11 Februari 2004

opini musri nauli : Politisi Busuk dan Busuknya politisi kita




Jambi Ekspress, 11 Februari 2004 Dunia politik Indonesia memasuki babak baru. Sebelumnya publik dengan terbengong-bengong melihat “partisipasi” rakyat memasuki Pemilu dalam seleksi administrasi partai baik di Depkeh HAM dan KPU, Partai-partai tengah mempersiapkan jagonya untuk memasuki Pemilu 2004, penyusunan nomor urut Caleg, media massa mengabarkan kepada publik suasana persiapan bahan-bahan yang diperlukan untuk caleg baik itu di Pengadilan Negeri, Rumah sakit dan berbagai instansi Pemerintah, Pada saat yang bersamaan, konsentrasi nasional di”hebohkan” aktivis yang masuk ke partai. Tokoh-tokoh yang kritis ternyata masuk partai yang selama ini mereka kritisi. 

Di Jambi, pentas politik daerah issu ini menjadi tema yang cukup menarik untuk didiskusikan. Media massa selain menampilkan profile partai Peserta Pemilu juga menampilkan sisi lain dari aktivis yang menjadi caleg dari partai-partai. 

Ketika Yun Ilman, Ilki Repelita, Joni IM, Sri Vidya Wetty, Doni Pasaribu dan lain-lain masuk kedalam Partai Politik, reaksi publik berbeda dalam menyikapi issu ini. 

Daya serang terhadap Yun Ilman, Ilki Repelita dan Joni IM lebih kuat dibandingkan dengan yang lainnya. 

Yun Ilman cs masuk kedalam partai Golkar yang sebagian kalangan pro reformasi dianggap bagian dari pilar GSM (Golkar – Soeharto – Militer) orde baru. 

Perdebatan apakah Yun Ilman Cs diminta Golkar atau menawari sebagaimana dimuat Harian Independent tanggal 15 Januari 2004 tidak menjadi persoalan penting. 

Yang pasti Yun Ilman telah menjadi bagian dari Partai Golkar yang ditandai dengan “nomor jadi” DPRD Provinsi dari Kerinci. Daya serang ini tidak sekuat yang dialami oleh Sri Vidya Wetty dari PKB ataupun Doni Pasaribu yang membidani partai baru “PIB”. 

Belum selesai pembahasan tentang aktivis dan partai politik, publik kembali “dihangatkan” dengan issue “Politisi Busuk”. Sebagai issue politik, issu ini kemudian menggelinding seperti bola salju. 

Para politisi kemudian mencium bajunya untuk mengetahui apakah memakai baju busuk atau tidak. Politisi local mengambil sikap yang berbeda. Mereka yang “seakan-akan” bagian dari Orde Baru (sebuah istilah identitas yang tidak pernah dirumuskan secara politik), berteriak kencang dan mempertanyakan apa indicator dan criteria orang-orang yang termasuk kedalam “politisi busuk”. 

Sedangkan orang-orang yang ikut dalam proses penjatuhan Soeharto merasa paling benar dan tidak termasuk kedalam criteria yang diteriakkan oleh aktivis. Issue politisi busuk sebenarnya merupakan bentuk perlawanan rakyat yang tergabung dalam komunitas kelas menengah yang melihat proses reformasi di Indonesia macet kalaulah tidak dikatakan jalan ditempat. 

Proses reformasi pasca jatuhnya Soeharto hanyalah menghasilkan prestasi “tersingkir-nya” secara politik Soeharto dan mengembalikan hakikat militer. Polisi berhasil di-sipil-kan. 

Tentara kemudian belajar secara professional untuk mengemban tugas sebagai penjaga pertahanan negara. Sedangkan prestasi lain dalam proses reformasi tidak membuahkan yang diharapkan. Ekonomi tidak beranjak naik. 

 Rakyat, yang jumlah hidup digaris miskin 25 juta orang, 40 juta orang yang tidak mendapat pekerjaan, tingkat ekonomi yang masih di bawah 5%. Sementara itu, 2 juta rakyat ditampung dan hidup dalam pengungsian, kerusuhan daerah Aceh, Maluku, dan berbagai daerah lainnya melengkapi bahwa persoalan rakyat masih menyisakan PR bagi kita bersama. 

