Dunia
hukum di Jambi geger dengan peristiwa kasus pembunuhan suami terhadap
istrinya. Hendi (35) warga Desa Taman Bandung Kecamatan Pauh
Sarolangun, memenggal kepala istrinya Riska (37) hingga putus.
Proses
hukum kemudian dilakukan untuk melihat motif hingga pelaku tega
menghabisi nyawa istrinya dan kemudian memenggal kepala istri hingga
putus. Motif inilah kemudian dijadikan dasar untuk melihat peristiwa
ini sebenarnya dan kemudian bagaimana pelaku dapat
dipertanggungjawabkan.
Melihat
keadaan korban tidak hanya membunuh tapi memenggal kepala, maka
penegak hukum kemudian melihat pelaku “mengalami gangguan jiwa”
yang cukup serius. Pernyataan Kapolres Sarolangun AKBP Ridho Hartawan
melalui Kapolsek Sarolangun AKP Darmawan yang melihat sama sekali
tidak ada penyesalan dari pelaku, pelaku juga tidak “menyadari”
akibat dari perbuatan pelaku. Bahkan pelaku sama sekali tidak
menunjukkan penyesalan.
Melihat
kejadian tidak hanya “membunuh tapi memenggal kepala”,
tidak ada penyesalan dari pelaku maka dapat dikategorikan sebagai
gangguan kejiwaan. Gangguan kejiwaan dapat kita temukan didalam pasal
44 ayat (1) KUHP”. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak
dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Pihak
Polres kemudian mengirimkannya ke RSJ daerah Provinsi Jambi. Ia akan
menjalani pemeriksaan kejiwaan di sana.
Penulis
menggunakan istilah “gangguan kejiwaan” sebagai padanan terhadap
istilah hukum. Gangguan kejiwaan merujuk kepada jiwanya cacat (gila)
ataupun terganggu karena penyakit. Dengan menggunakan istilah hukum
“gangguan kejiwaan', maka terhadap pelaku yang “tidak hanya
membunuh tapi memenggal kepala” dapat dikategorikan sebagai
gangguan kejiwaan.
Peristiwa
ini menimbulkan persoalan didalam melihat kesalahan (schuld)
dan meminta pertanggungjawaban pelaku (toerekenbaarheid/schuid in
riume zin). Apakah pelaku dapat diminta pertanggungjawabkan
secara hukum.
Didalam
KUHP dikenal alasan menghilangkan sifat tindak pidana
(Straf-uitsluitings-gronden). Yang pertama
adalah menghilangkan sifat melanggar hukum atau “wederrchtelijkheid”
atau “onrechtmatigheid”
yang terdiri dari (a) keperluan membela diri atau “nodweer”
didalam pasal 49 ayat (1) KUHP; (b) orang yang menjalankan perintah
UU (uitlovoering van een weetlijk
voorschrift) didalam pasal 50; (c) dan
orang yang menjalan perintah jabatan (“uitvoering
van bevoegdelijk gegeven ambtelijk bevel”) didalam
pasal 51 auat (1) KUHP.
Sedangkan
yang kedua adalah yang memaafkan si pelaku (“feit d’xcuse”)
yang terdiri dari (a) orang yang dinyatakan tidak dapat dihukum
berdasarkan kurang ingatan atau adanya ganggunan berfikir (Niet
strafbaar is hij, die een feit begaat, dat hem wegeens de gebrekkige
onstwikkeling of ziekelijke storing zijner verstande lijke vermogens
niet kan worden toegerekend) didalam pasal 44 ayat (1) KUHP; (b)
pasal 48 KUHP yang menyatakan tidak dapat dihukum seorang yang untuk
melakukan perbuatan yang bersangkutan karena adanya paksaan yang
tidak dapat dilawan (“overmacht”); (c) pasal 49 ayat
2 KUHP yang menyatakan tidak dapat dihukum seorang yang melanggar
karena membela diri (“overschrijding van noodweer” atau
“nodweer exce”); (d) pasal 51 ayat (2) KUHP yang menyatakan
bahwa suatu perintah jabatan (onbevoegdelijk gegeven ambtelijk
bevel)
Dengan
melihat kejadian yang dilakukan oleh pelaku, maka pelaku
dikategorikan sebagai “orang yang kurang ingatan atau adanya
gangguan berfikir (Niet strafbaar is hij, die een feit begaat, dat
hem wegeens de gebrekkige onstwikkeling of ziekelijke storing zijner
verstande lijke vermogens niet kan worden toegerekend)
sebagaimana diatur didalam pasal 44 ayat (1) KUHP.
