09 Maret 2015

opini musri nauli : Gangguan kejiwaan menurut hukum





Dunia hukum di Jambi geger dengan peristiwa kasus pembunuhan suami terhadap istrinya. Hendi (35) warga Desa Taman Bandung Kecamatan Pauh Sarolangun, memenggal kepala istrinya Riska (37) hingga putus.

Proses hukum kemudian dilakukan untuk melihat motif hingga pelaku tega menghabisi nyawa istrinya dan kemudian memenggal kepala istri hingga putus. Motif inilah kemudian dijadikan dasar untuk melihat peristiwa ini sebenarnya dan kemudian bagaimana pelaku dapat dipertanggungjawabkan.

Melihat keadaan korban tidak hanya membunuh tapi memenggal kepala, maka penegak hukum kemudian melihat pelaku “mengalami gangguan jiwa” yang cukup serius. Pernyataan Kapolres Sarolangun AKBP Ridho Hartawan melalui Kapolsek Sarolangun AKP Darmawan yang melihat sama sekali tidak ada penyesalan dari pelaku, pelaku juga tidak “menyadari” akibat dari perbuatan pelaku. Bahkan pelaku sama sekali tidak menunjukkan penyesalan.

Melihat kejadian tidak hanya “membunuh tapi memenggal kepala”, tidak ada penyesalan dari pelaku maka dapat dikategorikan sebagai gangguan kejiwaan. Gangguan kejiwaan dapat kita temukan didalam pasal 44 ayat (1) KUHP”. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

Pihak Polres kemudian mengirimkannya ke RSJ daerah Provinsi Jambi. Ia akan menjalani pemeriksaan kejiwaan di sana.

Penulis menggunakan istilah “gangguan kejiwaan” sebagai padanan terhadap istilah hukum. Gangguan kejiwaan merujuk kepada jiwanya cacat (gila) ataupun terganggu karena penyakit. Dengan menggunakan istilah hukum “gangguan kejiwaan', maka terhadap pelaku yang “tidak hanya membunuh tapi memenggal kepala” dapat dikategorikan sebagai gangguan kejiwaan.

Peristiwa ini menimbulkan persoalan didalam melihat kesalahan (schuld) dan meminta pertanggungjawaban pelaku (toerekenbaarheid/schuid in riume zin). Apakah pelaku dapat diminta pertanggungjawabkan secara hukum.

Didalam KUHP dikenal alasan menghilangkan sifat tindak pidana (Straf-uitsluitings-gronden). Yang pertama adalah menghilangkan sifat melanggar hukum atau “wederrchtelijkheid” atau “onrechtmatigheid” yang terdiri dari (a) keperluan membela diri atau “nodweer” didalam pasal 49 ayat (1) KUHP; (b) orang yang menjalankan perintah UU (uitlovoering van een weetlijk voorschrift) didalam pasal 50; (c) dan orang yang menjalan perintah jabatan (“uitvoering van bevoegdelijk gegeven ambtelijk bevel”) didalam pasal 51 auat (1) KUHP.

Sedangkan yang kedua adalah yang memaafkan si pelaku (“feit d’xcuse”) yang terdiri dari (a) orang yang dinyatakan tidak dapat dihukum berdasarkan kurang ingatan atau adanya ganggunan berfikir (Niet strafbaar is hij, die een feit begaat, dat hem wegeens de gebrekkige onstwikkeling of ziekelijke storing zijner verstande lijke vermogens niet kan worden toegerekend) didalam pasal 44 ayat (1) KUHP; (b) pasal 48 KUHP yang menyatakan tidak dapat dihukum seorang yang untuk melakukan perbuatan yang bersangkutan karena adanya paksaan yang tidak dapat dilawan (“overmacht”); (c)  pasal 49 ayat 2 KUHP yang menyatakan tidak dapat dihukum seorang yang melanggar karena membela diri (“overschrijding van noodweer” atau “nodweer exce”); (d) pasal 51 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa suatu perintah jabatan (onbevoegdelijk gegeven ambtelijk bevel)

Dengan melihat kejadian yang dilakukan oleh pelaku, maka pelaku dikategorikan sebagai “orang yang kurang ingatan atau adanya gangguan berfikir (Niet strafbaar is hij, die een feit begaat, dat hem wegeens de gebrekkige onstwikkeling of ziekelijke storing zijner verstande lijke vermogens niet kan worden toegerekend) sebagaimana diatur didalam pasal 44 ayat (1) KUHP.

