Ketidakadilan
yang menyentuh perasaan
tetap
tersimpan dalam hati nurani rakyat (Hodi inihi cras tibi)
Apabila
kita lihat dari sejarah lahirnya praperadilan, maka praperadilan
adalah mekanisme yang menilai pelaksanaan upaya paksa yang diberikan
oleh aparatur penegak hukum tersebut. Atau dengan kata lain,
praperadilan memeriksa upaya paksa telah sesuai dengan hukum.
Lembaga
praperadilan mirip dengan lembaga di Amerika dengan sistem hukum
Anglo Saxon. Amerika kemudian mencatat dalam sengketa Miranda cause
yang membuat putusan bahwa seorang terdakwa haruslah mengalami proses
hukum yang benar sebelum dilakukan pemeriksaan. Walaupun seorang
terdakwa telah nyata-nyata terbukti melakukan tindak pidana namun
dapat dibebaskan oleh pengadilan karena penangkapan yang dilakukan
penyidik tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Asas ini
kemudian melekat dan menjadi posisi penting penghormatan hak-hak
terdakwa dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Upaya
paksa secara limitatif (letterlijk) diatur didalam pasal 77
huruf (a) UU No. 8 Tahun 1981 “Pengadilan negeri berwenang untuk
memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
undang-undang ini tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan”. Sedangkan
didalam huruf (b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang
yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau
penuntutan.
Namun
didalam Pasal 1 butir 10 menjelaskan Praperadilan tidak diartikan
dalam proses penyelidikan dan penyidikan semata. Mekanisme ini
ditempuh setelah adanya bantahan dari tersangka, kuasa hukumnya, ahli
waris, terhadap tidak sahnya tindakan penyidik dalam upaya paksa oleh
penyidik terhadap penangkapan (arrest), penahanan (detention),
penggeledahan (searching) dan penyitaan (seizure).
Didalam
lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M. 01. PW.07.03 Tahun
1982 tanggal 4 Februari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP
ditegaskan antara lain (a). Sah tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (kecuali terhadap
penyimpangan perkara untuk kepentingan umum dan Jaksa Agung). (b).
Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seoarang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal
77). (c) Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian
(Pasal 82 ayat 1 dan ayat 3). (d). Tuntutan ganti kerugian oleh
tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta
tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang karena
kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan perkaranya tidak
diajukan ke Pengadilan Negeri (Pasal 95 ayat 2). (e).
Yahya
Harahap juga menyebutkan wewenang praperadilan (a) Memeriksa dan
memutus sah atau tidaknya upaya paksa berupa penangkapan dan
penahanan. (b) Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan
penuntutan. (c) Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi. (d)
Memeriksa permintaan rehabilitasi. (e) Praperadilan terhadap tindakan
penyitaan (lihat pasal 1 butir 10, pasal 77, pasal 82, pasal 95
dan pasal 97)
Barang
bukti
Yang
dimaksudkan dengan barang bukti yaitu barang mengenai delik dilakukan
(obyek) delik dan barang dengan mana delik dilakukan, yaitu alat yang
dipakai melakukan delik. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari
delik (lihat Andi Hamzah,1981).
Di
KUHAP sendiri, status barang bukti dan Persoalan kepada siapa barang
bukti harus dikembalikan adalah termasuk kebijaksanaan judex facti
kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang. (Putusan Mahkamah
Agung No. 100 K/Kr/1974 Tanggal 6 Mei 1975).
Apakah
diserahkan kepada pihak yang paling berhak (saksi korban atau pihak
ketiga), dilampirkan dalam berkas perkara yang terpisah atau dirampas
untuk negara. (Putusan Mahkamah Agung No. 22 K/Kr/1964 tanggal 22
Desember 1964).
Putusan
pengadilan tentang status barang bukti merupakan wewenang judex facti
majelis hakim. (Putusan Mahkamah Agung No. 107 K/Kr/1977 Tanggal 16
Oktober 1978)
Dalam
hal terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum, maka semua barang
bukti harus dikembalikan kepada terdakwa. (Putusan Mahkamah Agung No.
87 K/Kr/1970 Tanggal 3 Maret 1972). Untuk menjadi barang bukti dalam
suatu perkara pidana tidak disyaratkan bahwa barang itu disebut dalam
surat tuduhan. (Putusan Mahkamah Agung No. 125 K/Kr/1960 Tanggal 13
November 1962).
Mengenai
barang-barang bukti telah diatur didalam Pasal 39 KUHAP yang dapat
dikenakan tidakan penyitaan oleh penyidik di tempat kejadian perkara
yang dapat dikatakan sebagai barang bukti. Barang bukti yang
merupakan “Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari
kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan,
dapat dirampas”.
Barang
bukti dihadirkan didalam persidangan untuk mendapatkan dan ditemukan
fakta-fakta mengenai kesalahan terdakwa atau ketidaksalahan tedakwa
sendiri (guilty or not guilty).
MK
sudah mempertimbangkan. Perampasan hak milik dapat dibenarkan
sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law,
terlebih lagi terhadap hak milik yang lahir karena konstruksi hukum
(legal construction) (Putusan MK No. 21/PUU-III/2005 tanggal 1 Maret
2006)
Namun
apabila pemilik barang (rumah atau alat-alat yang digunakan dalam
tindak pidana) bisa membuktikan barang bukti yang digunakan dalam
tindak kejahatan tidak adanya ”persetujuan/mufakat jahat
(deelneming) dari pemilik barang, maka terhadap pemilik barang
haruslah dilindungi oleh hukum.
Putusan
MK No. 21/PUU-III/2005 tegas menyatakan, adanya perlindungan hukum
terhadap pemilik barang berdasarkan pasal 39 KUHP. Hak milik tidak
dapat dirampas.
MK
menyatakan bahwa perampasan hak milikbertentangan dengan pasal 28 J
ayat (2) UUD 1945. perampasan hak milik dari pihak ketiga yang
beritikad baik (ter goeder trouw, gadd faith) dan tetap harus
dilindungi
Praktek
ini sudah jamak terjadi dan sudah menjadi yurisprudensi didalam
berbagai putusan Mahkamah Agung.
Dengan
demikian, apabila kita perhatikan ketentuan pasal 82 ayat 3 huruf d,
maka pasal 39 KUHP dihubungkan dengan putusan MK “maka tindakan
penyitaan yang dilakukan penyidik disebabkan dalam penyitaan ada
termasuk benda yang tidak termasuk alat pembuktian. Atau sama sekali
tidak ada hubungannya dengan tindak pidana yang sedang diperiksa
cukup alasan untuk menyatakan benda yang disita tidak termasuk
sebagai benda alat pembuktian, maka pengadilan berwenang untuk
menetapkan agar barang bukti segera dikembalikan kepada tersangka
atau kepada orang dari siapa benda itu di sita.
Sehingga
Penafsiran gramatikal (letterlijk) pasal 77 juga memperhatikan
ketentuan pasal 1 butir 10, pasal 77, pasal 82, pasal 95 dan
pasal 97 KUHAP
Dengan
demikian, maka wewenang praperadilan juga berwenang untuk memeriksa
mengenai barang bukti.