Pasal
44 ayat (1) KUHP menjelaskan Barang siapa melakukan perbuatan
yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat
dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Dalam
berbagai literatur disebutkan, pentingnya memberikan perhatian
terhadap pelaku yang dianggap gangguan kejiwaan atau terganggu
karena penyakit disebabkan dengan melihat pertanggungjawaban
pelaku (toerekenbaarheid/schuid in riume zin). Definisi
pertanggungjawaban (toerekenbaarheid/schuid in riume zin)
dalam arti pembuat memenuhi syarat untuk dipertanggungjawabkan.
Mengingat
asas “tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan”,
maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan.
Mampu bertanggungjawab adalah syarat kesalahan, sehingga bukan
merupakan bagian dari kesalahan itu sendiri. Oleh karena itu,
terhadap subyek hukum manusia, mampu bertanggungjawab merupakan unsur
pertanggungjawaban pidana, seekaligus syarat adanya kesalahan.
Allen
mengidentifikasi keadaan mental yang berpengaruh pada
pertanggungjawabakn pidana pembuatnya. Pertama
automatism,
yaitu terepenuhinya rumusan tindak pidana di luar kehendak atau
disadari pembuatnya. Automatism merupakan setiap keadaan dimana
pembuat tidak menyadari perbuatannya. Kedua. mistake
of law. Pembuat telah keliru dalam
memberi pertimbangan tentang apa yang dilakukannya. Kekeliruan ini
tertuju pada pengetahuannya tentang hukum. Jadi berkenaan dengan
penggunaan fungsi batn yang salah, bukan keadaan batin yang tidak
normal. Ketiga. pembuat melakukan tindak pidana karena daya paksa.
Keempat. mistake of fact.
Pembuat dapat membedakan perbuatan yang terlarang dari yang boleh
dilakukan, tetapi kekeliruan penilaiannya terhadap fakta yang
menyebabkan dia yakin bahwa yang dilakukannnya bukanlah suatu tindak
pidana.
Moeljatno
menyebutkan, “hanya terhadap
orang-orang yang keadan jiwa normal sajalah, dapat kita harapkan akan
mengatur tingkah lakunya sesuai dengan pola yang telah dianggap baik
dalam masyarakat.
Pelaku
yang kemudian teridentififkasi “orang yang kurang ingatan atau
adanya gangguan berfikir (Niet strafbaar is hij, die een feit begaat,
dat hem wegeens de gebrekkige onstwikkeling of ziekelijke storing
zijner verstande lijke vermogens niet kan worden toegerekend)
sebagaimana diatur didalam pasal 44 ayat (1) KUHP dapat menyebabkan
memaafkan si pelaku (“feit d’xcuse”) dan
alasan untuk menghilangkan sifat tindak pidana
(Straf-uitsluitings-gronden).
R.
Soesilo menjelaskan kategori “gangguan kejiwaan” seperti Kurang
sempurna akalnya “idiot, imbicil, buta-tuli, dan bisu mulai
lahir. tetapi orang-orang semacam ini sebenarnya tidak sakit, tetapi
karena cacat-cacatnya sejak lahir, maka pikirannya tetap sebagai
kanak-kanak. Sakit berubah akalnya (sakit gila, histeri (sejenis
penyakit saraf terutama pada wanita), epilepsi, dan bermacam-macam
penyakit jiwa lainnya)
Namun
persoalan utamanya bukan hanya membuktikan pelaku “mengalami
gangguan kejiwaan”. Tapi bagaimana konstruksi hukum melihat
kejadian terhadap pelaku.
Untuk
memeriksa perkara ini secara lengkap (komprehensif), maka analisa
dari ahli kejiwaan, psikologi dan berbagai disiplin ilmu harus
dilakukan. Mengirimkan pelaku ke RSJ Jambi merupakan salah satu upaya
untuk membuktikan “gangguan kejiwaan” terhadap pelaku.
Dari
hasil analisa ahli (berbagai disiplin ilmu) maka pelaku dapat
ditentukan bagaiman proses hukum dapat diterapkan kepada pelaku.
Apakah Pelaku teridentifikasi sebagai gila, gangguan kejiwaan atau
psikopat.
Tanpa
mendahului proses pemeriksaan kejiwaan yang dilakukan para ahli,
definisi “gangguan kejiwaan” dapat menentukan bagaimana proses
hukum dapat diterapkan kepada pelaku.
Pertama.
Diperiksa dalam proses hukum
Proses
hukum terhadap pelaku dapat diterapkan apabila terhadap hasil analisa
ahli kejiwaan dapat menjawab bagaimana 'gangguan kejiwaan” terhadap
diri pelaku.
