24 Februari 2015

opini musri nauli : ADU NYALI JOKOWI DAN TONI ABBOT





Dunia politik internasional cukup heboh dengan “kegigihan” Jokowi yang melaksanakan hukuman mati. Melanjutkan proses eksekusi hukuman mati sebelumnya, proses eksekusi mulai “mengancam” kepada negara tetangga. Australia yang berkepentingan untuk melindungi warganegaranya yang terlibat narkoba. Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Chan dan Sukumaran menghadapi hukuman mati di Indonesia akibat keterlibatan keduanya dalam upaya penyelundupan heroin lebih dari 8 kilogram dari Bali ke Australia. Kasus ini biasa dikenal “Bali Nine”.

Gertakan” PM Tony Abbot yang mengaitkan bantuan tsunami di Aceh dengan “membarter” agar tidak dilakukan eksekusi hukuman mati “tidak diladeni” oleh Jokowi. Tony Abbot mengingatkan musibah tsunami di Aceh dengan memberikan kontribusi senilai 1 milyar dollar.

Namun Jokowi tetap melaksanakan eksekusi hukuman mati.

PM Tony Abbot kemudian “bingung” dengan sikap “keukeuh” Jokowi. Perhitungan Tony Abbot keliru. Jokowi bukan melunak apalagi menerima “gertakan” dari Australia.

Walaupun kemudian Menteri Luar Negeri Julie Bishop melakukan klarifikasi dengan menghubungi Wakil Presiden, namun insiden diplomatik telah memantik berbagai dukungan di masing-masing kedua negara.

Di Indonesia, dukungna politik mulai bersuara. Suara-suara agar uang dikembalikan terhadap kontribusi dari Australi mulai dikampanyekan. Pos-pos pengumpulan koin sudah berdiri dan sumbangan mulai mengalir. Anggota DPR dan Wakil Presiden sedang memikirkan wacana untuk mengembalikan dana dari Australia.

Sementara di Australia, dukungan publik untuk meminta pelaksanaan hukuman mati juga disuarakan. Berbagai protes telah digelar di jalanan utama di Sidney.

Kesalahan “perhitungan” Tony Abbot disandarkan kepada kesalahan perhitungan Tony Abbot membaca terhadap “momentum” serangan kepada Jokowi. Tony Abbot “merasa diatas” angin ketika melihat Jokowi yang terus diserang dalam konflik KPK vs Kapolri. Tony Abbot “melihat” Jokowi begitu lemah didalam melihat cara Jokowi menyelesaikannya dan memakan waktu yang berlarut-larut. Momentum inilah yang digunakan Tony Abbot.

Namun Tony Abbot keliru dan salah sasaran. Jokowi “berhasil” keluar dari krisis polemik konflik KPK vs Kapolri. Pilihan dan cara Jokowi berhasil “meredam” konflik KPK vs Kapolri. Kedua belah pihak kemudian menahan diri dan menerima pilihan Jokowi. Jokowi tidak mempermalukan kedua institusi penegak hukum. Jokowi tetap menghargai proses hukum namun mengambil pilihan diluar dari perhitungan berbagai kalangan.

Serangan yang ditujukan kepada Jokowi tidak berhasil. Namun senjata itu malah kemudian berbalik serangan kepada Tony Abbot. Serangan kemudian malah tertuju kepada Tony Abbot. Bumerang. Persis seperti senjata khas Aborigin.

Tipikal Jokowi meladeni isu-isu biasanya tersenyum, cengengesan namun dapat memutar balik serangan. Dalam teknik olahraga beladiri Ju jitsu, teknik ini sering diperagakan Jet Lee. Tanpa memulai serangan, Jet Lee mampu “meminjam” tenaga lawan untuk melumpuhkan lawannya. Semakin kuat serangan, maka semakin kuat pula “kemampuan” melumpuhkan lawan.

Kemampuan jujitsu dari Jet Lee dapat kita lihat dalam film-film klasik di televise. Indah sekali cara Jet Lee “menundukkan musuhnya”. Dalam serial komik Wiro Sableng, mempelajari teknik ini sampai tujuh purnama. Steven Seagal juga mempunyai kemampuan menguasai jujitsu.

Teknik jujitsu lebih “mementingkan insting, kelenturan badan, membaca serangan lawan dan tentu saja “mengggunakan kekuatan lawan” bertujuan justru melumpuhkan lawan. Teknik ini memerlukan waktu yang cukup lama menguasainya. Sehingga hampir praktis, di kalangan para pendekar persilatan, teknik ini berhasil dikuasai justru ketika usia sudah matang, tenang, stabil emosi dan mempunyai bathin yang suci.

Teknik jujitsu dengan baik diperagakan oleh Jokowi. Dengan tenang, sambil melihat serangan lawan, jawaban Jokowi sering membuat kita mendapatkan pencerahan, namun sebenarnya jawaban dari Jokowi “memutar serangan balik” kepada lawan.

Lihatlah gaya “lentur” Jokowi meladeni serangan Tony Abbot. Dengan tegas, Jokowi terus “mengumandangkan” kedaulatan bangsa dan tidak bisa diintervensi. Gaya lentur Jokowi “kemudian” mengirimkan serangan balik kepada Tony Abbot “sudah memasuki” wilayah intervensi hukum nasional. Dalam hubungan internasional, memasuki kedaulatan suatu negara merupakan “cara barbar' dan tidak dibenarkan dalam hubungan diplomatik. Tony Abbot “tersedak” dan salah perhitungan.

Bukan mendapatkan dukungan dengan cara Tony Abbot “menyebutkan kontribusi 1 milyar”. Namun justru “mempermalukan” hubungan diplomatik. Tony Abbot tersudut dan terhuyung-huyung oleh serangannya sendiri.

Cara “klarifikasi” Menteri Luar Negeri Australia “melakukan hubungan langsung ke Wakil Presiden” merupakan pengakuan dan “sikap kesalahan diplomatik”. Bahkan Menteri Luar Negeri Australia sendiri mengakui cara ini tidak membantu menyelesaikan persoalan “Bali Nine”.

Tony Abbot dipermalukan melihat tubuh ceking Jokowi.

Namun Tony Abbot lupa. Sang tubuh ceking mampu “memerintahkan perang”. Dan itu sudah disampaikan didalam debat kandidate Capres. Dengan tegas Jokowi mengeluarkan ancaman. Terhadap kedaualatan bangsa. Kita bisa bikin rame.

Ah. Tony Abbot cuma melihat “tubuh ceking, tersenyum, cengengesan” dari Jokowi.

Atau mungkin Tony Abbot tidak melihat sejarah panjang perjalanan politik Jokowi dari Solo dan di Jakarta. Atau memang jangan-jangan Tony Abbot tidak melihat debat kandidate capres. Sehingga dia lupa si tubuh ceking telah mengeluarkan gertakan terhadap siapapun yang mencoba-coba mengganggu kedaulatan bangsa.