Angka jeblok ini kemudian diperparah dengan ketidakseriusan dalam memberantas kasus yang bernuansa KKN, pelanggaran HAM dan kasus-kasus yang melibatkan tokoh-tokoh penting. Jaksa Agung sebagai pilar terdepan dalam memberantas korupsi ternyata masih bertugas walaupun nyata-nyata tidak melaporkan kekayaannya kepada KPKPN. 

Menteri Agama mempunyai masalah dalam urusan “harta karun” di Batutulis dan dalam pengelolaan haji. Para menteri sibuk membangun koalisi dalam menghadapi Pemilu dengan mempersiapkan diri sebagai calon Presiden. Mahasiswa kritis yang meneriakkan BBM diganjar penjara. 

Pers bebas dipukul dengan pola-pola kekerasan. Kasus-kasus 27 Juli tidak memberikan jawaban siapa aktor intelektual yang berada dibelakang aksi penyerbuan kantor PDI-P. 

Kasus Tanjung Priok dipeti-eskan Pada Pemilu tahun 1999, Pemilu yang paling demokratis dalam sejarah bangsa Indonesia, ingatan kolektif bangsa Indonesia tidak mudah dilupakan. 

Pemilu yang demokratis tersebut ternyata dinodai ketika partai pemenang Pemilu ternyata tidak berhasil menguasai senayan dan hanya menghasilkan wakil Presiden. Ingatan kolektif ini kemudian memberikan catatan jelek kepada pendidikan politik ditengah rakyat dan kemudian Pemilu dianggap tidak memberikan jawaban yang diharapkan. 

Abdurrahman Wahid yang menjadi Presiden kemudian “diturunkan” ditengah jalan dan Megawati mengambil alih Presiden hingga sekarang. Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR yang tersangkut dalam Perkara “Buloggate” sampai sekarang tidak ditahan. 

Lantas apa jawaban sementara dari persiapan Pemilu 2004 ini. Ketakutan penulis terhadap persiapan menghadapi Pemilu sudah didepan mata. Partai-partai yang kalah dalam Pemilu 1999 “tukar baju” memasuki Pemilu 2004. Anggota Parlemen yang mempunyai cacat moral dalam periode transisi ini berjumplitan membangun partai baru atau pindah partai lain. 

Motivasi membangun partai ternyata hanyalah merebut kekuasaan. Dogma politik yang masih mencengkram dalam pikiran politisi adalah bahwa berpartai hanya berorientasi kekuasaan. 

Maka rakyat dimobilisasi untuk mendukung partai, menawarkan program, mengumpulkan di tengah lapangan dimasa kampanye, memunculkan artis-artis yang diharapkan akan mengambil suara (vote getter), membagi-bagi door prize, kaos, bendera dan mengibarkan umbul-umbul paling tinggi dan paling besar. 

Nah, ketika konsentrasi publik mengikuti proses demokrasi di Indonesia ini secara jemu, issue politisi busuk setidak-tidaknya menghentak jagad belantara politik di Indonesia. 

Selain sebagai ingatan kolektif bangsa Indonesia terhadap kejamnya rezim otoriter pemerintahan Soeharto, counter terhadap bangkitnya neo-orde baru dalam issue bangkitnya Soeharto, issue ini setidak-tidaknya mengingatkan perjalanan proses reformasi di Indonesia. Issue yang menggelinding secara nasional kemudian didaerah secara cerdas dirumuskan. 

Rumusan kongkrit yang berhasil dicanangkan dan menjadi agenda politik secara nasional terhadap politisi busuk adalah terlibat kasus KKN, Pelanggaran HAM, perusak lingkungan dan terlibat dalam kekerasan sexual. 

Criteria ini setidak-tidaknya memberikan pendidikan politik kepada rakyat bahwa Pemilu 2004 tidak memilih politisi busuk tersebut. Ketika publik mendesak dan meminta menyebutkan nama-nama politisi yang termasuk kedalam criteria itu, kesulitan mulai menghadang. 

Selain akan menimbulkan persoalan hukum dengan pasal-pasal karet seperti pasal-pasal pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan, data-data mendukung nama-nama yang termasuk kedalam politisi busuk juga sulit didapatkan. 

Issue Politisi busuk sekali lagi menyentak perhatian publik dimana issue politik selama ini hanyalah dikemas oleh tokoh-tokoh yang selama ini aktif dan menguasai informasi politik dari gelanggang partainya. 