Pasal 44 ayat (1) KUHP menjelaskan Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

Dalam berbagai literatur disebutkan, pentingnya memberikan perhatian terhadap pelaku yang dianggap gangguan kejiwaan atau terganggu karena penyakit disebabkan dengan melihat pertanggungjawaban pelaku (toerekenbaarheid/schuid in riume zin). Definisi pertanggungjawaban (toerekenbaarheid/schuid in riume zin) dalam arti pembuat memenuhi syarat untuk dipertanggungjawabkan.

Mengingat asas “tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan”, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. Mampu bertanggungjawab adalah syarat kesalahan, sehingga bukan merupakan bagian dari kesalahan itu sendiri. Oleh karena itu, terhadap subyek hukum manusia, mampu bertanggungjawab merupakan unsur pertanggungjawaban pidana, seekaligus syarat adanya kesalahan.

Allen mengidentifikasi keadaan mental yang berpengaruh pada pertanggungjawabakn pidana pembuatnya. Pertama automatism, yaitu terepenuhinya rumusan tindak pidana di luar kehendak atau disadari pembuatnya. Automatism merupakan setiap keadaan dimana pembuat tidak menyadari perbuatannya. Kedua. mistake of law. Pembuat telah keliru dalam memberi pertimbangan tentang apa yang dilakukannya. Kekeliruan ini tertuju pada pengetahuannya tentang hukum. Jadi berkenaan dengan penggunaan fungsi batn yang salah, bukan keadaan batin yang tidak normal. Ketiga. pembuat melakukan tindak pidana karena daya paksa. Keempat. mistake of fact. Pembuat dapat membedakan perbuatan yang terlarang dari yang boleh dilakukan, tetapi kekeliruan penilaiannya terhadap fakta yang menyebabkan dia yakin bahwa yang dilakukannnya bukanlah suatu tindak pidana.

Moeljatno menyebutkan, “hanya terhadap orang-orang yang keadan jiwa normal sajalah, dapat kita harapkan akan mengatur tingkah lakunya sesuai dengan pola yang telah dianggap baik dalam masyarakat.

Pelaku yang kemudian teridentififkasi “orang yang kurang ingatan atau adanya gangguan berfikir (Niet strafbaar is hij, die een feit begaat, dat hem wegeens de gebrekkige onstwikkeling of ziekelijke storing zijner verstande lijke vermogens niet kan worden toegerekend) sebagaimana diatur didalam pasal 44 ayat (1) KUHP dapat menyebabkan memaafkan si pelaku (“feit d’xcuse”) dan alasan untuk menghilangkan sifat tindak pidana (Straf-uitsluitings-gronden).

R. Soesilo menjelaskan kategori “gangguan kejiwaan” seperti Kurang sempurna akalnya “idiot, imbicil, buta-tuli, dan bisu mulai lahir. tetapi orang-orang semacam ini sebenarnya tidak sakit, tetapi karena cacat-cacatnya sejak lahir, maka pikirannya tetap sebagai kanak-kanak. Sakit berubah akalnya (sakit gila, histeri (sejenis penyakit saraf terutama pada wanita), epilepsi, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya)

Namun persoalan utamanya bukan hanya membuktikan pelaku “mengalami gangguan kejiwaan”. Tapi bagaimana konstruksi hukum melihat kejadian terhadap pelaku.

Untuk memeriksa perkara ini secara lengkap (komprehensif), maka analisa dari ahli kejiwaan, psikologi dan berbagai disiplin ilmu harus dilakukan. Mengirimkan pelaku ke RSJ Jambi merupakan salah satu upaya untuk membuktikan “gangguan kejiwaan” terhadap pelaku.

Dari hasil analisa ahli (berbagai disiplin ilmu) maka pelaku dapat ditentukan bagaiman proses hukum dapat diterapkan kepada pelaku. Apakah Pelaku teridentifikasi sebagai gila, gangguan kejiwaan atau psikopat.

Tanpa mendahului proses pemeriksaan kejiwaan yang dilakukan para ahli, definisi “gangguan kejiwaan” dapat menentukan bagaimana proses hukum dapat diterapkan kepada pelaku.

Pertama. Diperiksa dalam proses hukum

Proses hukum terhadap pelaku dapat diterapkan apabila terhadap hasil analisa ahli kejiwaan dapat menjawab bagaimana 'gangguan kejiwaan” terhadap diri pelaku.

