18 April 2009

opini musri nauli : mahkamah konstitusi dan pemilu

Setelah usai pemungutan suara, setelah gegap gempita kampanye dan berbagai pernik-pernik pemilu 2009, setelah berbagai tahap pemilu 2009 telah berlangsung, maka konsentrasi publikpun akan terkonsentrasi kepada hasil penghitungan suara. Hasil penghitungan suara akan mengetahui para kandidate anggota parlemen yang masuk parlemen 2009.

Apabila panggung politik yang semula berkonsentrasi di lapangan, mimbar politik maupun orasi politik oleh tokoh partai atau kandidate anggota parlemen, maka kemudian konsentrasi pertarungan politik akan berpindah ke meja peradilan. Di ranah peradilanlah kemudian hasil pemilu akan ditentukan dan menjadi perhatian para tokoh partai dan anggota parlemen selanjutnya. Namun yang dapat bertindak sebagai pihak di Mahkamah Konstitusi adalah partai dan calon anggota DPD. (lihat pasal 74 ayat (1) huruf a UU No. 24 tahun 2003)

Membicarakan hasil pemilu tidak dapat dipisahkan dari Mahkamah Konstitusi. Hasil penetapan Pemilu dari Komisi Pemilihan Umum dapat digugat melalui mekanisme di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi yang kemudian memutuskan perselisihan hasil pemilu (pasal 10 ayat (1) huruf d UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.

Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20 (www.mahkamkahkonstitusi.org)

Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.

DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003

Sebagai lembaga yang lahir di masa reformasi, lembaga ini kemudian terbukti menjadi sorotan publik. Di pundak Mahkamah Konstitusi, berbagai produk perundang-undangan yang kemudian tidak berpihak kepada hukum, sistem hukum dan tentu saja tidak sesuai dengan UUD 1945 kemudian dibatalkan.

Membicarakan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dipisahkan dari Jimly Assidiq (JA) yang berhasil meletakkan pondasi tegakny hukum dan semakin berwibawah hukum di tengah masyarakat. Dalam periode JA, MK kemudian dijadikan bahan untuk berbagai pertarurangan gagasan dan berbagai kecurangan baik oleh Pemerintah maupun DPR didalam membuat UU. MK ternyata menjadi lembaga yang transparan, berbiaya murah dan dapat diakses oleh siapapun. Putusan MK dapat diakses publik 15 menit setelah diputuskan. Sebuah prestasi yang telah mengalahkan “saudara tuanya” yaitu Mahkamah Agung konon sangat sulit diakses termasuk pihak yang berperkara sekalipun.

Begitu mudahnya mengakses putusan MK, membuat kita memahami dasar dan pertimbangan dijatuhkan putusan yang dimohonkan kepada MK (hak uji materiil). Bahkan MK juga mencantumkan disenting opinion sehingga kita “seakan-akan” mengikuti proses “pertarungan” gagasan sebelum dijatuhkan putusan MK. Penulis masih memimpikan, kapan MA mengikuti jejak “saudara muda” menerima pembaruan dan menggunakan teknologi terkini.

Periode kepemimpinan JA kemudian beralih kepada Mahfud, MD. Walapun Mahfud, MD merupakan anggota parlemen dari Partai Kebangkitan Bangsa namun sebenarnya Mahfud, MD berlatar belakang intelektual, seorang Guru Besar dari UII Yogyakarta, yang berhasil membuktikan hipotesisnya didalam Disertasinya yang menyatakan bahwa UU merupakan “produk politik”, sebuah analisis yang berhasil mematahkan dalil bahwa UU merupakan “produk hukum”. Hipotesis ini membuktikan bahwa pembuatan produk UU merupakan konfigurasi politik dan mengakibatkan UU merupakan kepentingan partai politik dan membantah asumsi bahwa UU merupakan bentuk demokrasi antara Presiden dengan parlemen. Hipotesis dijadikan “pisau bedah” didalam melihat berbagai produk UU dan Perda. Hipotesis ini masih relevan dan sering digunakan dan memperkuat hipotesis yang disampaikan oleh Mahfud.

