Dunia
politik internasional cukup heboh dengan “kegigihan”
Jokowi yang melaksanakan hukuman mati. Melanjutkan proses eksekusi
hukuman mati sebelumnya, proses eksekusi mulai “mengancam”
kepada negara tetangga. Australia yang berkepentingan untuk
melindungi warganegaranya yang terlibat narkoba. Andrew Chan dan
Myuran Sukumaran. Chan dan Sukumaran menghadapi hukuman mati di
Indonesia akibat keterlibatan keduanya dalam upaya penyelundupan
heroin lebih dari 8 kilogram dari Bali ke Australia. Kasus ini biasa
dikenal “Bali Nine”.
“Gertakan”
PM Tony Abbot yang mengaitkan bantuan tsunami di Aceh dengan
“membarter” agar tidak dilakukan eksekusi hukuman mati
“tidak diladeni” oleh Jokowi. Tony Abbot mengingatkan
musibah tsunami di Aceh dengan memberikan kontribusi senilai 1 milyar
dollar.
Namun
Jokowi tetap melaksanakan eksekusi hukuman mati.
PM
Tony Abbot kemudian “bingung” dengan sikap “keukeuh”
Jokowi. Perhitungan Tony Abbot keliru. Jokowi bukan melunak apalagi
menerima “gertakan” dari Australia.
Walaupun
kemudian Menteri Luar Negeri Julie Bishop melakukan klarifikasi
dengan menghubungi Wakil Presiden, namun insiden diplomatik telah
memantik berbagai dukungan di masing-masing kedua negara.
Di
Indonesia, dukungna politik mulai bersuara. Suara-suara agar uang
dikembalikan terhadap kontribusi dari Australi mulai dikampanyekan.
Pos-pos pengumpulan koin sudah berdiri dan sumbangan mulai mengalir.
Anggota DPR dan Wakil Presiden sedang memikirkan wacana untuk
mengembalikan dana dari Australia.
Sementara
di Australia, dukungan publik untuk meminta pelaksanaan hukuman mati
juga disuarakan. Berbagai protes telah digelar di jalanan utama di
Sidney.
Kesalahan
“perhitungan” Tony Abbot disandarkan kepada kesalahan
perhitungan Tony Abbot membaca terhadap “momentum”
serangan kepada Jokowi. Tony Abbot “merasa diatas” angin
ketika melihat Jokowi yang terus diserang dalam konflik KPK vs
Kapolri. Tony Abbot “melihat” Jokowi begitu lemah didalam
melihat cara Jokowi menyelesaikannya dan memakan waktu yang
berlarut-larut. Momentum inilah yang digunakan Tony Abbot.
Namun
Tony Abbot keliru dan salah sasaran. Jokowi “berhasil”
keluar dari krisis polemik konflik KPK vs Kapolri. Pilihan dan cara
Jokowi berhasil “meredam” konflik KPK vs Kapolri. Kedua
belah pihak kemudian menahan diri dan menerima pilihan Jokowi. Jokowi
tidak mempermalukan kedua institusi penegak hukum. Jokowi tetap
menghargai proses hukum namun mengambil pilihan diluar dari
perhitungan berbagai kalangan.
Serangan
yang ditujukan kepada Jokowi tidak berhasil. Namun senjata itu malah
kemudian berbalik serangan kepada Tony Abbot. Serangan kemudian malah
tertuju kepada Tony Abbot. Bumerang. Persis seperti senjata khas
Aborigin.
Tipikal
Jokowi meladeni isu-isu biasanya tersenyum, cengengesan namun dapat
memutar balik serangan. Dalam teknik olahraga beladiri Ju jitsu,
teknik ini sering diperagakan Jet Lee. Tanpa memulai serangan, Jet
Lee mampu “meminjam” tenaga lawan untuk melumpuhkan
lawannya. Semakin kuat serangan, maka semakin kuat pula “kemampuan”
melumpuhkan lawan.
Kemampuan
jujitsu dari Jet Lee dapat kita lihat dalam film-film klasik di
televise. Indah sekali cara Jet Lee “menundukkan musuhnya”.
Dalam serial komik Wiro Sableng, mempelajari teknik ini sampai tujuh
purnama. Steven Seagal juga mempunyai kemampuan menguasai jujitsu.
Teknik
jujitsu lebih “mementingkan insting, kelenturan badan, membaca
serangan lawan dan tentu saja “mengggunakan kekuatan lawan”
bertujuan justru melumpuhkan lawan. Teknik ini memerlukan waktu yang
cukup lama menguasainya. Sehingga hampir praktis, di kalangan para
pendekar persilatan, teknik ini berhasil dikuasai justru ketika usia
sudah matang, tenang, stabil emosi dan mempunyai bathin yang suci.
Teknik
jujitsu dengan baik diperagakan oleh Jokowi. Dengan tenang, sambil
melihat serangan lawan, jawaban Jokowi sering membuat kita
mendapatkan pencerahan, namun sebenarnya jawaban dari Jokowi “memutar
serangan balik” kepada lawan.
Lihatlah
gaya “lentur” Jokowi meladeni serangan Tony Abbot. Dengan
tegas, Jokowi terus “mengumandangkan” kedaulatan bangsa
dan tidak bisa diintervensi. Gaya lentur Jokowi “kemudian”
mengirimkan serangan balik kepada Tony Abbot “sudah memasuki”
wilayah intervensi hukum nasional. Dalam hubungan internasional,
memasuki kedaulatan suatu negara merupakan “cara barbar' dan
tidak dibenarkan dalam hubungan diplomatik. Tony Abbot “tersedak”
dan salah perhitungan.
Bukan
mendapatkan dukungan dengan cara Tony Abbot “menyebutkan
kontribusi 1 milyar”. Namun justru “mempermalukan”
hubungan diplomatik. Tony Abbot tersudut dan terhuyung-huyung oleh
serangannya sendiri.
Cara
“klarifikasi” Menteri Luar Negeri Australia “melakukan
hubungan langsung ke Wakil Presiden” merupakan pengakuan dan
“sikap kesalahan diplomatik”. Bahkan Menteri Luar Negeri
Australia sendiri mengakui cara ini tidak membantu menyelesaikan
persoalan “Bali Nine”.
Tony
Abbot dipermalukan melihat tubuh ceking Jokowi.
Namun
Tony Abbot lupa. Sang tubuh ceking mampu “memerintahkan perang”.
Dan itu sudah disampaikan didalam debat kandidate Capres. Dengan
tegas Jokowi mengeluarkan ancaman. Terhadap kedaualatan bangsa. Kita
bisa bikin rame.
Ah.
Tony Abbot cuma melihat “tubuh ceking, tersenyum, cengengesan”
dari Jokowi.
Atau
mungkin Tony Abbot tidak melihat sejarah panjang perjalanan politik
Jokowi dari Solo dan di Jakarta. Atau memang jangan-jangan Tony Abbot
tidak melihat debat kandidate capres. Sehingga dia lupa si tubuh
ceking telah mengeluarkan gertakan terhadap siapapun yang
mencoba-coba mengganggu kedaulatan bangsa.