18 Maret 2015

opini musri nauli : PROSES HUKUM TERHADAP YT



Dalam sebuah tayangan televisi, Kontras – lembaga nasional yang concern terhadap kekerasan - mengabarkan hasil investigasinya proses hukum terhadap Yusman Telaumbanua (YT - 16 tahun). YT dijatuhi hukuman mati.

Polisi berkilah baru mengetahui usia dari YT setelah proses persidangan. Sedangkan pengadilan mengaku setelah proses sidang telah berlangsung.

Persoalan semakin rumit selain YT sebagai pelaku anak (dibawah 18 tahun) sebagaimana diatur didalam Pengadilan Anak, juga proses selama pemeriksaan dilakukan sama sekali tidak didampingi Penasehat Hukum. Dua dimensi inilah yang menarik perhatian penulis untuk urun rembug.

Pelaku Anak

Pada tahun 2011, Jambi dikejutkan dengan ditemukan meninggalnya seorang anak yang masih balita (bawah umur lima tahun) korban berinisial Mz. Didalam proses penyidikan, kemudian pihak kepolisian berhasil membongkar sebab kematian dari Mz. Seorang pelaku yang kemudian dikenal dengan nama si AF mengaku melakukan perbuatan “tidak senonoh” terhadap korban. Perbuatan Si AF yang melakukan perbuatan “tidak senonoh” terhadap korban disebabkan setelah pelaku menonton video “ariel Peterpan” dari rekaman HP.

Didalam keterangan Si AF dengan lugas menerangkan Si AF telah melakukan perbuatan perbuatan cabul yang kemudian melaporkan kepada orang tua SI AF. SI AF melakukan perbuatan cabul dan membekap mulut korban dengna menggunakan kaos dan tangan pelaku. Pelaku kemudian pergi meninggalkan korban MZ. Si AF kemudian memberitahu Ayah pelaku. Ayah pelaku yang berinisial Mr kemudian menuju ke tempat ditinggalkanya korban MZ, menggendongnya dan kemudian membawa ke pondok tempat tinggalnya. Ayahnya memandikannya dan membawa ke tepi sungai. Sebelum di lemparkan ke sungai, sempat mengatakan “maaf, nak. Aku ini lakukan membuang balak”.

Ayah pelaku menyatakan ketika Korban MZ ditinggalkan pelaku, korban masih hidup. Ini ditandai dengan fakta bahwa ketika sedang dimandikan, “masih ada nafasnya”. Bahkan ketika hendak dibawa dari pondok menuju sungai, ayah pelaku menyatakan, masih ada denyut nadinya dengan perkataan “masih ada nyawanya”.

Persidangan kemudian digelar, si AF baru berusia 11 tahun “tidak mengerti” dengan peristiwa dan akibat dari perbuatan dari perbuatannya. Selama persidangan, sama sekali dia tidak bisa fokus. Pandangannya kesana kemari. Entah beberapa kali hakim harus mengingatkan kepadanya.

Setiap saksi telah selesai menerangkan, ketika ditanyakan kepada SI AF, hakim harus pelan-pelan menjelaskannya. Bahkan harus berulang-ulang baik dengan bahasa Indonesia maupun dengan bahasa daerah.

Namun Si AF bisa menerangkan peristiwa dengan lancar. Kami didalam ruangan terhening. Ngeri dengan perbuatannya namun “menyiksa” melihat perbuatan dari Si AF.

Jaksa kemudian mendakwakan pelaku dengna penerapan pasal 80, Pasal 81, Pasal 82 dan Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Sementara Si AF diproses dengan Hukum acara diatur didalam UU Pengadilan Anak.

Problem mulai muncul. Problema pertama, Si AF yang masih berusia 11 tahun dapat diterapkan hukum pidana ? Sedangkan problem kedua, apakah Si AF telah melakukan perbuatan pembunuhan terhadap MZ.

Putusan Pengadilan Negeri Muara Tebo kemudian memutuskan bahwa menyerahkan Si AF kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja yang waktunya selama 3 (tiga) tahun.

Putusan Pengadilan Negeri Muara Tebo yang memutuskan “menyerahkan pelaku kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja yang waktunya selama 3 (tiga) tahun” merupakan tujuan daripada Pengadilan Anak lebih diutamakan kepada pembinaan dan perlindungan anak. Hakekat ini yang harus dipahami sebagai perbedaan yang mendasar sebagaimana diatur didalam pasal 10 KUHP. Putusan ini berbeda dengan pertimbangan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum yang tidak didasarkan kepada ketentuan didalam UU No. 3 Tahun 1997.

Kembali ke kasus YT, tanpa mengabaikan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, terhadap pelaku berusia dibawah 18 tahun, UU mengamanatkan agar proses hukumnya tidak dapat disamakan dengan pelaku berusia dewasa. Selain memastikan agar proses hukum dilakukan terhadap YT telah sesuai ketentuan yang berlaku juga menjamin proses yang adil terhadap pelaku anak (equality before the law).

Tentu saja menimbulkan persoalan yang cukup serius ketika YT “coba dimanipulatif” dengan mengakali usia 16 tahun menjadi 19 tahun. Selain akan menyulitkan meminta pertanggungjawaban dari YT juga menimbulkan persoalan di hukum acara pidana.

Berbagai putusan Mahkamah Agung telah menegaskan. Terhadap proses hukum terhadap pelaku yang tidak sesuai dengan hukum acara, maka proses hukumnya menjadi batal/tidak sah. Sehingga YT yang seharusnya diadili di Pengadilan Anak namun kemudian diadili di Pengadilan umum menjadi tidak sah.

Kejadian ini pernah terjadi dalam kerusuhan Berembang. Salah satu pelaku berusia 17 tahun. Namun kemudian disidangkan bersama-sama dengan pelaku dewasa. Eksepsi dari Tim Penasehat kemudian diterima oleh Pengadilan Negeri Sengeti. Dakwaan kemudian dibatalkan. Sehingga proses pemeriksaan kemudian dihentikan. Berkas perkara kemudian dikembalikan kepada penyidik. Penyidik kemudian kembali melakukan pemberkasan. Persidangan kemudian digelar dengan pemeriksaan yang berbeda antara pelaku anak dan pelaku dewasa.

Kewajiban Mendampingi tersangka

Hal lain yang menarik adalah ketika YT didalam proses pemeriksaan di kepolisian sama sekali tidak didampingi oleh Penasehat Hukum/advokat sebagaimana diatur didalam pasal 56 KUHAP.

Terhadap kejahatan diatas 5 tahun, hukuman seumur hidup dan hukuman mati maka penegak hukum berkewajiban untuk menyiapkan penasehat hukum.

Kewajiban” adalah kata-kata yang harus dipenuhi oleh penegak hukum setiap tingkatan pemeriksaan untuk menyediakan Penasehat Hukum. Tanpa memenuhi “kewajiban” maka proses hukum menjadi tidak sah.

Kejadian ini mirip dengna “miranda cases” di Amerika. Miranda harus dibebaskan ketika Polisi melakukan penangkapan terhadapnya tidak sesuai dengan prosedur.

Terlepas dari YT yang baru diketahui berusia 16 tahun ketika di proses penyidikan, namun tidak dipenuhinya kewajiban dari penyidik untuk menyediakan penasehat hukum terhadap YT, maka proses hukum menjadi tidak sah.


Dengan melihat kemiripan dari “miranda cases” dan tidak dipatuhinya hukum acara didalam menyediakan penasehat hukum kepada tersangka, YT merupakan pelaku anak dan tidak diperiksa sebagaimana didalam proses hukum Pengadilan Anak, maka YT haruslah dibebaskan.