31 Januari 2015

opini musri nauli : SIMULASI PENGANGKATAN KAPOLRI


Akhir-akhir Jokowi sedang “dipusingkan' dengan persoalan pengangkatan Kapolri. Setelah diusulkan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai Calon Kapolri ke DPR, kemudian ditetapkannya BG sebagai tersangka oleh KPK, dan disetujui oleh DPR, bola panas kembali ke Jokowi. Jokowi dihadapkan pilihan sulit apakah melantik atau tidak BG calon kapolri.


Berbagai skenario telah disusun. Mengharapkan rekomendasi dari Kompolnas, Jokowi sudah “terjebak” ketika Kompolnos meluluskannya namun kemudian bermasalah oleh KPK. Sementara Watimpres “malah” mendesak dilantik. Suara sama juga diusulkan PDI-P.

Jokowi kemudian mengundang tokoh-tokoh masyarakat yang kemudian dikenal Tim Independent. Mereka telah meminta Jokowi agar tidak melantik BG sebagai Kapolri. Suara yang kuat diluar istana yang menghendaki agar Jokowi tunduk kepada konstitusi dan kepentingan rakyat. Suara yang sama disampaikan oleh Prabowo dan BJ. Habibie.

Sekarang Jokowi mulai berhitung. Sembari Jokowi berhitung, saya akan mencoba mengukur pilihan Jokowi sebelum mengambil keputusan (simulasi). Simulasi dilakukan dengna memperhitungkan kekuatan partai pendukung, partai di parlemen, Polri, KPK dan masyarakat luas. Dan kekuatan yang mempengaruhi seperti Kompolnas, Tim Independent dan Wantimpres.

Jokowo Melantik BG sebagai Kapolri

Apabila Jokowi melantik BG sebagai Kapolri maka Jokowi “berhasil” membalas jasa kepada PDIP yang ngotot meminta Jokowi untuk melantik. Sikap ini juga akan menyelamatkan Jokowi dari rongrongan anggota parlemen yang menganggap Jokowi tidak menghargai konstitusi ketika anggota parlemen telah memilih Jokowi berdasarkan usulan dari Jokowi sendiri. Jokowi juga dianggap “mendengarkan suara” Wantimpres sehingga Wantimpres mulai berperan dalam persoalan pemerintahan.

Dari anggota parlemen, Jokowi akan mendapatkan dukungan. Sehingga Jokowi aman dari ancaman “impeachment”.

Dari posisi ini, Jokowi aman dari partai pendukung, anggota DPR dan wantimpres.

Namun Jokowi akan kesulitan mendapatkan dukungan publik.

Suara-suara yang selama ini kritis tentang agenda pemberantasan korupsi akan berpihak kepada KPK. Jokowi akan berhadapan dengan suara-suara yang semula mendukung Jokowi dalam pilpres.

Jokowi berhadapan dengan suara rakyat yang tetap “keukeuh” menolak calon Kapolri seorang tersangka kasus korupsi. Apa kata dunia. Suara Jokowi akan turun dan Jokowi akan dikecam dunia setelah Jokowi menolak usulan grasi.

Komitmen Jokowi tentang pemberantasan korupsi diragukan. Bahkan gelar tokoh anti korupsi yang pernah diberikan oleh Bung Hatta Award dapat dicabut.

Dan pemerintahan Jokowi mulai kesulitan mendapatkan dukungan dari rakyat.


Menunggu proses hukum

Ketika Penetapan BG sebagai tersangka oleh KPK, Jokowi kemudian mengeluarkan sikap “menunda pelantikan BG sebagai Kapolri. Pada saat bersamaan kemudian memerintahkan kepada Komjen Badrun Haiti menjalankan tugas-tugas Kapolri.

Sikap ini dianggap bijaksana. Menghargai proses hukum dan memberikan kesempatan kepada BG untuk menjalani proses hukum.

Namun cara ini kemudian menimbulkan masalah. Mabes Polri kemudian “membalas”. Melalui Bareskrim kemudian menangkap Bambang Widjojanto dengan tuduhan pasal “memberikan keterangan palsu” di MK.

Dunia politik kemudian geger. Bareskrim kemudian “dianggap” memperkeruh keadaan dan menyulut perang terbuka dengan KPK.

Suara-suara diam kemudian “berbaris” di KPK. Berbagai tokoh yang selama ini di barisan belakang Jokowi kemudian “mendukung” KPK. Tidak main-main barisan di belakang KPK. Suara mereka cukup diperhitungkan.

Media massa konvensional dan media sosial habis-habisan mendukung KPK. Keberadaan KPK terancam sehingga barisan ini kemudian menguat dan membuat Jokowi bertaruh.

Sementara itu, Polri sendiri dianggap belum bisa dikendalikan. Jokowi kesulitan “mendinginkan suasana'. Suara mulai protes keras meminta agar Jokowi mengirimkan nama-nama calon Kapolri yang baru kepada DPR.

Penangkapan BW kemudian menimbulkan masalah besar. Jokowi vis to vis berhadapan dengan barisan pendukung yang selama ini mendukung Jokowi sebagai Presiden.

Sementara desakan juga disuarakan PDIP. PDIP meminta kepada Jokowi agar tidak menunda pelantikan dan mendesak pelantikan kepada Jokowi.

Menunggu proses hukum terhadap BG “menyita” energi. BG tidak mau memenuhi panggilan KPK. Bahkan BG kemudian mengajukan praperadilan tentang penetapan sebagai tersangka. Permainan ditangan BG. Jokowi sulit mengendalikan permainan.

Mengundang tim independent yang terdiri dari orang yang disegani merupakan cara Jokowi “mengulur” permainan. Namun permainan ini mulai dirasakan bosan. Jokowi dianggap sudah mengambil alih permainan agar bola ini tidak semakin liar.

Kedatangan BJ Habibie dan Prabowo “semakin meyakini Jokowi sedang berhitung untuk menunda permainan sambil melihat peluang.

Namun menunda dengan cara mengulur waktu harus ditentukan berakhirnya.

Tidak Melantik BG

Tentu saja cara ini akan menimbulkan persoalan dan penolakan dari PDIP. Suara-suara yang menghendaki agar BG dilantik akan menimbulkan masalah besar bagi Jokowi.

Jokowi dianggap tidak berterima kasih dan dianggap tidak tahu diri. Bahkan Jokowi dianggap mengabaikan suara dari partai yang telah mengantarkan Jokowi jadi Walikota, Gubernur dan dari Presiden.

Jokowi juga dianggap mengabaikan suara dari Wantimpres dan menyalahi konstitusi.

Ancaman “impeacment” akan nyaring suaranya.

Skenario ini sedang dihitung dampaknya oleh Jokowi. Mengundang tokoh-tokoh di tim independent dan Kedatangan BJ Habibie dan Prabowo adalah cara Jokowi untuk mendapatkan dukungan di parlemen dan skenario pilihan Jokowi tidak bermasalah.

Namun disisi lain, Jokowi dianggap keluar dari bayang-bayang “petugas partai”. Jokowi memainkan diri sebagai Presiden. Jokowi mendapatkan dukungan dari masyarakat dan dianggap sebagai tokoh yang masih mempunyai komitmen terhadap pemberantasan korupsi.

Dukungan luas dari publik merupakan modal sosial didalam melaksanakan program-program Nawacita Jokowi.

Jokowi mendengarkan “suara nurani rakyat”.

Semoga Jokowi “Cepat siuman” (meminjam istilah Syafi Maarif).