05 Februari 2015

opini musri nauli : Polemik Praperadilan




Ketidakadilan yang menyentuh perasaan
tetap tersimpan dalam hati nurani rakyat (Hodi inihi cras tibi)


Apabila kita lihat dari sejarah lahirnya praperadilan, maka praperadilan adalah mekanisme yang menilai pelaksanaan upaya paksa yang diberikan oleh aparatur penegak hukum tersebut. Atau dengan kata lain, praperadilan memeriksa upaya paksa telah sesuai dengan hukum.

Lembaga praperadilan mirip dengan lembaga di Amerika dengan sistem hukum Anglo Saxon. Amerika kemudian mencatat dalam sengketa Miranda cause yang membuat putusan bahwa seorang terdakwa haruslah mengalami proses hukum yang benar sebelum dilakukan pemeriksaan. Walaupun seorang terdakwa telah nyata-nyata terbukti melakukan tindak pidana namun dapat dibebaskan oleh pengadilan karena penangkapan yang dilakukan penyidik tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Asas ini kemudian melekat dan menjadi posisi penting penghormatan hak-hak terdakwa dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Upaya paksa secara limitatif (letterlijk) diatur didalam pasal 77 huruf (a) UU No. 8 Tahun 1981 “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan”. Sedangkan didalam huruf (b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Namun didalam Pasal 1 butir 10 menjelaskan Praperadilan tidak diartikan dalam proses penyelidikan dan penyidikan semata. Mekanisme ini ditempuh setelah adanya bantahan dari tersangka, kuasa hukumnya, ahli waris, terhadap tidak sahnya tindakan penyidik dalam upaya paksa oleh penyidik terhadap penangkapan (arrest), penahanan (detention), penggeledahan (searching) dan penyitaan (seizure).

Didalam lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M. 01. PW.07.03 Tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP ditegaskan antara lain (a). Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (kecuali terhadap penyimpangan perkara untuk kepentingan umum dan Jaksa Agung). (b). Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seoarang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77). (c) Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian (Pasal 82 ayat 1 dan ayat 3). (d). Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri (Pasal 95 ayat 2). (e).

Yahya Harahap juga menyebutkan wewenang praperadilan (a) Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa berupa penangkapan dan penahanan. (b) Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penuntutan. (c) Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi. (d) Memeriksa permintaan rehabilitasi. (e) Praperadilan terhadap tindakan penyitaan (lihat pasal 1 butir 10, pasal 77, pasal 82, pasal 95 dan pasal 97)

Barang bukti

Yang dimaksudkan dengan barang bukti yaitu barang mengenai delik dilakukan (obyek) delik dan barang dengan mana delik dilakukan, yaitu alat yang dipakai melakukan delik. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik (lihat Andi Hamzah,1981).

Di KUHAP sendiri, status barang bukti dan Persoalan kepada siapa barang bukti harus dikembalikan adalah termasuk kebijaksanaan judex facti kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang. (Putusan Mahkamah Agung No. 100 K/Kr/1974 Tanggal 6 Mei 1975).

Apakah diserahkan kepada pihak yang paling berhak (saksi korban atau pihak ketiga), dilampirkan dalam berkas perkara yang terpisah atau dirampas untuk negara. (Putusan Mahkamah Agung No. 22 K/Kr/1964 tanggal 22 Desember 1964).

Putusan pengadilan tentang status barang bukti merupakan wewenang judex facti majelis hakim. (Putusan Mahkamah Agung No. 107 K/Kr/1977 Tanggal 16 Oktober 1978)

Dalam hal terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum, maka semua barang bukti harus dikembalikan kepada terdakwa. (Putusan Mahkamah Agung No. 87 K/Kr/1970 Tanggal 3 Maret 1972). Untuk menjadi barang bukti dalam suatu perkara pidana tidak disyaratkan bahwa barang itu disebut dalam surat tuduhan. (Putusan Mahkamah Agung No. 125 K/Kr/1960 Tanggal 13 November 1962).

Mengenai barang-barang bukti telah diatur didalam Pasal 39 KUHAP yang dapat dikenakan tidakan penyitaan oleh penyidik di tempat kejadian perkara yang dapat dikatakan sebagai barang bukti. Barang bukti yang merupakan “Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas”.

Barang bukti dihadirkan didalam persidangan untuk mendapatkan dan ditemukan fakta-fakta mengenai kesalahan terdakwa atau ketidaksalahan tedakwa sendiri (guilty or not guilty).

MK sudah mempertimbangkan. Perampasan hak milik dapat dibenarkan sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law, terlebih lagi terhadap hak milik yang lahir karena konstruksi hukum (legal construction) (Putusan MK No. 21/PUU-III/2005 tanggal 1 Maret 2006)

Namun apabila pemilik barang (rumah atau alat-alat yang digunakan dalam tindak pidana) bisa membuktikan barang bukti yang digunakan dalam tindak kejahatan tidak adanya ”persetujuan/mufakat jahat (deelneming) dari pemilik barang, maka terhadap pemilik barang haruslah dilindungi oleh hukum.

Putusan MK No. 21/PUU-III/2005 tegas menyatakan, adanya perlindungan hukum terhadap pemilik barang berdasarkan pasal 39 KUHP. Hak milik tidak dapat dirampas.

MK menyatakan bahwa perampasan hak milikbertentangan dengan pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. perampasan hak milik dari pihak ketiga yang beritikad baik (ter goeder trouw, gadd faith) dan tetap harus dilindungi

Praktek ini sudah jamak terjadi dan sudah menjadi yurisprudensi didalam berbagai putusan Mahkamah Agung.

Dengan demikian, apabila kita perhatikan ketentuan pasal 82 ayat 3 huruf d, maka pasal 39 KUHP dihubungkan dengan putusan MK “maka tindakan penyitaan yang dilakukan penyidik disebabkan dalam penyitaan ada termasuk benda yang tidak termasuk alat pembuktian. Atau sama sekali tidak ada hubungannya dengan tindak pidana yang sedang diperiksa cukup alasan untuk menyatakan benda yang disita tidak termasuk sebagai benda alat pembuktian, maka pengadilan berwenang untuk menetapkan agar barang bukti segera dikembalikan kepada tersangka atau kepada orang dari siapa benda itu di sita.

Sehingga Penafsiran gramatikal (letterlijk) pasal 77 juga memperhatikan ketentuan pasal 1 butir 10, pasal 77, pasal 82, pasal 95 dan pasal 97 KUHAP

Dengan demikian, maka wewenang praperadilan juga berwenang untuk memeriksa mengenai barang bukti.