19 Februari 2015

opini musri nauli : CARA JOKOWI MEMAINKAN POLITIK



Usai sudah penetapan Jokowi “menyelesaikan” kemelut antara KPK dan Polri. Dengan “memberhentikan” Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjojanto (BW) dari KPK dan “menetapkan” untuk mengusung Plt Badroen Haiti (BH) sebagai Kapolri “menggantikan” Budi Gunawan (BG) membuat saya menarik “sejenak” nafas untuk melihat persoalan ini. Terlepas kemudian Jokowi mengusung “Taufikurrahman Ruki (TR)”, Johan Budi (JB) dan Indriyanto Senoaji (IS) mengisi kekosongan komisioner KPK.
Diibaratkan pertandingan sepakbola, kedua tim sudah menunjukkan permainan tidak fair, saling tacking, suka memaki lawan bahkan cenderung bermain kasar. Pokoknya pertandingan tidak enak ditonton.

Penonton mulai bergemuruh. Keduanya saling memberikan semangat kepada kedua tim. Namun pertandingan masih tidak enak ditonton.

Padahal kapten kedua kesebelasan sudah dipanggil. Sebagai wasit Jokowi sudah mengingatkan baik-baik. Keduanya kemudian menggangguk dan bersedia melanjutkan dengan baik.

Namun kembali pertandingan semakin brutal, kasar dan terkesan sudah adu jotos. Perkelahian tidak terhindarkan. Entah berapa kali wasit membunyikan pluit untuk mengingatkan agar pertandingan dilanjutkan dengan baik. Namun keduanya sudah “keburu” menganggap pertandingan merupakan “arena” show of force. Saling pamer kekuatan. Bukan menampilkan permainan yang baik.

Sebagai wasit, Jokowi mulai marah. Pemain yang dianggap bermasalah “kemudian” dikeluarkan. Pemain pengganti diingatkan Jokowi agar melanjutkan permainan dilakukan dengan fair. Memberikan tontonan yang baik kepada penonton.

Perumpamaan itulah yang dilakukan oleh Jokowi didalam menyelesaikan kemelut KPK vs Polri.

Dengan memberhentikan AS dan BW dan mengganti BG dengan BH, sebagian kalangan menarik napas lega. Keinginan untuk tidak melantik BG disambut kalangan aktivis pemberantasan korupsi. Sementara Polri tidak kehilangan muka dengan melihat cara Jokowi menghargai dengan “mengukuhkan” BH sebagai calon yang diusung ke DPR menggantikan BG. Kedua opsi ini memberikan kemenangan kedua belah pihak.

Tentu cara Jokowi menyelesaikan kemelut “diluar” perkiraan saya. Perkiraan pertama disebabkan Jokowi lebih memilih BH sebagai calon Kapolri menggantikan BG. Tidak melantik BG tentu saya kredit point yang diraih oleh Jokowi. Jokowi dianggap masih mendengarkan suara masyarakat banyak. Terutama dari rekomendasi dari Tim 9 melalui Buya Syafii Maarif. Seorang tokoh yang cukup dihormati Jokowi selain Hazyim Muzadi.

Padahal issu mulai berseliweran dengan promosi terhadap Komjen Budi Wasesi (BW).

Namun Jokowi tidak membuat kisruh di tubuh Kepolisian. Dengan mendorong BH sebagai “tokoh senior” maka relatif mudah diterima.

Kedua. Mengangkat JB merupakan strategi ciamik yang mendapatkan “kredit point”. Sekali lagi saya tidak menduga Johan Budi kemudian didorong sebagai komisioner KPK.

Dengan mengangkat BH sebagai Calon Kapolri dan JB sebagai Komisioner maka justru memberikan “kredit point” yang tidak menimbulkan resistensi dari kalangan masing-masing internal. Keduanya sudah pasti diterima kedua kalangan.

Ketiga. Dengan mengangkat BH dan JB, effektivitas kerja bisa dijalankan. Meminjam istilah Jusuf Kalla, tidak perlu lagi “mengeluarkan” budget tambahan, karena keduanya sudah mengetahui medan dan bisa on the way.

