16 Februari 2015

opini musri nauli : Logika Berfikir Putusan Praperadilan



Diibaratkan pertandingan, pluit panjang sudah dibunyikan. Pemain sudah memberikan pandangannya baik yang suka maupun yang menggerutu. Hasil pertandingan sudah diketahui.

Namun pertandingan yang baik tetap memberikan inspirasi kepada seluruh pemain, penonton dan pengamat. Pertandingan yang dilakukan dengan tidak baik akan memberikan penilaian kepada wasit. Penonton akan menuduh wasit tidak mengerti tatacara pertandingan. Penonton protes dan akan memberikan “penilaian tersendiri” cara wasit memimpin pertandingan.

Begitu juga persidangan praperadilan Komjen Budi Gunawan (BG). Terlepas dari putusan akhir (amar), pertimbangan yang disampaikan oleh hakim memberikan “kesan” kepada praktisi hokum untuk menilai “pertimbangan” hakim sebelum memutuskan perkara BG. Pertimbangan yang digunakan hakim untuk menilai perkara menarik perhatian penulis.

Untuk memudahkan pemahaman pikiran yang hendak saya sampaikan, maka saya akan menyusun dengan membuat perkiraan tema pertimbangan hakim sebelum menjatuhkan putusan. Perkiraan ini sekaligus mengukur apakah pertimbagnan yang digunakan sudah dapat dipertanggungjawabkan secara hokum.

1.     Asas Positivisme

Sebagai aturan tentang praperadilan telah dijelaskan didalam pasal 1 ayat (1), pasal 77, pasal 82 dan pasal 95 KUHAP. Menggunakan penafsiran grammatical (letterllijk) hakim tidak dibenarkan secara rigid (ketat) melakukan penafsiran sebagaimana telah diatur didalam KUHAP.

Namun dalam pertimbangannya, penetapan seorang sebagai tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan. Sehingga tindakan penyidik dalam penyidikan dan jaksa penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP, masuk ke dalam objek praperadilan.


Adapun pertimbangan KPK yang mengaku belum pernah melakukan upaya paksa sebagaimana kewenangan praperadilan, hakim menyatakan bahwa penetapan seorang tersangka juga merupakan upaya paksa yang dilakukan dalam proses penyidikan.

Memberikan penafsiran “tindakan penyidik” menetapkan tersangka merupakan upaya paksa yang dapat diperiksa di muka hokum merupakan roh dari praperadilan. Namun hokum acara pidana harus ketat. Keketatan itu harus memenuhi 4 persyaratan  1) nullum crimen, noela poena sine lege praevia, 2) nullum crimen, noela poena sine lege scripta, 3) nullum crimen, noela poena sine lege certa, dan 4) nullum crimen, noela poena sine lege stricta.

Hakim tidak dibenarkan “membuat hukum acara” baru terutama di lapangan hukum pidana.  Itu kesesatan yang tidak bisa disamakan dengan pemeriksaan hukum perdata didalam menemukan hukum (rechtvinding) dengan alasan kekosongan hukum.

2.     Unsur korupsi

Sebagai bahan dasar untuk mengukur “integritas” dan mengukur pertimbangan hakim, ada baiknya kita sejenak mendiskusikan tentang makna “korupsi”.

UU NO.31/1999 jo UU No.20/2001 menyebutkan bahwa pengertian korupsi mencakup perbuatan  (a) Melawan hokum, (b)    Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian Negara, (c)             delik penyuapan, (d) delik penggelapan dalam jabatan, (e) Delik pemerasan dalam jabatan, (f) Delik yang berkaitan dengan pemborongan, (g) Delik gratifikasi.

Lalu timbul pertanyaan? Apakah terhadap perbuatan yang dilakukan oleh BG menerima dana didalam mengurus penempatan personil sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Mabes Polri (Karobinkar) tahun 2003-2006 tidak termasuk kedalam kategori korupsi ?

