17 Desember 2004

opini musri nauli : POLITISASI HUKUM DAN HUKUM BERPOLITIK


Ditahannya Gubernur Aceh dalam kasus Mark up pengadaan Helikopter dan kematian Munir merupakan dua contoh yang ingin penulis paparkan untuk kita diskusikan sebagai bagian dari pemahaman kita untuk melihat judul yang ditawarkan oleh penulis. 
Dalam berbagai peristiwa yang langsung bersentuhan dengan proses hukum ini, menarik untuk kita diskusikan sebagai wahana yang memperkaya pemahaman kita tentang Hukum. 

POLITISASI HUKUM DAN HUKUM BERPOLITIK. 

Judul ini juga diilhami dari Tajuk Rencana Kompas tanggal 9 Desember 2004 yang meninjau dari peristiwa ditahan-nya Gubernur Aceh. 

Kasus tuduhan korupsi yang dilakukan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh bukanlah isu baru. 

Namun perkara itu kembali menarik perhatian masyarakat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi memerintahkan menahan pejabat tertinggi di Aceh itu. Dalam tajuknya, kompas memaparkan pandangannya. Dalam kasus tersebut, Abdullah Puteh belumlah pasti bersalah dan harus dihukum. 

Kita tetap menghormati prinsip praduga tidak bersalah. Didalam Sistem Hukum Pidana, kita mengenal salah satu asas yaitu asas “PRADUGA TAK BERSALAH” (Presumption of innocence), sebagaimana diatur dalam Penjelasan atas UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. 

Pada asasnya diterangkan “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan dimuka persidangan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap”. 

Kompas ingin menegaskan kasus tuduhan korupsi itu jangan sekedar dijadikan komoditas politik. Tegakkan hukum seperti apa adanya dan terapkan secara fair dan adil. 

Prinsip praduga tidak bersalah tentunya dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada tertuduh untuk menjelaskan duduk perkara dari persoalan yang sedang ia hadapi. 

Tugas dari penuntut umum untuk menunjukkan bukti-bukti hukum yang kuat bahwa pihak tertuduh melanggar hukum. 

Dari fakta-fakta yang muncul dipengadilan itulah nanti para hakim menentukan sikapnya. Melalui sistem peraddilan fair tadi, kita mengharapkan dihasilkan sebuah keputusan yang seadil-adilnya dari kaus ini. 

Kalau memang tidak ditemukan bukti yang meyakinkan, maka bebaskan dan rehabilitasilah nama baik tertuduh. 

Sebaliknya, apabila ditemukan fakta yang kuat, maka tertuduh harus menerima keputusan hakim itu. Kalau merasa tidak puas, maka yang bisa dilakukan adalah mengajukan banding atau juga kasasi. 

Kita sangat mengharapkan adanya sebuah sistem hukum yang benar, sistem hukum yang adil. Dengan sistem yang berjalan baik, semua kita akan selalu bisa belajar dari orang lain. 

Sistem hukum yang diterapkan secara baik juga akan menciptakan keadilan dan rasa adil. Selanjutnya dengan hukum yang diterapkan secara baik, kita mengharapkan adanya tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang lebih baik. D

alam tajuk rencana yang dipaparkan oleh Kompas tersebut ada dua pemikiran yang menarik untuk kita diskusikan. Pertama bahwa upaya Pemerintahan SBY dengan kabinet-nya mengusut tuntas kasus-kasus Korupsi haruslah diberi ruang apresiasi yang layak. Selain sebagai bentuk komiten politik dan upaya serius dalam pemberantasan Korupsi, upaya yang dilakukan oleh SBY ini juga merupakan jawaban kongkrit dari problema dan harapan nyata dari masyarakat dalam memerangai korupsi. 

