Dalam
sebuah proses mediasi yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri
“yang”mempertemukan Gubernur DKI (Ahok) dan DPRD DKI
berakhir dengan “deadlock”. Entah dengan alasan “gaya”
Ahok yang “terus terang” sambil menunjuk dan mengangkat
tangan sambil menunjuk jidat atau gaya anggota DPRD yang
teriak-teriak, suasana mediasi yang panas kemudian tidak menghasilkan
apa-apa.
Saya
tertarik menyoroti gaya pertemuan yang berakhir deadlock.
Ketertarikan selain melihat gaya memimpin Ahok juga “tidak”
diplomasi anggota DPRD “memainkan forum”.
Dengan
bekal data yang “mumpuni”, membuka akses publik dengan
cara e-budgetting, mengabarkan setiap detail rapat melalui
youtube, Ahok memainkan “gelanggang” dengan kepala
tegak. Latar belakang Ahok dari dunia bisnis, menguasai detail dan
rinci anggaran, membuat Ahok sulit ditandingi anggota DPRD. Ahok
memasuki gelanggang dengan gaya “koboy”.
Gaya
Ahok menguasai panggung membuat nafas anggota DPRD berdegub kencang.
Lihatlah bagaimana dengan gaya “sedikit” menekan dari
anggota DPRD mendorong “hak angket” kepada Ahok. Bukannya
“melunak”, suara Ahok menggelegar. Dengan petantang
petenteng, Ahok “roadshow” ke KPK, Kejaksaan Agung dan
Mabes Polri. Dukungan publik kemudian menguat. Ahok kemudian
mengeluarkan ancaman balik menggunakan senjata yang telah diledakkan
anggota DPRD. Bahkan Ahok menantang anggota DPRD agar sekalian
mengeluarkan “hak bertanya (interpelasi). Ahok ingin publik
mengetahui bagaimana kejadian sebenarnya.
Melihat
dinamika forum mediasi, kelihaian Ahok harus diacungi jempol. Dengan
menguasai data-data, strategi forum, menguasai panggung membuat Ahok
menjadi bintang. Dengan membawa punggawa yang membuktikan “mereka
tidak mengusulkan” anggaran siluman. Anggota DPRD kemudian
“tersengat'. Mereka
dipermalukan di forum. Mereka “dikerjakan”. Sehingga tidak
sadar mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas.
Dengan
“memancing' anggota DPRD menjadi emosi, Ahok kemudian
“tersenyum” dan berhasil masuk perangkap kepada anggota
DPRD dan terjebak dengan pola permainan yang dimainkan Ahok.
Padahal
anggota DPRD bisa “menahan” diri dan mengetahui gaya ahok
memainkan forum.
Dengan
termakan umpan yang dikeluarkan Ahok, anggota DPRD kemudian terjebak
dan “kesulitan” keluar dari perangkap. Anggota DPRD
“merasa” dipermainkan Ahok.
Keterampilan
(skill) memainkan forum merupakan keterampilan yang tidak mudah
dikuasai. Keterampilan ini dikuasai setelah seseorang banyak
berorganisasi, memegang jabatan posisi kunci dan keterampilan yang
harus diasah terus menerus.
Organisasi-organisasi
kepemudaan, organisasi kampus, kelompok studi merupakan “kawah
candradimuka' yang baik. Hampir praktis, seseorang yang pernah
memasuki organisasi-organisasi bisa menguasai dengan skill dengan
baik.
Sebelum
“menguasai” forum, dialektika harus disusun dengan logika
(common sense). Logis dan bisa diterima dengan akal sehat
harus disampaikan dengan baik. Tanpa itu, maka teriakan “hu..
hu.. huu..” akan mewarnai forum.
Cara
penyampaikan harus “to the point”, runut, sistematis dan
singkat. Penggunaan istilah asing “diusahakan dihindarkan”.
Apabila terpaksa menggunakan istilah asing, carilah padanan atau
perumpamaan yang mudah ditangkap forum.
Menggunakan
kalimat yang bertujuan “menjelaskan dengan cara bertele-tele”,
malah terjebak dengan kebosanan forum. Penyampaian yang dilakukan
malah akan blunder.
Ahok
berhasil keluar dari forum. Ahok membuat gelanggang yang dibuatnya
sendiri. Ahok menguasai gelanggang.
Etika
Dengan
gaya Ahok, anggota DPRD kemudian “terjebak”. Salah satu
anggota DPRD kemudian mengeluarkan kata-kata yang rasial, tidak
pantas dan sungguh-sungguh memalukan. Anggota DPRD kemudian tidak
mampu mengimbangi gaya ahok menguasai forum.
Dengan
mengeluarkan kata-kata rasial, angggota DPRD terjebak dengan
persoalan “etika”. Kata-kata yang dikeluarkan menjadi
persoalan. Gaya komunikasi untuk mengimbangi Ahok malah sungguh
dipantas dilakukan. Harus ada mekanisme untuk menyelesaikannya.
Menggunakan
mekanisme menyelesaikan persoalan etika merupakan ranah yang harus
diselesaikan. Tanpa menyelesaikan persoalan etika, anggota DPRD
“secara politik” tidak dapat dipertanggungjawabkan. Secara
politik sulit diterima publik.