Keilmuan Mahfud, MD akan diuji sebagai hakim MK. Mahfud, MD adalah intelektual yang bersuara kencang disaat MK mengabulkan melebihi apa yang diminta (ultra petite) dalam mencabut UU No. 27 Tahun 2004 Tentang KKR. Mahfud, MD menyatakan bahwa MK tidak berwenang untuk mengabulkan melebihi apa yang diminta para pemohon. MK berpendapat sebaliknya. MK menganggap bahwa dicabutnya UU No. 27 Tahun 2004 karena walaupun tidak seluruhnya pasal-pasal dalam UU tersebut dimintakan untuk tidak dicabut, namun MK menganggap bahwa hubungan antara pasal-pasal yang diminta ternyata mengakibatkan seluruh pasal-pasal yang berhubungan yang dimintakan harus dicabut. Dengan demikian, terhadap UU tersebut harus dicabut. “pertarungan” gagasan didalam melihat konteks perkara MK, menjadikan kita menjadi “kaya” didalam melihat sebuah issu hukum. Kita akan menunggu dan senantiasa berharap agar “pertarungan” gagasan ini dapat melihat dari berbagai sudut.

MK banyak dibicarakan publik saat putusan MK bisa menentukan “nasib” UU. Sesuai kewenangannya, MK adalah lembaga yang menentukan apakah UU yang dihasilkan oleh parlemen tidak bertentangan atau bertentangan dengan UUD 1945. Didalam berbagai putusannya, hak uji materiil (hak untuk menguji UU bertentangan dengan UUD 1945) tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Hak uji materiil yang disampaikan oleh pemohon merupakan bentuk “kontrol” rakyat terhadap berbagai produk perundang-undangan yang dihasilkan oleh negara. Namun begitu peliknya kekuasaan kehakiman, maka apabila para pemohon tidak tepat memasukkan permohonan dan tidak tepatnya diadili, maka terhadap proses hukum dapat “batal demi hukum” Berdasar politik konstitusi, sistem dan lembaga peradilan adalah bagian distribusi kekuasaan negara. Pasal 24 (2) UUD 1945 menentukan, Mahkamah Agung (MA) dan MK pelaksana kekuasaan kehakiman dengan lima yurisdiksi. Empat yurisdiksi peradilan eks UU Kekuasaan Kehakiman 1970 ditransformasikan ke dalam konstitusi, yaitu peradilan umum,agama, militer, dan tata usaha negara (TUN), dan tetap dilaksanakan MA. Wewenang dan kewajiban MK (Pasal 24C (1) UUD 1945), yang dilembagakan diluar MA, menjadi yurisdiksi peradilan konstitusi, Pengkhususan yurisdiksi peradilan berdasar status (agama, militer) dan jenis perkara tertentu (sengketa TUN). Berbagai peradilan khusus dibentuk dalam peradilan umum: Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Hak-hak Asasi Manusia. Bahkan, pengadilan HAM terdiri atas peradilan HAM ad hoc untuk pelanggaran berat HAM sebelum UU No 26/2000, dan peradilan HAM bukan ad hoc untuk pelanggaran berat HAM yang terjadi sejak 2000.

Dengan demikian, ada berbagai UU yang mengatur dan membentuk peradilan. Pengadilan Niaga dibentuk dengan UU Kepailitan 1998. Pengadilan Perburuhan dibentuk melalui UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 2004, dan diatur bersama dengan mediasi, konsiliasi, dan arbitrasi di bidang perburuhan. Pengadilan Perikanan diatur melalui UU Perikanan 2004 dan pengadilan Tipikor yang bertugas memutus perkara yang diajukan KPK. (Mohammad Fajrul Falaakh Dosen FH UGM; Anggota Komisi Hukum Nasional)

Mahkamah Konstitusi telah menarik perhatian publik, ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang “kontroversial” (penulis sengaja meletakkan kata “kontroversial” sebagai bentuk perhatian publik terhadap putusan MK yang mencabut berbagai UU yang telah dihasilkan oleh parlemen. Namun kata “kontroversial” yang penulis sampaikan, karena MK telah menerapkan putusan yang tidak konsisten dengan dogma yang telah dikenal). Putusan MK tentang Terorisme yang menyatakan bahwa UU terorisme tidak dapat berlaku surut terhadap kejahatan bom bali, namun disatu sisi, MK mengabulkan permohonan terhadap UU yang lahir sebelum MK tersebut ada. Putusan MK yang mengabulkan terhadap permohonan pemohon yang melebih yang diminta (ultra petite). Dan putusan MK yang tidak konsisten sebagaimana didalam perkara terhadap KPK yang disatu sisi mencabut Pengadilan Ad Hock Korupsi namun berlaku selama 3 tahun dan memberikan kesempatan kepada Pemerintah untuk membuat UU yang mengatur keberadaan Pengadilan Ad hock Korupsi.

