Dalam
sebuah tayangan televisi, Kontras – lembaga nasional yang concern terhadap
kekerasan - mengabarkan hasil investigasinya proses hukum terhadap Yusman
Telaumbanua (YT - 16 tahun). YT dijatuhi hukuman mati.
Polisi
berkilah baru mengetahui usia dari YT setelah proses persidangan. Sedangkan
pengadilan mengaku setelah proses sidang telah berlangsung.
Persoalan
semakin rumit selain YT sebagai pelaku anak (dibawah 18 tahun)
sebagaimana diatur didalam Pengadilan Anak, juga proses selama pemeriksaan
dilakukan sama sekali tidak didampingi Penasehat Hukum. Dua dimensi inilah yang
menarik perhatian penulis untuk urun rembug.
Pelaku
Anak
Pada
tahun 2011, Jambi dikejutkan dengan ditemukan meninggalnya seorang anak yang
masih balita (bawah umur lima tahun) korban berinisial Mz. Didalam
proses penyidikan, kemudian pihak kepolisian berhasil membongkar sebab kematian
dari Mz. Seorang pelaku yang kemudian dikenal dengan nama si AF mengaku
melakukan perbuatan “tidak senonoh” terhadap korban. Perbuatan Si AF
yang melakukan perbuatan “tidak senonoh” terhadap korban disebabkan
setelah pelaku menonton video “ariel Peterpan” dari rekaman HP.
Didalam
keterangan Si AF dengan lugas menerangkan Si AF telah melakukan perbuatan
perbuatan cabul yang kemudian melaporkan kepada orang tua SI AF. SI AF
melakukan perbuatan cabul dan membekap mulut korban dengna menggunakan kaos dan
tangan pelaku. Pelaku kemudian pergi meninggalkan korban MZ. Si AF kemudian
memberitahu Ayah pelaku. Ayah pelaku yang berinisial Mr kemudian menuju ke
tempat ditinggalkanya korban MZ, menggendongnya dan kemudian membawa ke pondok
tempat tinggalnya. Ayahnya memandikannya dan membawa ke tepi sungai. Sebelum di
lemparkan ke sungai, sempat mengatakan “maaf, nak. Aku ini lakukan membuang
balak”.
Ayah
pelaku menyatakan ketika Korban MZ ditinggalkan pelaku, korban masih hidup. Ini
ditandai dengan fakta bahwa ketika sedang dimandikan, “masih ada nafasnya”.
Bahkan ketika hendak dibawa dari pondok menuju sungai, ayah pelaku menyatakan,
masih ada denyut nadinya dengan perkataan “masih ada nyawanya”.
Persidangan
kemudian digelar, si AF baru berusia 11 tahun “tidak mengerti” dengan
peristiwa dan akibat dari perbuatan dari perbuatannya. Selama persidangan, sama
sekali dia tidak bisa fokus. Pandangannya kesana kemari. Entah beberapa kali
hakim harus mengingatkan kepadanya.
Setiap
saksi telah selesai menerangkan, ketika ditanyakan kepada SI AF, hakim harus
pelan-pelan menjelaskannya. Bahkan harus berulang-ulang baik dengan bahasa
Indonesia maupun dengan bahasa daerah.
Namun
Si AF bisa menerangkan peristiwa dengan lancar. Kami didalam ruangan terhening.
Ngeri dengan perbuatannya namun “menyiksa” melihat perbuatan dari Si AF.
Jaksa
kemudian mendakwakan pelaku dengna penerapan pasal 80, Pasal 81, Pasal 82 dan
Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Sementara Si AF
diproses dengan Hukum acara diatur didalam UU Pengadilan Anak.
Problem
mulai muncul. Problema pertama, Si AF yang masih berusia 11 tahun dapat
diterapkan hukum pidana ? Sedangkan problem kedua, apakah Si AF telah melakukan
perbuatan pembunuhan terhadap MZ.
