Ketika
penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan (BG) yang disampaikan
langsung oleh Ketua KPK, ada desahan “nada tegas” dan
mengernyitkan “ancaman perang” terhadap “tuduhan
korupsi” kepada calon Kapolri. Nada ini kemudian “diulang”
dalam kesempatan terpisah oleh AS agar Presiden Jokowi tidak melantik
BG dan menyampaikan isyarat tidak main-main dengan mengeluarkan
kata-kata “itu pesan dari KPK”.
Entah
bermaksud menilai pengucapan kata-kata dari Ketua KPK, nada garang
sebagai ciri khas dari Abraham Samad (AS) kemudian memantik reaksi
politik yang panjang. Dunia politik kemudian dihebohkan dan mulai
genderang perang terhadap pemberantasan korupsi.
Terlepas
dari gaya dan karakter dari Abrahama Samad, “kesan” yang
disampaikan oleh AS memancing perdebatan. Apakah karena “gaya
dan karakter” kemudian Bareskrim kemudian membalasnya dengan
cara penangkapan Bambang Widjojanto (BW) ? Hmm. Entahlah.
Berbeda
dengan pengungkapan kasus-kasus di KPK yang disampaikan oleh Johan
Budi, cara penyampaian “cuma sekedar informasi” terhadap
perkembangan kasus. Sekaligus “pertanggungjawaban” publik
oleh KPK. Datar, tenang, tidak meledak-ledak, adem dan sama sekali
jauh dari kesan “mengeluarkan ancaman perang.
Sementara
disudut lain, ketika penangkapan BW oleh Bareskrim, Kadiv Humas Mabes
Polri Irjen Pol Ronny F Sompie (Ronny) justru “menyindir”
penangkapan BW dengan mengatakan “Mabes telah memiliki 3 alat
bukti” sehingga bisa memastikan keterlibatan BW dalam
perkaranya. Kesan dari penggunakan kata “memiliki 3 alat bukti”
sekedar menyampaikan kepada KPK yang keukeuh” mengatakan BG
telah ditetapkan sebagai tersangka karena memiliki dua alat bukti.
Saya
belum bisa memastikan apakah “suasana” panas antara KPK
dan Mabes Polri disebabkan karena cara penyampaian dari AS dan Ronny
yang memperkeruh keadaan. Namun yang pasti, setelah penetapan
tersangka BG oleh KPK, corong mick KPK kemudian kembali ke Johan
Budi. Sedangkan Brigjen Pol Boy Rafli Amar (Boy) yang sudah menjadi
Kapolda Banten kembali ditarik ke Mabes Polri sebagai Juru bicara
Mabes Polri. Terlepas dari pernyataan Ditariknya bukan permanen, Boy
ikut menjadi juru bicara Polri.
Johan
Budi dikenal sebagai “juru bicara” yang handal. Sudah
melewati berbagai periode sulit di KPK. Mulai dari awal-awal
pendirian KPK, digoyang kasus “cicak buaya”, meladeni
berbagai manuver para koruptor yang menyerang KPK, hingga meladeni
berbagai issu miring di KPK (seperti kasus Antasari, issu istana
bermain dalam kasus Anas).
Johan Budi juga piawai “meladeni” daya serang dari parlemen, mampu berdebat teknis hukum (walaupun bukan berasal dari background hukum) di acara-acara seperti ILC-TV One. Argumentasinya runut, sistematis, tenang, tidak terpancing serangan lawan, mampu bertahan secara baik (defensif) bahkan mampu mengeluarkan “peluru” yang bisa memancing pihak lawan menjadi emosi.
Kata-kata
yang sering mematahkan lawan mudah dikenal ketika dia mengucapkan
“datanya yang harus kuat. Bukan suara” adalah teknik Johan
Budi memancing pihak lawan sambil mengucapkan tersenyum.
Bahkan
tokoh selevel Karni Ilyas kesulitan “membongkar”
pertahanan Johan Budi sehingga praktis Johan Budi “bisa
memainkan perannnya” dengan baik.
Boy
Amar juga tidak kalah jagonya. Menjadi jurubicara di Polda Metrojaya
membuat “gaung” Polda Metrojaya lebih gemerlap daripada
Mabes Polri. Boy kemudian ditarik ke Mabes Polri sehingga berbagai
tudingan miring kepolisian dengan “jernih” dijelaskan
dengan Boy dengan baik. Boy kemudian berhasil mengeluarkan Polri dari
berbagai tekanan. Boy kemudian diangkat menjadi Kapolda Banten.
Sehingga
tidak salah Johan Budi lebih dikenal daripada Komisioner KPK lainnya
dan Boy lebih dikenal dari Kapolri.
Dikembalikannya
Johan Budi dan ditariknya Boy dari Kapolda Banten (sementara)
tentu hasil dan pengakuan atas sumbangan keduanya dalam soal
pemberitaan. Keduanya dianggap “mampu” membawa persoalan
KPK dan Polri kembali kepada persoalan sebenarnya. Persoalan hukum.
Dengan
mengembalikan corong mick Johan Budi dan ditariknya Boy maka kita
akan melihat bagaimana cara “keduanya” membawa kemudi KPK
dan Polri sehingga bisa diterima publik.
Kita
berharap agar gelanggang hiruk pikuk mulai “adem”. Dengan
mengembalikan corong mick kepada Johan Budi dan Boy Rafli Amar
setidak-tidaknya bukanlah peristiwa yang tidak sederhana. Dan itu
menarik untuk kita ikuti.
Kedepan
sebaiknya penetapan tersangka di KPK “cukup” disampaikan oleh
Johan Budi. Tidak “perlu” para komisioner KPK yang mengumumkan.
Selain “menghindarkan” daya serang kepada Komisioner KPK, cara
ini lebih mudah diterima oleh publik.
Begitu
juga, jurubicara Mabes haruslah dicari orang yang mempunyai kemampuan
seperti Boy Amar. Jangan meremehkan “persoalan” kehumasan”.
Pengalaman buruk cara penyampaian dari Mabes dalam kasus penangkapan
BW memberikan pesan. Jurubicara adalah jabatan yang cukup
diperhitungkan. Tidak semua orang yang bisa memainkannya.
Kita
menunggu bagaimana keduanya “mengeluarkan” strateginya
masing-masing sehingga publik menjadi rasional menerima penjelasan.
Kita ingin melihat bagaimana keduanya “dipanggil” kembali menjadi
jurubicara dan paham pada konteks informasi yang disampaikan.
Mari
kita tunggu lakon selanjutnya.