27 Desember 2004

opini musri nauli : KERINCI DALAM DISKUSI OTONOMI DAN KEKERASAN



Jambi Ekspres, 27 Desember 2004 


 Usai sudah pertanggungjawaban akhir Bupati Kerinci. Anggota DPRD Kabupaten Kerinci sepakat untuk menerima pertanggungjawaban tersebut. Tanggal 27 Desember 2003 menjadi saksi bagaimana LPJ Bupati tersebut kemudian secara aklamasi diterima dan secara hukum Bupati telah melaksanakan fungsinya. 

Secara politik LPJ ini merupakan barometer bahwa Bupati tersebut telah memberikan pertanggungjawaban. Pemilihan Bupati Kerinci merupakan Pemilihan terakhir dari Kepala Daerah Bupati/Walikota Se-Propinsi dalam masa reformasi. Lantas bagaimana dengan pemilihan Bupati Periode selanjutnya. Apakah Bupati Fauzi Siin akan terpilih kedua kalinya atau mengikuti Bupati Bungo Sofyan Ali yang diterima LPJ-nya namun tidak terpilih kedua kalinya. Hitung-hitungan matematis tersebut bukanlah menjadi sorotan penulis. Karena hitung-hitungan tersebut merupakan kalkulasi politisi di DPRD Kerinci. 

Tapi yang menjadi sorotan penulis adalah pada saat yang bersamaan hari Rapat Paripurna DPRD LPJ Bupati tersebut, adanya sebagian massa yang menolak kepemimpinan Bupati (Selanjutnya massa itu disebut massa kontra) dan adanya massa yang menerima kepemimpinan Bupati (Selanjutnya massa itu disebut massa pro). Terlepas dari kepentingan politik apapun, nuansa demokrasi harusnya diberi ruang untuk mengekspresikan bahwa adanya masyarakat yang menerima atau menolak kepemimpinan Bupati Kerinci tersebut. Sesungguhnya kekerasan di Indonesia merupakan bentuk ekspresi dari pendidikan politic yang salah. Dalam masa pemerintahan Belanda, perbedaan pendapat antara pemerintahan penjajah dengan pejuang Indonesia dalam merebut kemerdekaan, lebih banyak diselesaikan dengan peperangan. Perang Padri, Perang Diponegoro dan perang gerilya lainnya diseluruh Indonesia merupakan bentuk perlawanan dari bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. 

Belanda dengan kekuatan-nya kemudian menumpas habis dan taktik becah belah dan kuasai lebih dominan (devide et impera). Dalam tahun 1900-an dimana strategi perjuangan bangsa Indonesia lebih menitikberatkan kepada perjuangan politik dan pendidikan terhadap pejuang Indonesia kemudian diperlakukan pasal-pasal yang tercantum dalam KUHP (Haatzakai Artikelen). 

 Tokoh-tokoh seperti Soekarno yang dipenjara karena mendirikan Partai melakukan perlawanan yang didalam persidangan membuat judul “INDONESIA MENGGUGAT”. 

 Pada masa pemerintahan Soekarno, Soekarno yang telah merasakan pedihnya dihukum karena perbedaan pendapat dengan penguasa, justru menambah hukum formal Indonesia dengan melahirkan UU No. 5 dan UU No. 11 Tahun 1961. 

Undang-undang ini memang berdampak luar biasa baik ditinjau dari segi Hukum Tata Negara, Hak asasi Manusia. UU memberikan kesempatan kepada pihak keamanan untuk menahan seseorang tanpa proses peradilan selama 1 tahun. 

Undang-undang ini sangat ampuh karena memberikan effek jera yang luar biasa. Sahabat Politik-nya Soekarno seperti Syahrir merasakan akibat UU tersebut. Koes Plus yang hanya seniman dan dilambangkan Beatles Indonesia yang merupakan sebagai antek-antek barat pernah merasakan penjara Pada pemerintahan Soeharto, selain menggunakan pasal-pasal yang telah diatur didalam KUHP, UU No. 5 dan UU No. 11 Tahun 1961, juga mengeluarkan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang melarang ajaran Komunisme dan sejenisnya. 

Selain juga memberikan stigma kepada para pengkritiknya. Stigma seperti organisasi terlarang, organisasi tanpa bentuk, antek komunisme, anti Pancasila, anti Pembangunan, mengganggu stabilitas merupakan stigma yang diberikan. 

Tokoh-tokoh nasional yang tergabung dalam Petisi 50, Bintang Pamungkas, Yeni Rosadamanty, Budiman Soejatmiko adalah beberapa korban yang berbeda pendapat dengan Soeharto. 