Namun disisi lain, upaya ini juga memberikan proses peradilan yang fair kepada Gubernur Puteh Selain daripada ditahan-nya Gubernur Puteh dalam dugaan mark up pengadaan helicopter, kematian Munir juga menyisakan pertanyaan mendesak untuk kita bahas. Kematian tokoh HAM ini (lihat juga tulisan penulis, KEMATIAN MUNIR, KEMATIAN HAM ?, Jambi Ekspress, 9 Desember 2004) juga menjawab asumsi yang penulis tawarkan. 

Kematian Munir-pun sebagai peristiwa yang pembuktian hukum-nya haruslah dijawab tuntas, ternyata kemudian dipolitisir dan berkembang menjadi wacana arsenik, locus dictie terjadinya tindak pidana, masalah otopsi, insiden internasional dan berbagai urusan yang jauh dari proses hukum untuk membuktiannya. 

Dalam deskripsi yang ditawarkan oleh Kompas tersebut, ada pernyataan yang harus kita beri ruang untuk kita apresiasikan. Kompas menawarkan wacana bahwa “Kita sangat mengharapkan adanya sebuah sistem hukum yang benar, sistem hukum yang adil. 

Dengan sistem yang berjalan baik, semua kita akan selalu bisa belajar dari orang lain. 

Sistem hukum yang diterapkan secara baik juga akan menciptakan keadilan dan rasa adil”. Dari paparan inilah kita mencoba membedah tawaran pemikiran Kompas ini. Ada pernyataan tentang sistem hukum dan sistem hukum yang adil. Indonesia adalah negara hukum. 

Sebagai pernyataan politik dan ikrar komitmen pendiri Republik (Founding Father) pernyataan tersebut tidak usah diragukan. Bahkan didalam Penjelasan Undang-undang Dasar 1945, telah tegas dijelaskan. 

Sejak Indonesia merdeka, pemerintah RI telah mengeluarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum. Peraturan perundang-undangan diantaranya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946. 

Dalam UU No. 1 Tahun 1946 pemerintah menetapkan bahwa untuk hukum pidana diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 yang juga berarti bahwa untuk hukum Pidana berlaku Wetboek van Strafrecht voor Nederland Indie yang belum diubah oleh tentara Pendudukan Jepang. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 merupakan perubahan dan tambahan dari Wetboek Van strafrecht diterjemahkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). 

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 memberikan kekuatan untuk menyesuaikan materi KUHP yaitu ketentuan yang termuat dalam pasal V yang menegaskan bahwa “Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku.

” Berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 didasarkan pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”. 

Lebih lanjut dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1946 menetapkan bahwa peraturan-peraturan Hukum Pidana yang sekarang berlaku ialah peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942. 

Selanjutnya hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942 dan merupakan peninggalan pemerintah Hindia Belanda masih dinyatakan berlaku. 

 Dengan demikian maka dengan berlakunya Hukum Pidana tersebut mengakibatkan secara hukum menerapkan sistem hukum Belanda yakni Eropa Kontinental (Civl Law System). Bandingkan dengan sistem hukum diberbagai negara lain. Inggris dan Negara Jajahannya temasuk sistem hukum Anglo Saxon (Common Law System), Belanda, Jerman yang termasuk Eropa Kontinental (Civil Law System), Rusia dan beberapa Negara yang beraliran sosialis (Socialisst Law System), Beberapa negara Timur Tengah yang menganut sistem hukum Islam (Islamic Law System), dan negara ketiga di Benua Afrika yang menganut sistem Hukum Adat (Customary Law System). 

Namun menjadi persoalan ketika di satu sisi komitmen sebagai negara hukum tidak mewujudkan dalam satu sistem hukum. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Indonesia tidaklah secara tegas menganut sistem hukum yang diperlakukannya. Apabila kita melihat sejarah Indonesia yang pernah dijajah Belanda hanpir 350 tahun lamnya, Belanda masih meninggalkan produk-produk hukum yang secara yuridis masih berlaku. Baik itu di lapangan Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Acara Pidana, Perdata m,aupun berbagai peraturan yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. 