Mengapa dengan alasan seperti Karobinkar merupakan jabatan administrasi dan bukan penyelenggara negara. Karobinkar jabatan di bawah deputi Kapolri sebagai pelaksana staf, setingkat pejabat eselon II. Selain itu juga tidak termasuk kedalam kategori penegak hokum dan golongan penyenggaran Negara “tidak termasuk kedalam kategori sebagai korupsi”.  Mengapa Hakim cuma mendasarkan kepada pasal 6 dan pasal 11 UU KPK yang membagi kategori “penyelenggara Negara/penegak hokum, kasus yang meresahkan masyarakat dan diatas 1 milyar yang cuma dijadikan sandaran.

Mengapa tidak melihat secara utuh untuk melakukan penilaian “apakah menerima dana didalam jabatannya” dapat dikategorikan sebagai korupsi. Sungguh pendidikan yang salah di tengah masyarakat.

3.     Menggali

Untuk memberikan pertimbangannya,  hakim praperadilan kemudian mengutip asas “hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hokum yang mengaturnya’.  Dan asas “hakim harus menggali nilai-nilai di tengah masyarakat” sebagaimana diatur didalam UU Kekuasaan Kehakiman.

Walaupun secara resmi tidak ada penjelasan apakah asas ini masuk kedalam hokum pidana atau hokum perdata, namun didalam lapangan hokum pidana terutama hokum acara pidana sangat ketat (rigid)

Bagir Manan pernah mengingatkan ““Hakim adalah mulut atau corong undang-undang (spreekbuis van de wet, bouche de la hoi) . Pernyataan ini didukung oleh Logemann menyatakan “men mag de norm waaraan men gebonden is niet willekeurig uitleggen, doch alleen de juiste uitleg mag gelden” orang tidak boleh menafsirkan secara sewenang-wenang kaidah yang mengikat, hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang-undang menjadi tafsiran yang tepat

Pemikiran ini sekaligus mendukung sistem hokum di Indonesia yang menganut sistem hokum Eropa continental. Hukum Acara pidana berangkat dari peraturan perundang-undangan. Bukan dari case yang masuk seperti diatur didalam sistem hokum Anglo Saxon.

Sudah banyak sekali Surat Edaran Mahkamah Agung dan Sikap Mahkamah Agung yang memberikan batasan tentang “praperadilan” dan hokum acara di lapangan hokum pidana. Dengan demikian, maka berbeda dengan hokum perdata. Hukum acara pidana tidak dapat disandarkan dengan asas “hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hokum yang mengaturnya” dan asas “hakim harus menggali hokum yang ada di tengah masyarakat”. Itu sama sekali dimensi yang terpisahkan.

4.     Taat Asas

Sekali lagi saya harus bolak balik memahami asas apa yang digunakan oleh hakim prapid sebelum menjatuhkan putusan.  Mengutip dari yang disampaikan oleh Gustav Radbruck tentang tujuan hukum yaitu keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit).

Sekarang mari kita telusuri pertimbangan hakim prapid.

Memberikan pertimbangan “penetapan tersangka” tidak tunduk kepada pasal 77, pasal 82 dan pasal 95 KUHAP merupakan “keluar dari pengap” tafsiran asas kepastian hukum (rechtssicherheit).

Namun kemudian mereduksi peran BG bukan penyelenggara Negara dan bukan penegak hokum Sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Mabes Polri (Karobinkar) tahun 2003-2006  malah “terjebak” kembali kedalam asas kepastian hukum (rechtssicherheit)

Mengapa pertimbangannya melompat-lompat dan tidak konsisten ?. Meninggalkan tradisi kepastian hukum (rechtssicherheit) namun malah terjebak kembali ke asas kepastian hukum (rechtssicherheit) ?

Menggunakan satu asas maka harus konsisten dengan satu asas. Hakim dibenarkan memilih asas apakah  keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit). Namun hakim harus tetap konsisten dengan asas. Taat asas. Tidak dibenarkan menggunakan satu asas namun kemudian “mengelimir” dan kembali mengakui asas yang lain.

