31 Januari 2015

opini musri nauli : MITOLOGI JAWA DALAM KEPEMIMPINAN JOKOWI




Dunia politik di Indonesia dilanda gonjang-ganjing. Penetapan sebagai tersangka kepada Komjen Budi Gunawan sebagai Calon Kapolri oleh KPK menimbulkan persoalan ketatanegaraan. DPR yang telah menyetujui kemudian “mendesak” sekaligus mengancam agar melantik calon Kapolri yang telah diusulkan oleh Presiden Jokowi. Ancaman tidak main-main. Menggunakan hak interpelasi, bola ini bisa menggelinding menjadi persoalan “impeachment”. Suara yang sama disampaikan oleh PDI-P sebagai partai pengusung utama Jokowi

Sementara Presiden Jokowi harus memperhitungkan dampak “dilantik” atau tidaknya BG sebagai calon Kapolri.
Entah mengeluarkan beban, facebook yang diakui sebagai milik Jokowi, statusnya cukup serius. “Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti..." segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar..

Sebagai mitologi Jawa, sikap kepemimpinan Jokowi menarik untuk diperhatikan. Sikap kepemimpinan Jokowi memang banyak menggunakan falsafah Jawa. Sebuah teladan kepemimpinan yang sudah diterapkan di Solo.

Saya harus membolak-balik catatan lama tentang kepemimpinan Jokowi. Catatan ini sekaligus untuk meraba arah tafsir dan sikap yang akan diambil Jokowi. Catatan ini kemudian dilengkapi cara “memimpin” Jokowi sebagai sebagai Walikota Solo. Catatan ini kemudian diperkaya dengan berbagai buku yang membicarakan falsafah jawa.

Ketika status di Facebook Jokowi memuat kalimat Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti..." segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar, maka Jokowi ingin menyelesaikan persoalan “kerumitan” tanpa ingin menang sendiri. Jokowi ingin menyelesaikannya tanpa ada yang merasa dikalahkan.

Tarik menarik antara tidak berpihak kepada KPK dan Polri membuat Jokowi harus berhitung sangat hati-hati.

Tipologi ini menggambarkan mitologi Jawa yang menganut prinsip “rukun”. Rukun adalah kondisi adanya keseimbangan dan saling menghormati.

Jokowi “memerankan” sikap sopan santun. Menjaga emosi partai pendukung yang telah mengusungnya baik dari Walikota, Gubernur maupun Presiden.

Jokowi sadar apabila BG tidak dilantik dan terkesan “grasa-grusu” akan menimbulkan persoalan di kalangan elite partai pendukung.

Namun Jokowi juga hendak mengirimkan pesan kepada siapapun agar saling menghormati dan “tepa selira”. Sehingga diharapkan “apapun” keputusan yang diambil Jokowi tidak akan terjadinya pertikaian yang berlarut-larut.

Cara ini mengingatkan kita semua bagaimana Jokowi menyelesaikan persoalan PKL dan “memindahkannya” tanpa adanya satu orangpun yang menjadi korban di Solo. Jokowi harus menghadiri rapat hingga 50 kali lebih sehingga pedagang mau “direlokasi”.

Begitu juga ketika “mampir” menjadi Gubernur DKI, Jokowi juga berhasil memindahkan penduduk dari dam Pluit di Jakarta Utara. Penduduk yang tinggal di Dam Pluit kemudian disubsidi di rusun yang telah disediakan. Lengkap dengan berbagai fasilitas layak.

Proyek dam Pluit berhasil dan mengembalikan fungsi dam. Kawasan ini kemudian dikembalikan sebagai kawasan terbuka hijau.

Melihat cara Jokowi “memindahkan” PKL di Solo dan penduduk di Dam Pluit berangkat dari falsafah Jawa. Jokowi tidak mau “grasa-grusu” dan terus memastikan pemetaan persoalan hingga tidak salah langkah.

Jokowi mengutamakan “rukun”. Ungkapan “rukun” sering disampaikan dalam dunia pewayangan. “negara ingkang panjang punjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi tata tenteram tur rajaharja”. Negara yang terkenal, banyak dibicarakan orang, tinggi marbabatnya, luhur budinya dan amat berwibawa.

Dalam serat Negarakertagama Mpu Prapanca, mitologi “rukun” adalah “masihi samasta bhuwana”. Berbuat dan mengasihi sesama. Manifestasinya diwujudkan “memayu hayuning bawana”. Harus menjaga ketentraman, kesejahteraaan dan keseimbangan dunia.

Mitologi Jawa yang dianut Jokowi merupakan way of life yang menjadi acuan dalam bertindak. Mitologi Jawa dapat juga ditafsirkan sebagai pandangan dunia Jawa (Javanese world view) atau wawasan hidup Jawa (Javanese outlook) (Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa).

Dalam konsep filsafat Jawa mengenal konsep-konsep umum seperti (1) manunggaling Kawula gusti, (2) tentang manusia, (3) Perkembangan manusia dan (4) sikap hidup. Perwujudan kemudian dapat dilihat dalam konsepsi seperti Falsafah metafisika, Tuhan sebagai sangkan paraning dumadi, epistemologi, cara mendapatkan kesadaran cita (hening), falsafah aksiologi, nilai etik dan falsafah antropologi yaitu pola pikir kemanusiaan.

Konon katanya, Jokowi belajar tentang “managemen alam”. Dan “managemen alam” langsung belajar di Solo. Bahkan Jokowi satu-satunya orang yang belajar bukan dari bangsawan Solo.

Sekali lagi catatan ini sekedar melihat pandangan kepemimpinan Jokowi dalam mitologi Jawa. Masih banyak catatan yang bisa ditambah untuk meraba arah tafsir dan sikap yang diambil Jokowi.

Berbeda dengan Soeharto yang membuat “istana” menjadi misteri, memerlukan tafsiran khusus memahaminya, arah tafsir dan sikap Jokowi lebih sederhana dan mudah dilihat dari perjalanan panjang Jokowi. Sehingga kita bisa belajar cara kepemimpinan yang ditularkan dari Jokowi.

Namun saya tidak mewakili pikiran mitologi Jawa. Masih banyak misteri yang belum tergali. Catatan ini sekedar melengkapi catatan saya tentang kepemimpinan Jokowi.