Salah seorang korban, Muchtar Pakpahan didalam Persidangan di Medan memberikan judul Pembelaannya ‘RAKYAT MENGGUGAT’. 

 Namun setelah Soeharti di-lengser keprabon-kan oleh mahasiswa Mei 1998, pada pemerintahan Habibie hanya mempunyai prestasi menghapuskan UU No. 5 dan UU No. 11 Tahun 1961. sementara ketentuan pasal-pasal KUHP sama sekali tidak disentuh. 

 Abdurrahman Wahid hanya membuka wacana tentang TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 dan sampai dilengserkan Tap tersebut masih berlaku. 

Namun pada Pemerintahan Pasca Gusdur, Megawati berusaha kembali menggunakan pasal-pasal yang diatur didalam KUHP sebagai bentuk senjata dalam menghadapi para pengkritiknya. 

Mahasiswa yang lantang meneriakkan tuntutan turunkan BBM dipenjara dengan menggunakan pasal-pasal Hatzakaai Artikelen. Pasal yang sama dikenakan kepada Bapaknya Soekarno. 

Dari seluruh ingatan sejarah yang telah diuraikan, benang merah dari perjalanan sejarah Indonesia, pada Pemerintah Soeharto, dalam menyelesaikan perbedaan pendapat lebih suka dengan menggunakan cara-cara kekerasan (terror by state). Fungsi militer dalam menghadapi musuh negara yang mengancam kedaulatan negara dikembangkan dan lebih variatif untuk berhadapan dengan rakyat. 

Maka proses menjadi Kepala Daerah dengan alasan keamanan lebih ditentukan kepada kepentingan militer. 

Hampir praktis kepala Daerah dipegang oleh militer. Fungsi Intelijen lebih dimaknai kepada kepentingan “mata-mata” terhadap kegiatan rakyat. Izin dan screening lebih dominan. 

Kampus-kampus digeledah, rapat dibubarkan dan organisasi dilarang berdiri. Hampir praktis seluruh kendali ditangan Soeharto. Sikap monoloyalitas lebih diutamakan. 

Maka seluruh sector kehidupan praktis tunggal. Pemuda, buruh, tani, perempuan, ulama, berwadah di organisasi tunggal. Cara-cara kekerasan ini dapat kita lihat seperti tragedy Malari (Petaka 5 Januari 1974), Kedung Ombo, Tanjung Priok, Kuda Tuli (Kerusuhan 27 Juli 1996), Tim-tim dan sebagainya. 

Namun dalam masa reformasi, waktu dimana seluruh kesalahan kolektif Bangsa ini harus diperbaiki dan kembali merumuskan identitas berbangsa-bernegara, cara-cara menyelesaikan perbedaan pendapat masih menggunakan cara-cara barbar dan tidak beradab. 

Masyarakat yang kritis dengan menyuarakan perbedaan pendapat dalam kepemimpinan Bupati justru dibenturkan dengan “katanya” masyarakat yang mendukung kepemimpinan. 

Apabila pada Pemerintahan Soeharto, cara-cara kekerasan dilakukan oleh negara dengan alat-alat kekuasaanya, maka pada pemerintahan sekarang perbedaan pendapat dengan rakyat justru dibenturkan dengan rakyat itu sendiri. 

Maka rakyat “dimobilisasi” untuk mendukung kepentingan pemerintahan yang berkuasa dan menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. 

Rakyat tidak diberi pilihan dan pendidikan politik mengapa harus mendukung atau mengapa rakyat harus menolak kepemimpinan Kepala Daerah. Apabila makna ini telah menjadi bergeser bahwa massa kontra merupakan lawan yang harus dihabisi maka sesungguhnya nilai-nilai demokrasi ini telah mati. Sungguh ironis dalam alam demokrasi ini. 

Dan penulis mengucapkan selamat berduka cita atas matinya demokrasi di Kerinci. Catatan ini sengaja penulis sampaikan sebagai bahan diskusi kita. Apakah makna otonomi telah bergeser dan menyelesaikan perbedaan pendapat dengan cara-cara kekerasan. 

Ataukah case Kerinci merupakan bentuk dari seluruh kegagalan kita membangun pendidikan politik, memaknai otonomi dari sudut kepentingan an sich dan kepentingan jangka pendek. 

Terlalu dini asumsi-asumsi ini penulis tawarkan. 

Namun yang pasti suara rakyat tidak dapat dibendung dan sejarah mencatat menyatakan bahwa suara rakyat tetap bergema. 

LEX POPULIS LEX DEI. SUARA RAKYAT ADALAH SUARA TUHAN