bisa
didapatkan oleh masyarakat pencari keadilan (justibelen) ?
Menggunakan penafsiran terbalik (logical
a contrario), maka alasan setiap tindakan penyidik dapat diperiksa di
praperadilan.
Pengadilan akan didatangi
berduyun-duyun masyarakat untuk mempersoalkan “penetapan tersangka’. Jumah sesak perkara dan menumpuk di
pengadilan akan ditambah permohonan ‘praperadilan”. Sungguh putusan
tidak menghasilkan kemanfaatan hokum (zweckmassigkeit)