Keempat. Hubungan antara JB dan BH cukup harmonis. JB sebagai “utusan” khusus dalam polemik BW saat penangkapan justru memberikan informasi yang “menyejukkan”. JB dengan bijaksana tidak “menyerang” BH ketika BW ditangkap. JB sadar, penangkapan BW sama sekali diluar kendali dan dianggap sebagai “insubkoordinasi”. Dengan tenang, JB bisa menjelaskan proses komunikasi antara JB dengan BH dan tetap menghargai posisi BH yang sama sekali tidak “mengetahui” penangkapan BW.

Kelima. Masuknya TR relatif diterima. TR berasal dari kepolisian dan pernah menjadi bagian dari KPK merupakan strategi yang cukup jeli dari Jokowi. Padahal saya menduga, salah satu anggota tim 9 yang akan masuk menjadi komisioner KPK. Mereka berasal dari pimpinan KPK sebelumnya. Yaitu Erry Riyana Hardjapamekas atau Tumpak Hatorangan Panggabean. Atau bisa juga Komjen (purn) Oegroseno dan Bambang Widodo Umar.

Keenam. Dengan tidak mengangkat BG, memberhentikan AS dan BW, maka “sedikit” mengurangi ketegangan antara KPK dan Polri. KPK “sadar” tidak kuat mempertahankan AS dan BW dari “serangan” Polri. Terlepas dari “tuduhan” terhadap AS dan BW, ketentuan normatif sudah bisa memastikan, keduanya sudah ditetapkan tersangka dan memang “diberhentikan sementara”. Sedangkan tidak melantik BG memberikan “penghormatan” dari Jokowi terhadap suara-suara kritis issu pemberantasan korupsi.

Ketujuh. Dengan mengambil strategi “tidak melantik BG dan memberhentikan AS dan BW”, Jokowi memainkan politik yang jitu. Jokowi berhasil “keluar” dari pengap. Sikap Jokowi kemudian dibaca, Jokowi “Menyelesaikan” persoalan tanpa “memberikan malu” kepada kedua lembaga. Jokowi berhasil keluar dari tekanan politik (baik dari masyarakat, partai pendukung maupun suara di parlemen).

Kedelapan. Mengangkat BH dan JB merupakan strategi diluar perkiran. Jokowi berhasil berhitung “kalkulasi” politik. Baik resistensi ataupun yang akan mencibirnya. Dari sikap ini, kalkulasi politik Jokowi tidak menimbulkan dampak baik di tengah masyarakat maupun dari parlemen.

Dengan melihat strategi yang tengah dimainkan Jokowi, saya kemudian teringat cara Jokowi “menguraikan masalah”. Jokowi sering sekali “mengaduk kolam yang baru keruh”. Jokowi bukan membersihkan kolam. Namun membiarkan kolam semakin keruh sehingga kelihatan ikan-ikan yang mulai kehabisan nafas karena sulit bernafas. Ikan-ikan yang naik ke permukaan untuk menarik nafasnya biasa lebih enak ditangkap untuk digoreng. Ikan tidak menjadi liar. Namun ikan yang bertahan (dan biasanya lebih sehat, baik dan enak disantap) tidak mau mengikuti air yang semakin keruh. Ikan itu tetap bertahan dan relatif baik untuk hidup di kolam itu.

Dari air yang keruh, maka ketika kolam mulai dijernihkan, tinggallah ikan-ikan yang memang pantas hidup di kolam.

Strategi ini yang dimainkan Jokowi. Dengan membiarkan dan “terkesan” kedua lembaga ini show untuk menunjukkan kekuatan masing-masing kedua lembaga ini, maka publik mudah menangkap pesan. Siapa saja yang terbukti menjadi pecundang. Dan siapa yang masih pantas bertahan untuk “membenahi” kedua institusi ini.

Menunggu proses “semakin keruh” dan mulai membersihkan kolam yang membuat saya sempat sesak nafas. Namun dengan ending yang dimainkan Jokowi, tidak sia-sia kemudian Jokowi berhasil menjadi Walikota Solo dua periode dan “menaklukan” sang penguasa Jakarta dengan menumbangkan incumbent Fauzi Bowo.

