Usai
sudah penetapan Jokowi “menyelesaikan” kemelut antara KPK
dan Polri. Dengan “memberhentikan” Abraham Samad (AS) dan Bambang
Widjojanto (BW) dari KPK dan “menetapkan” untuk mengusung Plt
Badroen Haiti (BH) sebagai Kapolri “menggantikan” Budi
Gunawan (BG) membuat saya menarik “sejenak” nafas untuk
melihat persoalan ini. Terlepas kemudian Jokowi mengusung
“Taufikurrahman Ruki (TR)”, Johan Budi (JB) dan Indriyanto
Senoaji (IS) mengisi kekosongan komisioner KPK.
Diibaratkan
pertandingan sepakbola, kedua tim sudah menunjukkan permainan tidak
fair, saling tacking, suka memaki lawan bahkan cenderung bermain
kasar. Pokoknya pertandingan tidak enak ditonton.
Penonton
mulai bergemuruh. Keduanya saling memberikan semangat kepada kedua
tim. Namun pertandingan masih tidak enak ditonton.
Padahal
kapten kedua kesebelasan sudah dipanggil. Sebagai wasit Jokowi sudah
mengingatkan baik-baik. Keduanya kemudian menggangguk dan bersedia
melanjutkan dengan baik.
Namun
kembali pertandingan semakin brutal, kasar dan terkesan sudah adu
jotos. Perkelahian tidak terhindarkan. Entah berapa kali wasit
membunyikan pluit untuk mengingatkan agar pertandingan dilanjutkan
dengan baik. Namun keduanya sudah “keburu” menganggap
pertandingan merupakan “arena” show of force. Saling pamer
kekuatan. Bukan menampilkan permainan yang baik.
Sebagai
wasit, Jokowi mulai marah. Pemain yang dianggap bermasalah “kemudian”
dikeluarkan. Pemain pengganti diingatkan Jokowi agar melanjutkan
permainan dilakukan dengan fair. Memberikan tontonan yang baik kepada
penonton.
Perumpamaan
itulah yang dilakukan oleh Jokowi didalam menyelesaikan kemelut KPK
vs Polri.
Dengan
memberhentikan AS dan BW dan mengganti BG dengan BH, sebagian
kalangan menarik napas lega. Keinginan untuk tidak melantik BG
disambut kalangan aktivis pemberantasan korupsi. Sementara Polri
tidak kehilangan muka dengan melihat cara Jokowi menghargai dengan
“mengukuhkan” BH sebagai calon yang diusung ke DPR
menggantikan BG. Kedua opsi ini memberikan kemenangan kedua belah
pihak.
Tentu
cara Jokowi menyelesaikan kemelut “diluar” perkiraan saya.
Perkiraan pertama disebabkan Jokowi lebih memilih BH sebagai calon
Kapolri menggantikan BG. Tidak melantik BG tentu saya kredit point
yang diraih oleh Jokowi. Jokowi dianggap masih mendengarkan suara
masyarakat banyak. Terutama dari rekomendasi dari Tim 9 melalui Buya
Syafii Maarif. Seorang tokoh yang cukup dihormati Jokowi selain
Hazyim Muzadi.
Padahal
issu mulai berseliweran dengan promosi terhadap Komjen Budi Wasesi
(BW).
Namun
Jokowi tidak membuat kisruh di tubuh Kepolisian. Dengan mendorong BH
sebagai “tokoh senior” maka relatif mudah diterima.
Kedua.
Mengangkat JB merupakan strategi ciamik yang mendapatkan “kredit
point”. Sekali lagi saya tidak menduga Johan Budi kemudian
didorong sebagai komisioner KPK.
Dengan
mengangkat BH sebagai Calon Kapolri dan JB sebagai Komisioner maka
justru memberikan “kredit point” yang tidak menimbulkan
resistensi dari kalangan masing-masing internal. Keduanya
sudah pasti diterima kedua kalangan.
Ketiga.
Dengan mengangkat BH dan JB, effektivitas kerja bisa dijalankan.
Meminjam istilah Jusuf Kalla, tidak perlu lagi “mengeluarkan”
budget tambahan, karena keduanya sudah mengetahui medan dan bisa on
the way.