Apabila melihat secara produk hukum tersebut maka Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental mengakibatkan Indonesia dapatlah dikatakan juga menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil Law System). 

Namun ketidakkonsistenan ini terjadi ketika Indonesia juga mengadopsi pelaksanaan hukum Kasus (Common Law system) sebagaimana terjadi di Negara –negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon. 

Ini dapat kita lihat di dalam Undang-undang No 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup yang menawarkan proses penyelesaian mediasi dan arbitrasi. 

Juga mengatur ganti rugi. Ketidakkonsistensinya Indonesia dalam merumuskan sistem hukum juga terjadi pada pengakuan adanya hukum agama terutama Hukum Islam (Islam Law) yang termaktub dalam pelaksanaan Peradilan Agama. Juga adanya pengakuan yang meletakkan hukum adat (Customary Law System) dalam merumuskan sistem hukum Nasional. 

Dari paparan singkat inilah, penulis hanyalah memaparkan bahwa walaupun Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental, namun dalam dimensi yang lain juga mengadopsi sistem hukum yang dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon, pengakuan hukum agama terutama Hukum Islam dan pengakuan untuk meletakkan hukum adat dalam merumuskan sistem hukum nasional. 

Kembali pembahasan tentang sistem peradilan yang fair. 

Dalam suatu negara hukum (rechtstaat), seperti negara Indonesia maka hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan merupakan salah satu sendi dasar yang pokok dan utama. 

Ketika seorang hakim sedang menangani perkara maka diharapkan dapat bertindak arif dan bijaksana, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran material, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan kepada perangkat hukum positif, melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan praktek, sehingga semuanya itu bermuara kepada putusan yang akan dijatuhkannya dapat dipertanggungjawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan negara, diri sendiri serta demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Karena mengemban tugas sedemikian berat maka untuk itu harus dijamin kemandiriannya guna menegakkan sendi keadilan sebagaimana pemeo, FIAT JUSTITIA RUAT COELUM (Walaupun langit runtuh keadilan harus ditegakkan). 

Setelah kita mengetahui sekilas mengenai Hakim, maka Hakim berkepentingan terhadap surat dakwaan adalah sebagai dasar untuk pemeriksaan di pengadilan dan dijadikan pedoman dari putusan yang akan dijatuhkannya tentang terbukti/tidaknya kesalahan terdakwa, terutama sekali megenai segala sesuatu yang sudah dimuat dalam surat dakwaan. 

Atau dengan kata lain hakim wajib memeriksan perkara pidana berdasarkan apa yang termuat dalam surat dakwaan dan selanjutnya memutus perkara sesuai dan berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan yang didasarkan pada surat dakwaan jaksa. 

Didalam membuat surat dakwaan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka kepentingan Jaksa terhadap Surat dakwaan adalah sebagai dasar untuk melakukan penuntutan perkara ke pengadilan dan kemudian untuk dasar pembuktian dan pembahasan yuridis dalam requisitor-nya serta selanjutnya dasar untuk melakukan upaya hukum. 

Terhadap kepentingan surat dakwaan sebagai landasan hukum dalam pembelaan dan menyiapkan bukti-bukti kebalikan terhadap apa yang telah dituduhkan terhadapnya. 

Dalam proses pembuktian peradilan pidana, Hakim haruslah menjatuhkan pidana kepada seseorang apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (pasal 183 KUHAP). Alat bukti yang sah yang dimaksud tentunya Alat Bukti Menurut Pasal 184 KUHAP . 

Mengapa penulis juga memaparkan tentang alat bukti berdasarkan ketentuan pasal 184 KUHAP. Dengan memaparkan alat bukti berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur didalam KUHAP, maka para pihak baik itu Jaksa Penuntut Umum, Terdakwa maupun Penasehat Hukum dan Hakim dapat melihat fakta-fakta bersidangan yang secara hukum dapat dipertanggungjawabkan dengan merujuk alat bukti berdasarkan ketentuan KUHAP tersebut. Fakta-fakta persidangan adalah fakta-fakta berupa keterangan saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti yang diajukan di sidang pengadilan. 

