31 Januari 2015

opini musri nauli : ADU STRATEGI JOHAN BUDI DAN BOY AMAR


Ketika penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan (BG) yang disampaikan langsung oleh Ketua KPK, ada desahan “nada tegas” dan mengernyitkan “ancaman perang” terhadap “tuduhan korupsi” kepada calon Kapolri. Nada ini kemudian “diulang” dalam kesempatan terpisah oleh AS agar Presiden Jokowi tidak melantik BG dan menyampaikan isyarat tidak main-main dengan mengeluarkan kata-kata “itu pesan dari KPK”.

Entah bermaksud menilai pengucapan kata-kata dari Ketua KPK, nada garang sebagai ciri khas dari Abraham Samad (AS) kemudian memantik reaksi politik yang panjang. Dunia politik kemudian dihebohkan dan mulai genderang perang terhadap pemberantasan korupsi.
Terlepas dari gaya dan karakter dari Abrahama Samad, “kesan” yang disampaikan oleh AS memancing perdebatan. Apakah karena “gaya dan karakter” kemudian Bareskrim kemudian membalasnya dengan cara penangkapan Bambang Widjojanto (BW) ? Hmm. Entahlah.

Berbeda dengan pengungkapan kasus-kasus di KPK yang disampaikan oleh Johan Budi, cara penyampaian “cuma sekedar informasi” terhadap perkembangan kasus. Sekaligus “pertanggungjawaban” publik oleh KPK. Datar, tenang, tidak meledak-ledak, adem dan sama sekali jauh dari kesan “mengeluarkan ancaman perang.

Sementara disudut lain, ketika penangkapan BW oleh Bareskrim, Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Ronny F Sompie (Ronny) justru “menyindir” penangkapan BW dengan mengatakan “Mabes telah memiliki 3 alat bukti” sehingga bisa memastikan keterlibatan BW dalam perkaranya. Kesan dari penggunakan kata “memiliki 3 alat bukti” sekedar menyampaikan kepada KPK yang keukeuh” mengatakan BG telah ditetapkan sebagai tersangka karena memiliki dua alat bukti.

Saya belum bisa memastikan apakah “suasana” panas antara KPK dan Mabes Polri disebabkan karena cara penyampaian dari AS dan Ronny yang memperkeruh keadaan. Namun yang pasti, setelah penetapan tersangka BG oleh KPK, corong mick KPK kemudian kembali ke Johan Budi. Sedangkan Brigjen Pol Boy Rafli Amar (Boy) yang sudah menjadi Kapolda Banten kembali ditarik ke Mabes Polri sebagai Juru bicara Mabes Polri. Terlepas dari pernyataan Ditariknya bukan permanen, Boy ikut menjadi juru bicara Polri.

Johan Budi dikenal sebagai “juru bicara” yang handal. Sudah melewati berbagai periode sulit di KPK. Mulai dari awal-awal pendirian KPK, digoyang kasus “cicak buaya”, meladeni berbagai manuver para koruptor yang menyerang KPK, hingga meladeni berbagai issu miring di KPK (seperti kasus Antasari, issu istana bermain dalam kasus Anas).

Johan Budi juga piawai “meladeni” daya serang dari parlemen, mampu berdebat teknis hukum (walaupun bukan berasal dari background hukum) di acara-acara seperti ILC-TV One. Argumentasinya runut, sistematis, tenang, tidak terpancing serangan lawan, mampu bertahan secara baik (defensif) bahkan mampu mengeluarkan “peluru” yang bisa memancing pihak lawan menjadi emosi.

Kata-kata yang sering mematahkan lawan mudah dikenal ketika dia mengucapkan “datanya yang harus kuat. Bukan suara” adalah teknik Johan Budi memancing pihak lawan sambil mengucapkan tersenyum.

Bahkan tokoh selevel Karni Ilyas kesulitan “membongkar” pertahanan Johan Budi sehingga praktis Johan Budi “bisa memainkan perannnya” dengan baik.

Boy Amar juga tidak kalah jagonya. Menjadi jurubicara di Polda Metrojaya membuat “gaung” Polda Metrojaya lebih gemerlap daripada Mabes Polri. Boy kemudian ditarik ke Mabes Polri sehingga berbagai tudingan miring kepolisian dengan “jernih” dijelaskan dengan Boy dengan baik. Boy kemudian berhasil mengeluarkan Polri dari berbagai tekanan. Boy kemudian diangkat menjadi Kapolda Banten.

Sehingga tidak salah Johan Budi lebih dikenal daripada Komisioner KPK lainnya dan Boy lebih dikenal dari Kapolri.

Dikembalikannya Johan Budi dan ditariknya Boy dari Kapolda Banten (sementara) tentu hasil dan pengakuan atas sumbangan keduanya dalam soal pemberitaan. Keduanya dianggap “mampu” membawa persoalan KPK dan Polri kembali kepada persoalan sebenarnya. Persoalan hukum.

Dengan mengembalikan corong mick Johan Budi dan ditariknya Boy maka kita akan melihat bagaimana cara “keduanya” membawa kemudi KPK dan Polri sehingga bisa diterima publik.

Kita berharap agar gelanggang hiruk pikuk mulai “adem”. Dengan mengembalikan corong mick kepada Johan Budi dan Boy Rafli Amar setidak-tidaknya bukanlah peristiwa yang tidak sederhana. Dan itu menarik untuk kita ikuti.

Kedepan sebaiknya penetapan tersangka di KPK “cukup” disampaikan oleh Johan Budi. Tidak “perlu” para komisioner KPK yang mengumumkan. Selain “menghindarkan” daya serang kepada Komisioner KPK, cara ini lebih mudah diterima oleh publik.

Begitu juga, jurubicara Mabes haruslah dicari orang yang mempunyai kemampuan seperti Boy Amar. Jangan meremehkan “persoalan” kehumasan”. Pengalaman buruk cara penyampaian dari Mabes dalam kasus penangkapan BW memberikan pesan. Jurubicara adalah jabatan yang cukup diperhitungkan. Tidak semua orang yang bisa memainkannya.

Kita menunggu bagaimana keduanya “mengeluarkan” strateginya masing-masing sehingga publik menjadi rasional menerima penjelasan. Kita ingin melihat bagaimana keduanya “dipanggil” kembali menjadi jurubicara dan paham pada konteks informasi yang disampaikan.

Mari kita tunggu lakon selanjutnya.