Keempat.
Hubungan antara JB dan BH cukup harmonis. JB sebagai “utusan”
khusus dalam polemik BW saat penangkapan justru memberikan informasi
yang “menyejukkan”. JB dengan bijaksana tidak “menyerang”
BH ketika BW ditangkap. JB sadar, penangkapan BW sama sekali diluar
kendali dan dianggap sebagai “insubkoordinasi”. Dengan
tenang, JB bisa menjelaskan proses komunikasi antara JB dengan BH dan
tetap menghargai posisi BH yang sama sekali tidak “mengetahui”
penangkapan BW.
Kelima.
Masuknya TR relatif diterima. TR berasal dari kepolisian dan pernah
menjadi bagian dari KPK merupakan strategi yang cukup jeli dari
Jokowi. Padahal saya menduga, salah satu anggota tim 9 yang akan
masuk menjadi komisioner KPK. Mereka berasal dari pimpinan KPK
sebelumnya. Yaitu Erry Riyana Hardjapamekas atau Tumpak Hatorangan
Panggabean. Atau bisa juga Komjen (purn) Oegroseno dan Bambang Widodo
Umar.
Keenam.
Dengan tidak mengangkat BG, memberhentikan AS dan BW, maka “sedikit”
mengurangi ketegangan antara KPK dan Polri. KPK “sadar”
tidak kuat mempertahankan AS dan BW dari “serangan” Polri.
Terlepas dari “tuduhan” terhadap AS dan BW, ketentuan
normatif sudah bisa memastikan, keduanya sudah ditetapkan tersangka
dan memang “diberhentikan sementara”. Sedangkan tidak
melantik BG memberikan “penghormatan” dari Jokowi terhadap
suara-suara kritis issu pemberantasan korupsi.
Ketujuh.
Dengan mengambil strategi “tidak melantik BG dan memberhentikan
AS dan BW”, Jokowi memainkan politik yang jitu. Jokowi berhasil
“keluar” dari pengap. Sikap Jokowi kemudian dibaca, Jokowi
“Menyelesaikan” persoalan tanpa “memberikan malu”
kepada kedua lembaga. Jokowi berhasil keluar dari tekanan politik
(baik dari masyarakat, partai pendukung maupun suara di parlemen).
Kedelapan.
Mengangkat BH dan JB merupakan strategi diluar perkiran. Jokowi
berhasil berhitung “kalkulasi” politik. Baik resistensi
ataupun yang akan mencibirnya. Dari sikap ini, kalkulasi politik
Jokowi tidak menimbulkan dampak baik di tengah masyarakat maupun dari
parlemen.
Dengan
melihat strategi yang tengah dimainkan Jokowi, saya kemudian teringat
cara Jokowi “menguraikan masalah”. Jokowi sering sekali
“mengaduk kolam yang baru keruh”. Jokowi bukan
membersihkan kolam. Namun membiarkan kolam semakin keruh sehingga
kelihatan ikan-ikan yang mulai kehabisan nafas karena sulit bernafas.
Ikan-ikan yang naik ke permukaan untuk menarik nafasnya biasa lebih
enak ditangkap untuk digoreng. Ikan tidak menjadi liar. Namun ikan
yang bertahan (dan biasanya lebih sehat, baik dan enak disantap)
tidak mau mengikuti air yang semakin keruh. Ikan itu tetap bertahan
dan relatif baik untuk hidup di kolam itu.
Dari air yang keruh, maka ketika kolam mulai dijernihkan, tinggallah ikan-ikan yang memang pantas hidup di kolam.
Strategi
ini yang dimainkan Jokowi. Dengan membiarkan dan “terkesan”
kedua lembaga ini show untuk menunjukkan kekuatan masing-masing kedua
lembaga ini, maka publik mudah menangkap pesan. Siapa saja yang
terbukti menjadi pecundang. Dan siapa yang masih pantas bertahan
untuk “membenahi” kedua institusi ini.
Menunggu
proses “semakin keruh” dan mulai membersihkan kolam yang
membuat saya sempat sesak nafas. Namun dengan ending yang dimainkan
Jokowi, tidak sia-sia kemudian Jokowi berhasil menjadi Walikota Solo
dua periode dan “menaklukan” sang penguasa Jakarta dengan
menumbangkan incumbent Fauzi Bowo.
