10 Maret 2015

opini musri nauli : Ada Apa dengan Ahli Hukum



Akhir-akhir ini kita menyaksikan berbagai dagelan hukum yang kering makna. Kriminalisasi pimpinan KPK, pendukung KPK seperti Denny Indrayana (UGM), Feri Amsari (Unand).

Belum cukup.

Sekarang mulai “mempersoalkan” hasil investigasi Komnas HAM dan “mengancam” menyeret seluruh komisioner Komnas HAM. Politik kontemporer Indonesia “memasuki” masa suram”. Bandul Politik mulai bergeser dan bayangan gelap mulai membayang.

Persis yang sering diingatkan oleh Ronggowarsito di “Sinom dalam serat Kalatido “Amenangi jaman edan ewuh aya ing pambudi melu edan ora tahan. yen tan melu anglakoni boya kaduman melik. kaliren wekasanipun.Dillalah karsaning Allah. Sakbeja-bejane wong kang lali. luwih beja kang eling lan waspada”..(Mengalami jaman gila, serba repot dalam bertindak, ikut gila tidak tahan. jika tidak ikut berbuat gila tidak memperoleh bagian hak milik, akhirnya menjadi ketaparan. Namun dari kehendak Allah, seuntung untungnya orang yang lupa diri, masih lebih babagia orang yang ingat dan waspada)

Nurani kebenaran mulai dipertanyakan. Suara-suara kritis dan “menggugat” ketidakadilan menemukan momentum. Kekuasaan berhadapan dengan kebenaran.

Dengan menggunakan “atas nama hukum”, proses pemeriksaan dilakukan. Pemeriksaan “supercepat' mengebut dan mengejar “target” agar dijadikan tersangka kemudian ditahan “menumpulkan nurani. Hukum dijadikan “alat” untuk menghantam siapapun yang “dianggap kritis dan berseberangan pandangan dengan kekuasaan.

Momentum “krisis” dan kisruh KPK vs Kepolisian digunakan dengan baik. Dengan alasan “menghormati” terhadap laporan dari masyarakat, hukum kemudian dijadikan alat yang efektif. Berhasil untuk “sejenak” kaum kritis diluar kekuasaan senyam dan diam melihat ketidakadilan.

Kisah ini bermula dengan gaya overacting “penangkapan' terhadap komisioner KPK, Bambang Widjajanto (BW) ketika hendak mengantarkan putranya sekolah. Belum cukup. Penetapan tersangka terhadap Abrahama Samad (AS) dan dilanjutkan dengan “pemeriksaan” terhadap Denny Indrayana (UGM) dan Feri Amsari (Unand). Perintah panglima tertinggi Presien Joko Widodo, seruan dari Tim 9, imbauan dari berbagai kampus “sama sekali” diabaikan dan dianggap angin lalu. Pemeriksaan terus berlanjut dan “tidak berhenti sama sekali”.

Dunia kampus mulai gerah. Berbagai nilai-nilai, prinsip, asas, teori bahkan norma untuk “mengingatkan” praktisi hukum kembali ke jati diri negara hukum “seakan-akan” diabaikan. Seruan “malu almamater” telah menumpulkan nurani. Mereka hidup di awang-awang dan terus merengsek menembus pertahanan nurani dari kampus.

Saya kemudian tertarik untuk menarik benang merah dan mencari akar sebab mengapa praktisi hukum “tumpul” menggunakan nurani. Dengan berangkat dari berbagai pernyataan praktisi hukum, saya kemudian menemukan rumusan untuk menjawab persoalan mendasar yang terjadi.

Kurikulum Kampus

Harus disadari, problema utama dari persoalan ini disebabkan kurikulum kampus yang “kurang menempatkan fungsi hukum untuk menjadi solusi di tengah persoalan di tengah masyarakat. Kampus justru menjadi “mesin pencetak' penghapal pasal-pasal dari UU.

Lihatlah. Bagaimana praktisi hukum “lebih mudah menyebutkan pasal-pasal” daripada menterjemahkan makna hakiki dari peraturan yang disebutkan. Mereka mudah menghapal pasal-pasal untuk “melindungi' kepentingan sesaatnya daripada makna harfiah.

Kampus kemudian menjadi “mesin pencetak” sarjana hukum yang justru membuat hukum menjadi kisruh.

Keterlibatan para ahli hukum dalam semrawutnya dunia hukum justru semakin membikin kisruh. Hari ini ngomong kepastian hukum esok hari ngomong progresif hukum. Hari ini ngomong “negara hukum” esok hari ngomong “pluralisme'. Fungsi hukum kemudian “dipaksa” kepastian hukum. Keadilan semata-mata berujung kepada kepastian hukum. Entah apa akibatnya di tengah masyarakat, mereka tidak peduli.