Yang dimaksudkan dengan keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan di muka persidangan. Harus diperhatikan apakah keterangan tersebut sama dengan keterangan yang diberikan di muka pejabat yang berwenang. 

Keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan benar-benar mengalami, melihat dan mendengar sendiri. Keterangan itu adalah keterangan yang menjelaskan tentang peristiwa pidana. 

Baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan keterangan saksi. 

Sedangkan Keterangan yang didapat dari orang lain tidak dapat menjadi alat bukti yang sah (Testimonium de audito). Satu orang yang menjadi saksi tidaklah dapat dijadikan alat bukti bagi majelis hakim untuk memutuskan tentang kebenaran peristiwa itu terjadi. Hakim haruslah mendengarkan mininal 2 (dua) orang saksi (Unus Testis Nullus Testis) sebagaimana diatur dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP . Setelah keterangan saksi, maka berdasarkan pasal 188 KUHAP hakim dapat melihat petunjuk sebagai alat bukti sebagaimana ditentukan 184. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan pelakunya. Penilain atas kekuatan dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Keterangan terdakwa adalah apa terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

 Pembuktian keterlibatan Abdullah Puteh dalam kasus pengadaan Helicopter haruslah tunduk dalam proses hukum dalam sistem hukum pidana. Pembuktiannya haruslah berdasarkan alat bukti yang sah berdasarkan ketentuan dalam KUHAP dan berbagai peraturan lainnya dalam pembuktian. 

Sedangkan kematian Munir, pejuang HAM haruslah dapat dibuktikan secara hukum. Pelaku, motif, kapan dan dimana adalah pertanyaan yang secara hukum haruslah dijawab sehingga kematiannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. 

Dari paparan yang telah penulis, sampaikan, maka sudah seharusnya proses peradilan terhadap Abdullah Puteh dalam kasus mark up pengadaan helicopter dan kematian Munir diberi ruang untuk pembuktiannya. 
Sekali lagi mengutip Tajuk Rencana Kompas, Kompas ingin menegaskan kasus tuduhan korupsi itu jangan sekedar dijadikan komoditas politik. Tegakkan hukum seperti apa adanya dan terapkan secara fair dan adil. 

Prinsip praduga tidak bersalah tentunya dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada tertuduh untuk menjelaskan duduk perkara dari persoalan yang sedang ia hadapi. Tugas dari penuntut umum untuk menunjukkan bukti-bukti hukum yang kuat bahwa pihak tertuduh melanggar hukum. 

Dari fakta-fakta yang muncul dipengadilan itulah nanti para hakim menentukan sikapnya. 

Melalui sistem peraddilan fair tadi, kita mengharapkan dihasilkan sebuah keputusan yang seadil-adilnya dari kaus ini. 

Kalau memang tidak ditemukan bukti yang meyakinkan, maka bebaskan dan rehabilitasilah nama baik tertuduh. 

Sebaliknya, apabila ditemukan fakta yang kuat, maka tertuduh harus menerima keputusan hakim itu. Kalau merasa tidak puas, maka yang bisa dilakukan adalah mengajukan banding atau juga kasasi. 

Dua contoh ini sengaja penulis sampaikan untuk menjadi wacana memahami judul yang penulis tawarkan. Dalam grand line (kerangka pokok) judul ini ditawarkan menjadi pemikiran kita bersama adalah, bahwa dimensi hukum janganlah menjadi wilayah politik. 

Atau dengan bahasa lain janganlah dimensi hukum menjadi ranah politik. Kalaulah harapan ini tidak diberi disikapi secara serius, maka ranah hukum dijadikan komoditas politik yang tergantung “selera” penguasa dan alat bargaining politik penguasa Republik. 

Bahkan ada upaya sistematis memberikan “lips servise” kepada publik. Semoga harapan ini senantiasa dikumandangkan.