Putusan
Pengadilan Negeri Muara Tebo kemudian memutuskan bahwa menyerahkan Si AF kepada
negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja yang waktunya
selama 3 (tiga) tahun.
Putusan
Pengadilan Negeri Muara Tebo yang memutuskan “menyerahkan pelaku kepada
negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja yang waktunya
selama 3 (tiga) tahun” merupakan tujuan daripada Pengadilan Anak lebih diutamakan
kepada pembinaan dan perlindungan anak. Hakekat ini yang harus dipahami sebagai
perbedaan yang mendasar sebagaimana diatur didalam pasal 10 KUHP. Putusan ini
berbeda dengan pertimbangan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum yang
tidak didasarkan kepada ketentuan didalam UU No. 3 Tahun 1997.
Kembali
ke kasus YT, tanpa mengabaikan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, terhadap
pelaku berusia dibawah 18 tahun, UU mengamanatkan agar proses hukumnya tidak
dapat disamakan dengan pelaku berusia dewasa. Selain memastikan agar proses
hukum dilakukan terhadap YT telah sesuai ketentuan yang berlaku juga menjamin
proses yang adil terhadap pelaku anak (equality before the law).
Tentu
saja menimbulkan persoalan yang cukup serius ketika YT “coba dimanipulatif”
dengan mengakali usia 16 tahun menjadi 19 tahun. Selain akan menyulitkan
meminta pertanggungjawaban dari YT juga menimbulkan persoalan di hukum acara
pidana.
Berbagai
putusan Mahkamah Agung telah menegaskan. Terhadap proses hukum terhadap pelaku
yang tidak sesuai dengan hukum acara, maka proses hukumnya menjadi batal/tidak
sah. Sehingga YT yang seharusnya diadili di Pengadilan Anak namun kemudian
diadili di Pengadilan umum menjadi tidak sah.
Kejadian
ini pernah terjadi dalam kerusuhan Berembang. Salah satu pelaku berusia 17
tahun. Namun kemudian disidangkan bersama-sama dengan pelaku dewasa. Eksepsi
dari Tim Penasehat kemudian diterima oleh Pengadilan Negeri Sengeti. Dakwaan
kemudian dibatalkan. Sehingga proses pemeriksaan kemudian dihentikan. Berkas
perkara kemudian dikembalikan kepada penyidik. Penyidik kemudian kembali
melakukan pemberkasan. Persidangan kemudian digelar dengan pemeriksaan yang
berbeda antara pelaku anak dan pelaku dewasa.
Kewajiban
Mendampingi tersangka
Hal
lain yang menarik adalah ketika YT didalam proses pemeriksaan di kepolisian
sama sekali tidak didampingi oleh Penasehat Hukum/advokat sebagaimana diatur
didalam pasal 56 KUHAP.
Terhadap
kejahatan diatas 5 tahun, hukuman seumur hidup dan hukuman mati maka penegak
hukum berkewajiban untuk menyiapkan penasehat hukum.
“Kewajiban”
adalah kata-kata yang harus dipenuhi oleh penegak hukum setiap tingkatan
pemeriksaan untuk menyediakan Penasehat Hukum. Tanpa memenuhi “kewajiban” maka
proses hukum menjadi tidak sah.
Kejadian
ini mirip dengna “miranda cases” di Amerika. Miranda harus
dibebaskan ketika Polisi melakukan penangkapan terhadapnya tidak sesuai dengan
prosedur.
Terlepas
dari YT yang baru diketahui berusia 16 tahun ketika di proses penyidikan, namun
tidak dipenuhinya kewajiban dari penyidik untuk menyediakan penasehat hukum
terhadap YT, maka proses hukum menjadi tidak sah.
Dengan
melihat kemiripan dari “miranda cases” dan tidak dipatuhinya hukum acara
didalam menyediakan penasehat hukum kepada tersangka, YT merupakan pelaku anak
dan tidak diperiksa sebagaimana didalam proses hukum Pengadilan Anak, maka YT
haruslah dibebaskan.