Saya kemudian merenung. Apa persoalan pokok sehingga praktisi hukum terjebak dengan kisruh hukum ?. Ya. Kurikulum harus dipertanyakan. Mengapa materi yang diajarkan kepada mahasiswa ilmu hukum seperti terkesan penghapal pasal-pasal. Lihatlah. Bagaimana mereka gagap “memotret” gejala-gejala sosial yang tengah terjadi.

Kurikulum dimulai tanpa “memberikan pengantar' filosofi hukum. Pengantar Filsafat diajarkan diletakkan didalam kurikulum setelah mahasiswa hukum menerima prinsip-prinsip hukum. Padahal Pengantar Filsafat harus diajarkan di awal semester.

Mahasiswa baru memasuki bangku kuliah ilmu hukum harus diajarkan pondasi yang kokoh. Dan Pengantar Filsafat Hukum merupakan pondasi yang kokoh untuk membentengi mahasiswa dari hukum yang tidak berpihak kepada keadilan.

Perumpaannya dapat kita lihat ketika bayi baru lahir. Didalam agama Islam, baru yang baru lahir didengarkan suara azan (untuk laki-laki) dan Qomat (perempuan). Tujuannya agar sebelum mendengar suara-suara lain yang belum dibedakan antara yang baik dan buruk, sang bayi dapat menggunakan nurani memilah suara yang baik.

Dan ketika dewasa, maka sang anak harus khatam Al Qur'an agar dapat menjalani hidup dengan baik.

Dengan menggunakan perumpaan, maka Pengantar Filsafat bisa diajarkan pada awal-awal memasuki kuliah dan diakhiri dengan mata kuliah Filsafat Hukum dan etika profesi. Matakuliah Filsafat Hukum dan Etika Profesi diharapkan agar lulusan ilmu hukum dapat berargumentasi ilmu hukum dengan komprehensif.

Nilai hukum

Sebelum menguraikan pasal-pasal yang sering “dicomot” sesuka hati, persoalan selanjutnya disebabkan karena lulusan ilmu hukum banyak “terjebak” dengan nilai-nilai keadilan. Entah memang tidak mengetahuai atau memang “sengaja” menutupi kenyataan, penggunaan pasal-pasal merupakan “proteksi” dari perdebatan yang “dianggap” berseberangan.

Lihatlah. Bagaimana putusan Praperadilan yang “masuk” wilayah teknis projudicia yang cuma diperiksa 1 orang dan waktu cuma satu minggu.

Namun bukan hanya putusan praperadilan yang menarik perhatian penulis. Dukungan dari ahli hukum terhadap putusan praperadilan yang memantik diskusi.

Dengan menggunakan asas kepastian hukum (rechtssicherheit), ahli hukum justru melupakan sisi lain dari keadilan. Yaitu Kemanfaatan Hukum (zweckmassigkeit). Padahal Gustav Radbruck memberikan “ingatan” tentang tujuan hukum yaitu keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit).

MK sendiri merumuskan makna keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani.

Sehingga tidak salah kemudian putusan praperadilan dimaknai “membela kepentingan atau kebaikan sebagian golongan tertentu. Bukan kepentingan bersama/Common good.

Konsistensi

Saya kemudian kesulitan memahami bagaimana alasan menggunakan satu asas namun disisi lain mengelimir asas yang disebutkan.

Dalam sebuah perdebatan di televisi, putusan praperadilan dianggap sebagai “penemuan hukum (rechtvinding). Dengan menggunakan “asas penemuan hukum”, maka tradisi kepastian hukum (rechtssicherheit) telah ditinggalkan. Namun ketika menguraikan panjang lebar tentang jabatan Komjen Budi Gunawan, ahli kemudian malah menyetujui dan kembali dengan pemahaman sempit kepastian hukum ( rechtssicherheit).

Saya kemudian tersentak. Mengapa mudah sekali melompat dan menari-nari dari satu asas ke asas lain. Itu membuat saya yakin, konsistensi menggunakan asas merupakan pondasi dihormatinya hukum.

Terlepas dari berbagai polemik dan isu hukum yang menghinggapi pembicaraan akhir-akhir ini, dibutuhkan keteladanan dari praktisi hukum untuk menjelaskan persoalan hukum dengan jernih. Keteladanan selain merupakan citra dari penegakkan hukum juga berdampak terhadap serapan informasi yang diterima masyarakat. Tanpa menyebutkan siapa saja yang diingat publik, ahli hukum yang sering tidak konsisten, saya termasuk orang yang suka memindahkan channel televisi, ketika seorang ahli berbicara di televisi. Entah memang sudah “gregetan' dengan pendapatnya yang sulit diterima akal (common sense), rasa tidak peduli dengna etika, sering menyerobot pembicaraan, mengulang-ulangi hal yang membosan. Termasuk dengan gaya yang bikin “eneg”.

Dan saya yakin, contoh yang buruk mempengaruhi terhadap perdebatan hukum di ranah publik.

Baca : AHLI DI MK