Penulis teringat terhadap persidangan seorang pelaku yang menghebohkan di Jambi dalam peristiwa “sms teror” di sebuah mall di Jambi.

Dalam persidangan, ahli kemudian mengeluarkan hasil analisanya. Didalam hasil analisanya kemudian mengungkapkan bagaimana “labilnya” pelaku didalam mengontrol emosi dan perbuatan terhadap pelaku. Hasil analisa ahli kejiwaan kemudian merumuskan, pelaku “sadar” melakukan perbuatannya (yang ditandai dengan mengirimkan sms, mengikuti tim Jihandak Brimob Polda Jambi memeriksa seluruh mall). Namun pelaku tidak sadar akibat perbuatan yang dilakukannya (yang ditandai dengan sambil cengengesan ketika ditanya hakim akibat dari perbuatannya. Pelaku mengakui cuma mengerjai petugas. Pelaku kemudian puas).
Hakim kemudian memutuskan tetap bersalah 1 tahun berdasarkan UU Terorisme.

Apabila merujuk kepada putusan Pengadilan, maka pelaku dapat diproses secara hukum apabila hasil analisa ahli kejiwaan mengeluarkan hasil “pelaku sadar ” dengan perbuatan namun tidak sadar akan akibat perbuatannya.
Dengan melihat gejala-gejala diatas, maka pelaku tetap dapat dilakukan proses secara hukum.
Biarlah Pengadilan kemudian menentukan bagaimana kasus ini memutuskannya.

Kedua. Penghentian penyidikan

Pemikiran kedua bisa dilakukan penghentian penyidikan. Perkara ini dapat dihentikan disebabkan karena pelaku tidak dapat dipertanggungjawabkan (toerekenbaarheid/schuid in riume zin)

Namun persoalan muncul. Kepentingan “penghentikan” penyidikan didasarkan kepada tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum (Pasal 109 ayat (2) KUHAP).

Melihat peristiwa “tidak hanya membunuh tapi juga memenggal”, dimana pelaku mengalami “gangguan kejiwaan” maka tidak terpenuhi persyaratan untuk dilakukan “penghentian penyidikan”.
Penyidik tidak menganggap peristiwa yang terjadi “tidak terdapat cukup bukti” atau “peristiwa yang terjadi bukan peristiwa pidana” atau demi hukum”. Persyaratan ini sama sekali tidak terpenuhi. Sehingga mekanime “penghentian penyidikan” tidak bisa dilakukan.

Ketiga. Mekanisme diperiksa oleh Pengadilan

Mekanisme ini diserahkan kepada Pengadilan untuk melakukan penilaian terhadap gangguan kejiwaan kepada pelaku. Hakim kemudian “menetapkan” adanya gangguan kejiwaan terhadap kejiwaan pelaku setelah mendengarkan hasil analisa dari ahli kejiwaan.

Namum upaya ini ditempuh apabila terhadap gangguan kejiwaan sebagaimana diatur didalam UU Kesehatan terutama diatur didalam pasal 149 UU Kesehatan “penderita gangguan jiwa yang mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban, dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.

Merujuk kepada UU Kesehatan maka yang dimaksud dengan penyakit yang membahayakan orang lain yaitu penyakit yang mengancam keselamatan orang lain, mengganggu ketertiban, dan/atau mengganggu keamanan umum. Apabila penyakit tersebut merupakan penyakit kejiwaan yang membahayakan, maka terhadap penderita wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan, bukan dipidanakan.

Melepaskan tanggungjawab terhadap keluarga yang terbukti tidak menjaga orang gila maka dapat dipersalahkan melanggar Pasal 491 butir 1 KUHP “Diancam dengan pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah barang siapa diwajibkan menjaga orang gila yang berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang lain, membiarkan orang itu berkeliaran tanpa dijaga.

Kesalahan merumuskan “gangguan kejiwaan” dapat menyebabkan terdakwa tidak terbukti bersalah karena tidak terdapat unsur kesalahan. (Mahkamah Agung dalam putusannya No. 33.K/Mil/1987 tanggal 27 Februari 1988). Terdakwa juga tidak dapat dijatuhi pidana dan dilepaskan dari tuntutan hukum karena stress berat (Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 215 K/Pid/2005)