Tapi
apabila kita lihat tanda-tanda yang dimainkan Jokowi, kita bisa
menarik benang merah bagaimana Jokowi “memainkan” berbagai
skenario politik
Masih
ingat ketika Jokowi menyelesaikan mafia rusun Marinda. Jokowi dan
Ahok menemukan mafia yang melibatkan Lurah Warakas. Lurah Warakas
kemudian menyewakan rusun kepada orang lain. Tentu ini menyalahi
peraturan. Pemprov DKI kemudian “memutihkan” rusun Lurah
Warakas. Lurah Warakas kemudian marah dan menentang kebijakan Jokowi
soal lelang jabatan.
Publik
kemudian “sempat” terkesima. Bahkan Lurah Warakas ini
sempat mendapat dukungan dari berbagai pihak. Namun dengan membongkar
“praktek” Lurah Warakas, diapun tidak berkutik.
Begitu
juga saat penetapan Wapres. Jokowi datang ke Solo sebelum pengumuman
calon Wakil Presiden. Dari suara Walikota Solo yang merupakan Ketua
PDIP Solo kemudian menolak Puan Maharani sebagai pendamping Jokowi di
Pilpres.
Jokowi
juga mendatangi Prabowo sebelum pelantikan Presiden. Jokowi
memberikan panggung kepada Prabowo dengan menghormati Prabowo
sehingga pelantikan berjalan mulus.
Peristiwa
terakhir ketika pertemuan petinggi KIH di Solo dalam rangka
menghadiri Munas II Partai Hanura. Dengan jeli, Walikota Solo sebagai
tuan rumah menjadikan “tempat” untuk memastikan Jokowi
tidak melantik BG.
Berbagai
strategi yang dimainkan Jokowi mengingatkan gaya dan cara Jokowi
berpolitik sebagaimana telah saya ungkapkan sebelumnya. Dengan
menggunakan prinsip “rukun”, maka Jokowi memberikan
kesempatan kepada BH untuk menjadi Kapolri dan JB sebagai komisioner
KPK. Keduanya relatif bisa diterima di internal sehingga tidak
menimbulkan gejolak dan mampu membangun koordinasi yang baik.
Jokowi
terus “memerankan” sikap sopan santun kepada partai
pendukung dengan tidak langsung “memberhentikan” BG dan
memberikan kesempatan kepada BG untuk “mengclearkan” di
praperadilan.
Cara
Jokowi tidak melantik BG dengan cara mengirimkan pesan baik melalui
Tim 9, menghubungi Syafiie Maarif dan Ketua DPR.
Namun
Jokowi juga hendak mengirimkan pesan kepada siapapun agar saling
menghormati dan “tepa selira”. Jokowi menunjukkan sikap
tegas terhadap keputusan yang diambilnya. Jokowi tidak mau ditekan
siapapun. Jokowi tidak mengikuti “kehendak” partai pengusung
dengan melantik BG. Namun Jokowi tidak meladeni “hak imunitas”
kepada AS dan BW.
Dengan
menggunakan nilai “kerukunan”, “sopan santun”, “tepa
salira”, “tidak grusa grusu” maka gaya dan cara Jokowi
berpolitik sering disampaikan dalam dunia pewayangan. “negara
ingkang panjang punjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi tata
tenteram tur rajaharja”. Negara yang terkenal, banyak dibicarakan
orang, tinggi marbabatnya, luhur budinya dan amat berwibawa.
Sikap
ini sudah disampaikan Jokowi ketika status di Facebook Jokowi memuat
kalimat Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti..."
segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan
dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar, maka Jokowi ingin
menyelesaikan persoalan “kerumitan” tanpa ingin menang sendiri.
Jokowi ingin menyelesaikannya tanpa ada yang merasa dikalahkan.
Sekali
lagi Jokowi menyelesaikan masalah tanpa “mempermalukan”
kedua institusi. Kedua institusi tidak dikalahkan. Namun kredit point
yang diraih Jokowi. Jokowi menjadi pemenang. Jokowi menjadi pemenang
tanpa ada yang “merasa” dikalahkan.