Akhir-akhir
ini kita menyaksikan berbagai dagelan hukum yang kering makna.
Kriminalisasi pimpinan KPK, pendukung KPK seperti Denny Indrayana
(UGM), Feri Amsari (Unand).
Belum
cukup.
Sekarang
mulai “mempersoalkan” hasil investigasi Komnas HAM dan
“mengancam” menyeret seluruh komisioner Komnas HAM. Politik
kontemporer Indonesia “memasuki” masa suram”. Bandul Politik
mulai bergeser dan bayangan gelap mulai membayang.
Persis
yang sering diingatkan oleh Ronggowarsito di “Sinom dalam serat
Kalatido “Amenangi jaman edan ewuh aya ing pambudi melu edan ora
tahan. yen tan melu anglakoni boya kaduman melik. kaliren
wekasanipun.Dillalah karsaning Allah. Sakbeja-bejane wong kang lali.
luwih beja kang eling lan waspada”..(Mengalami jaman gila,
serba repot dalam bertindak, ikut gila tidak tahan. jika tidak ikut
berbuat gila tidak memperoleh bagian hak milik, akhirnya menjadi
ketaparan. Namun dari kehendak Allah, seuntung untungnya orang yang
lupa diri, masih lebih babagia orang yang ingat dan waspada)
Nurani
kebenaran mulai dipertanyakan. Suara-suara kritis dan “menggugat”
ketidakadilan menemukan momentum. Kekuasaan berhadapan dengan
kebenaran.
Dengan
menggunakan “atas nama hukum”, proses pemeriksaan dilakukan.
Pemeriksaan “supercepat' mengebut dan mengejar “target” agar
dijadikan tersangka kemudian ditahan “menumpulkan nurani. Hukum
dijadikan “alat” untuk menghantam siapapun yang “dianggap
kritis dan berseberangan pandangan dengan kekuasaan.
Momentum
“krisis” dan kisruh KPK vs Kepolisian digunakan dengan baik.
Dengan alasan “menghormati” terhadap laporan dari masyarakat,
hukum kemudian dijadikan alat yang efektif. Berhasil untuk “sejenak”
kaum kritis diluar kekuasaan senyam dan diam melihat ketidakadilan.
Kisah
ini bermula dengan gaya overacting “penangkapan' terhadap
komisioner KPK, Bambang Widjajanto (BW) ketika hendak mengantarkan
putranya sekolah. Belum cukup. Penetapan tersangka terhadap Abrahama
Samad (AS) dan dilanjutkan dengan “pemeriksaan” terhadap Denny
Indrayana (UGM) dan Feri Amsari (Unand). Perintah panglima tertinggi
Presien Joko Widodo, seruan dari Tim 9, imbauan dari berbagai kampus
“sama sekali” diabaikan dan dianggap angin lalu. Pemeriksaan
terus berlanjut dan “tidak berhenti sama sekali”.
Dunia
kampus mulai gerah. Berbagai nilai-nilai, prinsip, asas, teori bahkan
norma untuk “mengingatkan” praktisi hukum kembali ke jati diri
negara hukum “seakan-akan” diabaikan. Seruan “malu almamater”
telah menumpulkan nurani. Mereka hidup di awang-awang dan terus
merengsek menembus pertahanan nurani dari kampus.
Saya
kemudian tertarik untuk menarik benang merah dan mencari akar sebab
mengapa praktisi hukum “tumpul” menggunakan nurani. Dengan
berangkat dari berbagai pernyataan praktisi hukum, saya kemudian
menemukan rumusan untuk menjawab persoalan mendasar yang terjadi.
Kurikulum
Kampus
Harus
disadari, problema utama dari persoalan ini disebabkan kurikulum
kampus yang “kurang menempatkan fungsi hukum untuk menjadi solusi
di tengah persoalan di tengah masyarakat. Kampus justru menjadi
“mesin pencetak' penghapal pasal-pasal dari UU.
Lihatlah.
Bagaimana praktisi hukum “lebih mudah menyebutkan pasal-pasal”
daripada menterjemahkan makna hakiki dari peraturan yang disebutkan.
Mereka mudah menghapal pasal-pasal untuk “melindungi' kepentingan
sesaatnya daripada makna harfiah.
Kampus
kemudian menjadi “mesin pencetak” sarjana hukum yang justru
membuat hukum menjadi kisruh.
Keterlibatan
para ahli hukum dalam semrawutnya dunia hukum justru semakin membikin
kisruh. Hari ini ngomong kepastian hukum esok hari ngomong progresif
hukum. Hari ini ngomong “negara hukum” esok hari ngomong
“pluralisme'. Fungsi hukum kemudian “dipaksa” kepastian hukum.
Keadilan semata-mata berujung kepada kepastian hukum. Entah apa
akibatnya di tengah masyarakat, mereka tidak peduli.
Saya
kemudian merenung. Apa persoalan pokok sehingga praktisi hukum
terjebak dengan kisruh hukum ?. Ya. Kurikulum harus dipertanyakan.
