Dunia
politik di Indonesia dilanda gonjang-ganjing. Penetapan sebagai
tersangka kepada Komjen Budi Gunawan sebagai Calon Kapolri oleh KPK
menimbulkan persoalan ketatanegaraan. DPR yang telah menyetujui
kemudian “mendesak” sekaligus mengancam agar melantik
calon Kapolri yang telah diusulkan oleh Presiden Jokowi. Ancaman
tidak main-main. Menggunakan hak interpelasi, bola ini bisa
menggelinding menjadi persoalan “impeachment”. Suara yang
sama disampaikan oleh PDI-P sebagai partai pengusung utama Jokowi
Sementara
Presiden Jokowi harus memperhitungkan dampak “dilantik”
atau tidaknya BG sebagai calon Kapolri.
Entah
mengeluarkan beban, facebook yang diakui sebagai milik Jokowi,
statusnya cukup serius. “Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening
Pangastuti..." segala sifat keras hati, picik, angkara murka,
hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar..
Sebagai
mitologi Jawa, sikap kepemimpinan Jokowi menarik untuk diperhatikan.
Sikap kepemimpinan Jokowi memang banyak menggunakan falsafah Jawa.
Sebuah teladan kepemimpinan yang sudah diterapkan di Solo.
Saya
harus membolak-balik catatan lama tentang kepemimpinan Jokowi.
Catatan ini sekaligus untuk meraba arah tafsir dan sikap yang akan
diambil Jokowi. Catatan ini kemudian dilengkapi cara “memimpin”
Jokowi sebagai sebagai Walikota Solo. Catatan ini kemudian diperkaya
dengan berbagai buku yang membicarakan falsafah jawa.
Ketika
status di Facebook Jokowi memuat kalimat Suro Diro
Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti..." segala sifat keras hati,
picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak,
lembut hati, dan sabar, maka
Jokowi ingin menyelesaikan persoalan “kerumitan”
tanpa ingin menang sendiri. Jokowi ingin menyelesaikannya tanpa ada
yang merasa dikalahkan.
Tarik
menarik antara tidak berpihak kepada KPK dan Polri membuat Jokowi
harus berhitung sangat hati-hati.
Tipologi
ini menggambarkan mitologi Jawa yang menganut prinsip “rukun”.
Rukun adalah kondisi adanya keseimbangan dan saling menghormati.
Jokowi
“memerankan” sikap
sopan santun. Menjaga emosi partai pendukung yang telah mengusungnya
baik dari Walikota, Gubernur maupun Presiden.
Jokowi
sadar apabila BG tidak dilantik dan terkesan “grasa-grusu”
akan menimbulkan persoalan di kalangan elite partai pendukung.
Namun
Jokowi juga hendak mengirimkan pesan kepada siapapun agar saling
menghormati dan “tepa selira”.
Sehingga diharapkan “apapun”
keputusan yang diambil Jokowi tidak akan terjadinya pertikaian yang
berlarut-larut.
Cara
ini mengingatkan kita semua bagaimana Jokowi menyelesaikan persoalan
PKL dan “memindahkannya”
tanpa adanya satu orangpun yang menjadi korban di Solo. Jokowi harus
menghadiri rapat hingga 50 kali lebih sehingga pedagang mau
“direlokasi”.
Begitu
juga ketika “mampir”
menjadi Gubernur DKI, Jokowi juga berhasil memindahkan
penduduk dari dam Pluit di Jakarta Utara. Penduduk yang tinggal di
Dam Pluit kemudian disubsidi di rusun yang telah disediakan. Lengkap
dengan berbagai fasilitas layak.
Proyek
dam Pluit berhasil dan mengembalikan fungsi dam. Kawasan ini kemudian
dikembalikan sebagai kawasan terbuka hijau.
Melihat
cara Jokowi “memindahkan”
PKL di Solo dan penduduk di Dam Pluit berangkat dari falsafah Jawa.
Jokowi tidak mau “grasa-grusu”
dan terus memastikan pemetaan persoalan hingga tidak salah langkah.
Jokowi
mengutamakan “rukun”. Ungkapan “rukun” sering
disampaikan dalam dunia pewayangan. “negara ingkang panjang
punjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi tata tenteram tur
rajaharja”. Negara yang terkenal, banyak dibicarakan orang, tinggi
marbabatnya, luhur budinya dan amat berwibawa.
Dalam
serat Negarakertagama Mpu Prapanca, mitologi “rukun”
adalah “masihi samasta bhuwana”. Berbuat dan mengasihi
sesama. Manifestasinya diwujudkan “memayu hayuning bawana”.
Harus menjaga ketentraman, kesejahteraaan dan keseimbangan dunia.
Mitologi
Jawa yang dianut Jokowi merupakan way of life yang menjadi
acuan dalam bertindak. Mitologi Jawa dapat juga ditafsirkan sebagai
pandangan dunia Jawa (Javanese world view) atau wawasan hidup
Jawa (Javanese outlook) (Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa).
Dalam
konsep filsafat Jawa mengenal konsep-konsep umum seperti (1)
manunggaling Kawula gusti, (2) tentang manusia, (3)
Perkembangan manusia dan (4) sikap hidup. Perwujudan kemudian dapat
dilihat dalam konsepsi seperti Falsafah metafisika, Tuhan sebagai
sangkan paraning dumadi, epistemologi, cara mendapatkan
kesadaran cita (hening), falsafah aksiologi, nilai etik dan
falsafah antropologi yaitu pola pikir kemanusiaan.
Konon
katanya, Jokowi belajar tentang “managemen alam”. Dan
“managemen alam” langsung belajar di Solo. Bahkan Jokowi
satu-satunya orang yang belajar bukan dari bangsawan Solo.
Sekali
lagi catatan ini sekedar melihat pandangan kepemimpinan Jokowi dalam
mitologi Jawa. Masih banyak catatan yang bisa ditambah untuk meraba
arah tafsir dan sikap yang diambil Jokowi.
Berbeda
dengan Soeharto yang membuat “istana” menjadi misteri,
memerlukan tafsiran khusus memahaminya, arah tafsir dan sikap Jokowi
lebih sederhana dan mudah dilihat dari perjalanan panjang Jokowi.
Sehingga kita bisa belajar cara kepemimpinan yang ditularkan dari
Jokowi.
Namun
saya tidak mewakili pikiran mitologi Jawa. Masih banyak misteri yang
belum tergali. Catatan ini sekedar melengkapi catatan saya tentang
kepemimpinan Jokowi.