Penulis
teringat terhadap persidangan seorang pelaku yang menghebohkan di
Jambi dalam peristiwa “sms teror” di sebuah mall di Jambi.
Dalam
persidangan, ahli kemudian mengeluarkan hasil analisanya. Didalam
hasil analisanya kemudian mengungkapkan bagaimana “labilnya”
pelaku didalam mengontrol emosi dan perbuatan terhadap pelaku. Hasil
analisa ahli kejiwaan kemudian merumuskan, pelaku “sadar”
melakukan perbuatannya (yang ditandai dengan mengirimkan sms,
mengikuti tim Jihandak Brimob Polda Jambi memeriksa seluruh mall).
Namun pelaku tidak sadar akibat perbuatan yang dilakukannya (yang
ditandai dengan sambil cengengesan ketika ditanya hakim akibat dari
perbuatannya. Pelaku mengakui cuma mengerjai petugas. Pelaku kemudian
puas).
Hakim
kemudian memutuskan tetap bersalah 1 tahun berdasarkan UU Terorisme.
Apabila
merujuk kepada putusan Pengadilan, maka pelaku dapat diproses secara
hukum apabila hasil analisa ahli kejiwaan mengeluarkan hasil “pelaku
sadar ” dengan perbuatan namun tidak sadar akan akibat
perbuatannya.
Dengan
melihat gejala-gejala diatas, maka pelaku tetap dapat dilakukan
proses secara hukum.
Biarlah
Pengadilan kemudian menentukan bagaimana kasus ini memutuskannya.
Kedua.
Penghentian penyidikan
Pemikiran
kedua bisa dilakukan penghentian penyidikan. Perkara ini dapat
dihentikan disebabkan karena pelaku tidak dapat dipertanggungjawabkan
(toerekenbaarheid/schuid in riume zin)
Namun
persoalan muncul. Kepentingan “penghentikan” penyidikan
didasarkan kepada tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan
dihentikan demi hukum (Pasal 109
ayat (2) KUHAP).
Melihat
peristiwa “tidak hanya membunuh tapi juga memenggal”,
dimana pelaku mengalami “gangguan kejiwaan” maka tidak terpenuhi
persyaratan untuk dilakukan “penghentian penyidikan”.
Penyidik
tidak menganggap peristiwa yang terjadi “tidak terdapat cukup
bukti” atau “peristiwa yang terjadi bukan peristiwa pidana”
atau demi hukum”. Persyaratan ini sama sekali tidak terpenuhi.
Sehingga mekanime “penghentian penyidikan” tidak bisa dilakukan.
Ketiga.
Mekanisme diperiksa oleh Pengadilan
Mekanisme
ini diserahkan kepada Pengadilan untuk melakukan penilaian terhadap
gangguan kejiwaan kepada pelaku. Hakim kemudian “menetapkan”
adanya gangguan kejiwaan terhadap kejiwaan pelaku setelah
mendengarkan hasil analisa dari ahli kejiwaan.
Namum
upaya ini ditempuh apabila terhadap gangguan kejiwaan sebagaimana
diatur didalam UU Kesehatan terutama diatur didalam pasal 149 UU
Kesehatan “penderita gangguan jiwa yang mengancam keselamatan
dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban, dan/atau
keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas
pelayanan kesehatan.
Merujuk
kepada UU Kesehatan maka yang dimaksud dengan penyakit yang
membahayakan orang lain yaitu penyakit yang mengancam keselamatan
orang lain, mengganggu ketertiban, dan/atau mengganggu keamanan umum.
Apabila penyakit tersebut merupakan penyakit kejiwaan yang
membahayakan, maka terhadap penderita wajib mendapatkan pengobatan
dan perawatan, bukan dipidanakan.
Melepaskan
tanggungjawab terhadap keluarga yang terbukti tidak menjaga orang
gila maka dapat dipersalahkan melanggar Pasal 491 butir 1 KUHP
“Diancam dengan pidana denda paling banyak tujuh ratus lima
puluh rupiah barang siapa diwajibkan menjaga orang gila yang
berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang lain, membiarkan orang
itu berkeliaran tanpa dijaga.”
Kesalahan
merumuskan “gangguan kejiwaan” dapat menyebabkan terdakwa tidak
terbukti bersalah karena tidak terdapat unsur kesalahan. (Mahkamah
Agung dalam putusannya No. 33.K/Mil/1987 tanggal 27 Februari 1988).
Terdakwa juga tidak dapat
dijatuhi pidana dan dilepaskan dari tuntutan hukum karena stress
berat (Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 215
K/Pid/2005)