Mengapa materi yang diajarkan kepada mahasiswa ilmu hukum seperti
terkesan penghapal pasal-pasal. Lihatlah. Bagaimana mereka gagap
“memotret” gejala-gejala sosial yang tengah terjadi.
Kurikulum
dimulai tanpa “memberikan pengantar' filosofi hukum. Pengantar
Filsafat diajarkan diletakkan didalam kurikulum setelah mahasiswa
hukum menerima prinsip-prinsip hukum. Padahal Pengantar Filsafat
harus diajarkan di awal semester.
Mahasiswa
baru memasuki bangku kuliah ilmu hukum harus diajarkan pondasi yang
kokoh. Dan Pengantar Filsafat Hukum merupakan pondasi yang kokoh
untuk membentengi mahasiswa dari hukum yang tidak berpihak kepada
keadilan.
Perumpaannya
dapat kita lihat ketika bayi baru lahir. Didalam agama Islam, baru
yang baru lahir didengarkan suara azan (untuk laki-laki) dan Qomat
(perempuan). Tujuannya agar sebelum mendengar suara-suara lain yang
belum dibedakan antara yang baik dan buruk, sang bayi dapat
menggunakan nurani memilah suara yang baik.
Dan
ketika dewasa, maka sang anak harus khatam Al Qur'an agar dapat
menjalani hidup dengan baik.
Dengan
menggunakan perumpaan, maka Pengantar Filsafat bisa diajarkan pada
awal-awal memasuki kuliah dan diakhiri dengan mata kuliah Filsafat
Hukum dan etika profesi. Matakuliah Filsafat Hukum dan Etika Profesi
diharapkan agar lulusan ilmu hukum dapat berargumentasi ilmu hukum
dengan komprehensif.
Nilai
hukum
Sebelum
menguraikan pasal-pasal yang sering “dicomot” sesuka hati,
persoalan selanjutnya disebabkan karena lulusan ilmu hukum banyak
“terjebak” dengan nilai-nilai keadilan. Entah memang tidak
mengetahuai atau memang “sengaja” menutupi kenyataan, penggunaan
pasal-pasal merupakan “proteksi” dari perdebatan yang “dianggap”
berseberangan.
Lihatlah.
Bagaimana putusan Praperadilan yang “masuk” wilayah teknis
projudicia yang cuma diperiksa 1 orang dan waktu cuma satu minggu.
Namun
bukan hanya putusan praperadilan yang menarik perhatian penulis.
Dukungan dari ahli hukum terhadap putusan praperadilan yang memantik
diskusi.
Dengan
menggunakan asas kepastian hukum (rechtssicherheit), ahli hukum
justru melupakan sisi lain dari keadilan. Yaitu Kemanfaatan Hukum
(zweckmassigkeit). Padahal Gustav Radbruck memberikan “ingatan”
tentang tujuan hukum yaitu keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum
(rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit).
MK
sendiri merumuskan makna keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai
yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati
nurani.
Sehingga
tidak salah kemudian putusan praperadilan dimaknai “membela
kepentingan atau kebaikan sebagian golongan tertentu. Bukan
kepentingan bersama/Common good.
Konsistensi
Saya
kemudian kesulitan memahami bagaimana alasan menggunakan satu asas
namun disisi lain mengelimir asas yang disebutkan.
Dalam
sebuah perdebatan di televisi, putusan praperadilan dianggap sebagai
“penemuan hukum (rechtvinding). Dengan menggunakan “asas penemuan
hukum”, maka tradisi kepastian hukum (rechtssicherheit) telah
ditinggalkan. Namun ketika menguraikan panjang lebar tentang jabatan
Komjen Budi Gunawan, ahli kemudian malah menyetujui dan kembali
dengan pemahaman sempit kepastian hukum ( rechtssicherheit).
Saya
kemudian tersentak. Mengapa mudah sekali melompat dan menari-nari
dari satu asas ke asas lain. Itu membuat saya yakin, konsistensi
menggunakan asas merupakan pondasi dihormatinya hukum.
Terlepas
dari berbagai polemik dan isu hukum yang menghinggapi pembicaraan
akhir-akhir ini, dibutuhkan keteladanan dari praktisi hukum untuk
menjelaskan persoalan hukum dengan jernih. Keteladanan selain
merupakan citra dari penegakkan hukum juga berdampak terhadap serapan
informasi yang diterima masyarakat. Tanpa menyebutkan siapa saja yang
diingat publik, ahli hukum yang sering tidak konsisten, saya termasuk
orang yang suka memindahkan channel televisi, ketika seorang ahli
berbicara di televisi. Entah memang sudah “gregetan' dengan
pendapatnya yang sulit diterima akal (common sense), rasa tidak
peduli dengna etika, sering menyerobot pembicaraan, mengulang-ulangi
hal yang membosan. Termasuk dengan gaya yang bikin “eneg”.
Dan
saya yakin, contoh yang buruk mempengaruhi terhadap perdebatan hukum
di ranah publik.
Baca : AHLI DI MK