Tapi apabila kita lihat tanda-tanda yang dimainkan Jokowi, kita bisa menarik benang merah bagaimana Jokowi “memainkan” berbagai skenario politik

Masih ingat ketika Jokowi menyelesaikan mafia rusun Marinda. Jokowi dan Ahok menemukan mafia yang melibatkan Lurah Warakas. Lurah Warakas kemudian menyewakan rusun kepada orang lain. Tentu ini menyalahi peraturan. Pemprov DKI kemudian “memutihkan” rusun Lurah Warakas. Lurah Warakas kemudian marah dan menentang kebijakan Jokowi soal lelang jabatan.

Publik kemudian “sempat” terkesima. Bahkan Lurah Warakas ini sempat mendapat dukungan dari berbagai pihak. Namun dengan membongkar “praktek” Lurah Warakas, diapun tidak berkutik.

Begitu juga saat penetapan Wapres. Jokowi datang ke Solo sebelum pengumuman calon Wakil Presiden. Dari suara Walikota Solo yang merupakan Ketua PDIP Solo kemudian menolak Puan Maharani sebagai pendamping Jokowi di Pilpres.

Jokowi juga mendatangi Prabowo sebelum pelantikan Presiden. Jokowi memberikan panggung kepada Prabowo dengan menghormati Prabowo sehingga pelantikan berjalan mulus.

Peristiwa terakhir ketika pertemuan petinggi KIH di Solo dalam rangka menghadiri Munas II Partai Hanura. Dengan jeli, Walikota Solo sebagai tuan rumah menjadikan “tempat” untuk memastikan Jokowi tidak melantik BG.

Berbagai strategi yang dimainkan Jokowi mengingatkan gaya dan cara Jokowi berpolitik sebagaimana telah saya ungkapkan sebelumnya. Dengan menggunakan prinsip “rukun”, maka Jokowi memberikan kesempatan kepada BH untuk menjadi Kapolri dan JB sebagai komisioner KPK. Keduanya relatif bisa diterima di internal sehingga tidak menimbulkan gejolak dan mampu membangun koordinasi yang baik.

Jokowi terus “memerankan” sikap sopan santun kepada partai pendukung dengan tidak langsung “memberhentikan” BG dan memberikan kesempatan kepada BG untuk “mengclearkan” di praperadilan.

Cara Jokowi tidak melantik BG dengan cara mengirimkan pesan baik melalui Tim 9, menghubungi Syafiie Maarif dan Ketua DPR.

Namun Jokowi juga hendak mengirimkan pesan kepada siapapun agar saling menghormati dan “tepa selira”. Jokowi menunjukkan sikap tegas terhadap keputusan yang diambilnya. Jokowi tidak mau ditekan siapapun. Jokowi tidak mengikuti “kehendak” partai pengusung dengan melantik BG. Namun Jokowi tidak meladeni “hak imunitas” kepada AS dan BW.

Dengan menggunakan nilai “kerukunan”, “sopan santun”, “tepa salira”, “tidak grusa grusu” maka gaya dan cara Jokowi berpolitik sering disampaikan dalam dunia pewayangan. “negara ingkang panjang punjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi tata tenteram tur rajaharja”. Negara yang terkenal, banyak dibicarakan orang, tinggi marbabatnya, luhur budinya dan amat berwibawa.

Sikap ini sudah disampaikan Jokowi ketika status di Facebook Jokowi memuat kalimat Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti..." segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar, maka Jokowi ingin menyelesaikan persoalan “kerumitan” tanpa ingin menang sendiri. Jokowi ingin menyelesaikannya tanpa ada yang merasa dikalahkan.

Sekali lagi Jokowi menyelesaikan masalah tanpa “mempermalukan” kedua institusi. Kedua institusi tidak dikalahkan. Namun kredit point yang diraih Jokowi. Jokowi menjadi pemenang. Jokowi menjadi pemenang tanpa ada yang “merasa” dikalahkan.