Selain itu juga logika yang hendak dibangun tentu saja berangkat dari “common sense”. Tidak memerlukan tafsiran yang rumit untuk menerima atau menolak logika yang hendak disodorkan.

Namun ketika pertimbagan yang disampaikan oleh Hakim prapid, maka logika yang dibangun tidak meyakinkan, menggunakan berbagai alasan untuk “mengacaukan” logika sehat yang sudah tersusun (mistake). Dengan demikian maka logika yang disusun dapat dikategorikan sebagai kesesatan (mistake)

5.     Penafsiran Hukum

Didalam memberikan pertimbangannya, hakim menggunakan penafsiran “kekosongan hokum (rechtvinding)” untuk menerima permohonan tentang “penetapan tersangka’.

Pertanyaannya adalah ? Apakah hakim dibenarkan untuk memberikan penafsiran dengan alasan “mengisi kekosongan hokum (rechtvinding)”.

Sebelum melakukan penafsiran, maka definisi penafsiran didalam lapangan hokum pidana harus ketat. Penafsiran hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-daalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang.

Penafsiran hokum tidak boleh sepotong-sepotong, harus utuh (komprehensif) sehingga hokum menjadi jelas dan terang. Bukan menimbulkan kerumitan baru.

Hakim harus “memahami” sejarah lahirnya peraturan perundang-undangan (penafsiran historial), penafsiran resmi (authentic), maksud dari pembuat UU (content issu) dan kalimat didalam peraturan perundang-undangan (penafsiran grammatical).

Menggunakan asas  hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada hokum yang mengaturnya’ dan asas “hakim harus menggali nilai-nilai di tengah masyarakat” sebagaimana diatur didalam UU Kekuasaan Kehakiman merupakan pintu (permit). Bukan wewenang untuk menafsirkan KUHAP dan UU KPK secara bebas.

Kedua asas harus dilihat sebagai entry point untuk kemudian melakukan penafsiran dari KUHAP dan UU KPK.

Hakim tidak dibenarkan mempergunakan kedua asas itu lalu “sesuka-sukanya” menafsirkan KUHAP dan UU KPK.

Lalu mengapa penafsiran hokum terhadap Komjen BG sebagai penegak hokum Sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Mabes Polri (Karobinkar) tahun 2003-2006 bukan “penyelenggara Negara” dan  bukan penegak hokum namun melupakan makna “korupsi” sebagaimana diatur didalam UU Korupsi itu sendiri.

Apakah mengalami penyempitan makna ketika menerima dana didalam jabatannya Kepala Biro Pembinaan Karir Mabes Polri (Karobinkar) tahun 2003-2006 sehingga tidak dikategorikan sebagai korupsi ? Mengapa pemahaman korupsi begitu sempit dan terjebak dengan penafsiran “grammatical” didalam pasal 6 dan pasal 11 UU KPK semata-mata ?

Sehingga tidak salah kemudian penafsiran hokum yang digunakan oleh hakim prapid tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

6.     Kemanfaatan Hukum  (zweckmassigkeit).

Terlepas dari apapun putusan yang telah diputuskan oleh hakim prapid, hokum bukanlah berada di ruang hampa. Hukum harus hidup di sanubari rakyat. Atau seperti yang telah disampaikan oleh Aristoteles “Hukum harus membela kepentingan atau kebaikan bersama/Common good)”.

Lalu apakah dengan putusan yang telah dihasilkan, maka persoalan hokum telah selesai. Apa manfaat yang bisa didapatkan oleh masyarakat pencari keadilan (justibelen) ?

Menggunakan penafsiran terbalik (logical a contrario), maka alasan setiap tindakan penyidik dapat diperiksa di praperadilan.

Pengadilan akan didatangi berduyun-duyun masyarakat untuk mempersoalkan “penetapan tersangka’.  Jumah sesak perkara dan menumpuk di pengadilan akan ditambah permohonan ‘praperadilan”. Sungguh putusan tidak menghasilkan kemanfaatan  hokum (zweckmassigkeit)