Partai politik ternyata gagal mengemban amanat reformasi dan sibuk dengan persoalan internal partai. Partai-partai sibuk memenuhi pundi-pundinya menghadapi pemilu 2004. Partai sibuk mempersolek diri dan membangun citra sebagai pengemban amanat rakyat. Pertarungan partai ditandai dengan Pemilihan Presiden tahun 1999 dan penggulingan Gusdur dua tahun kemudian. 

Konsentrasi partaipun tersita dengan persoalan issu anti Megawati. Peran partaipun ternyata mempunyai raport merah sehingga ketika menghadapi Pemilu tahun 2004, selain tidak membangun koalisi strategis menghadang laju kebangkitan neo-orde baru, partai-partai tidak mendapat dukungan politik dari rakyat. 

Nama-nama yang beredar menjadi kandidate Presiden sama sekali tidak dilirik rakyat. Peran negara dalam menata bangsa Indonesia tidak digunakan secara effektif sehingga hampir praktis konsentrasi pemimpin bangsa Indonesia sama sekali tidak memperhatikan persoalan yang dihadapi sehari-hari. 

Bencana yang terjadi di berbagai pelosok negeri ini sekali lagi mencatat bahwa pemimpin negara berjarak dari rakyatnya. 

Dan ketika issue politisi busuk ini menghiasi media massa, maka menurut penulis selain mengingatkan akan kiprah partai politik dalam tanggungjawab politik di Indonesia, issue ini sekaligus identitas “kelakuan” politisi di Indonesia. 

Busuknya politisi di Indonesia dapat tergambar dengan sikapnya yang berjarak dengan rakyat. Walaupun Pemilu 1999 merupakan Pemilu yang demokratis namun tidak menghasilkan anggota parlemen yang diharapkan dan kelakuan anggota parlemen pada periode ini sangatlah menonjol. 

Anggota parlemen sambil membleided anggaran, juga mengotak-atik UU yang menguntungkan kepentingannya. Rekomendasi berbagai pihak agar kasus-kasus seperti Semanggi I, II dan diseret dalam Pengadilan HAM menguap dan hanya merekomendasikan Pengadilan biasa. 

Aksi anggota parlemen ini juga ditingkah dengan sikap-nya yang berjarak dengan rakyat dalam berkelakuan sehari-hari. Mulai dari pakaian yang necis, makanan yang mahal, liburan di berbagai negara sampai lapangan DPR yang mendadak seperti show room mobil terbesar didunia. 

Sementara itu didaerah, issu sentralisasi kemudian berhasil diperjuangkan dengan desentralisasi yang ditandai dengan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999. Daerah mempunyai kewenangan penuh didalam menata pemerintahan-nya sendiri dan berhak menggali sumber dana. 

Maka daerah berlomba-lomba memenuhi kas daerah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Issu PAD menjadi issu yang paling pokok dibandingkan dengan issu “good governement” atau “clean government”. 

Daerah kemudian berkembang secara fisik. Jalan-jalan, gedung-gedung, dan berbagai sarana fisik berkembang. Daerah menjadi terbuka dan secara fisik perubahan paradigma sentralisasi dan desentralisasi dirasakan oleh rakyat. 

Namun disisi lain, wewenang daerah ini tidak diimbangi dengan sikap dan perilaku politisi anggota Parlemen didaerah dalam memaknai otonomi. LPJ, Pemilihan Kepala Daerah menjadi aksi acrobat dari anggota parlemen. Suara-suara rakyat kalah nyaring dengan sikap aklamasi anggota Parlemen. 

Praktis suara-suara yang diteriakkan hanyalah menjadi hiasan media massa tanpa makna. Maka menurut penulis issue politik “politisi busuk” adalah issue sebagai identitas pemisah dari “kelakuan” pada masa orde baru yang mempunyai indicator menolak politisi yang terlibat KKN, pelanggaran HAM, perusak lingkungan dan terlibat kejahatan sexual. 

Issu politisi busuk adalah melambangkan sikap anti “kelakuan“ politisi busuk yang melakukan perbuatan justru bertentangan dengan yang diharapkan oleh rakyat. Maka menurut penulis issu politik busuk juga dapat ditafsirkan sebagai busuknya politisi di Indonesia Waktu yang akan menjawab apakah issue politik ini akan larut, mewarnai ataupun mempengaruhi system politik masa depan. 

Rasa optimisme ini haruslah senantiasa penulis sampaikan karena dengan rasa optimisme ini adalah harapan dalam melakukan perubahan sebagaimana kita canangkan pada tahun 1998-an dapat tercapai. Semoga.