Untuk memudahkan pemahaman tentang MK, penulis memberikan catatan penting dan mengklasifikasikan putusan-putusan MK untuk melihat MK secara utuh. Yang berperspektif HAM

Bahwa didalam melihat berbagai UU yang kemudian diajukan uji materiil kepada MK, MK sering menggunakan pendekatan HAM. Baik terhadap norma yang diatur didalam UUD 1945 maupun norma-norma yang yang berkaitan dengan HAM. Perspektif HAM merupakan “alat ukur” yang effektif didalam melindungi kepentingan masyarakat dari kewenang-wenangan negara. Putusan-putusan MK dapat dijadikan kajian didalam melihat berbagai produk hukum maupun didalam mempersiapkan legal drafting dalam perspektif hukum yang memihak untuk melindungi kepentingan rakyat. MK telah mengabulkan tentang perlindungan hak milik, sebuah hak asasi yang fundamental yang kemudian dapat dijadikan dasar didalam melihat barang bukti dalam perkara pidana sebagaimana diatur didalam pasal 39 KUHP. Bahkan MK juga telah banyak menetapkan ketentuan beberapa pasal KUHP yang tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. MK juga telah membatalkan beberapa ketentuan yang mengatur tentang tidak dibolehkannya terpidana untuk menduduki posisi politik. Putusan MK ini tentu saja sesuai dengan prinsip hukum yang pidana yang tidak menganut “balas dendam”. Asas Retroaktif.

Bahwa terhadap permohonan yang disampaikan oleh terdakwa yang terlibat Bom Bali yang mengajukan permohonan agar UU No. 16 Tahun 2003 dicabut karena bertentangan dengan prinsip dasar asas retoraktif. Sebagaimana diketahui. Bahwa asas retroaktif adalah asas yang fundamental sebagaimana diatur didalam Pasal 1 KUHP. Asas retroaktif adalah dimana sebuah produk hukum tidak dapat berlaku surut. Pemberlakuan prinsip retroaktif dalam hukum pidana hanyalah merupakan suatu pengecualian yang hanya dibolehkan dan diberlakukan pada perkara pelanggaran HAM berat sebagai kejahatan yang serius yang merupakan jaminan hak-hak yang tidak dapat dikurangi

Menurut pertimbangan MK, UU No. 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU tidak perlu diperlakukan surut karena unsur-unsur dan jenis kejahatan yang terdapat dalam terorisme menurut UU dimaksud sebelumnya telah merupakan jenis kejahatan yang diancam dengan pidana berat.

Pemberlakuan UU No. 16 Tahun 2003 untuk menilai peristiwa konkret, yaitu peristiwa peledakan bom di Bali yang terjadi sebelum UU tersebut ditetapkan, bertentangan dengan prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan yang dianut dalam UUD 1945. Dalam hal ini pembentuk UU dapat dianggap telah melakukan sesuatu yang merupakan kewenangan kekuasaan kehakiman yang seharusnya merdeka dan terpisah dari cabang kekuasaan pemerintah negara. Pemberlakuan kaidah hukum oleh pembentuk UU terhadap sesuatu peristiwa kongkrit yang terjadi sebelumnya dapat menjadi preseden buruk yang dapat dijadikan rujukan Pasal 18 UU No. 39 Tahun 1999 (2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya. Pasal 18 UU No. 39 Tahun 1999 (3) Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka. Namun kemudian, walaupun MK lahir tahun 2003, MK ternyata tetap mengadili terhadap UU sebelum tahun 2003. Berdasarkan PUTUSAN Nomor 022/PUU-III/2005 yang mengadili Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang diajukan oleh: Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK), ternyata kemudian MK mengadili dan mengabulkan permohonan dari AAK. Putusan yang kemudian menyatakan bahwa MK berwenang untuk mengadili UU sebelum tahun 2002 telah menjadi yurisprudensi didalam kewenangan mengadili UU. MK kemudian juga membatalkan pasal 134, 136 bis dan pasal 137, 154, 155 KUHP yang ternyata tidak memberikan ketidakadilan dan tidak sesuai dengan semangat reformasi dan demokratisasi di Indonesia.

Dengan demikian, terlepas dari prinsip dasar asas retroaktif, nuansa demokrasi didalam membatalkan berbagai produk hukum yang dianggap bertentangan dengan konstitusi telah meletakkan harapan kepada MK untuk mengembalikan fungsi negara untuk memenuhi tujuan sebagaimana diatur didalam UUD 1945. Kontroversial

Sebagaimana telah disampaikan, bahwa MK telah diatur didalam UU No. 24 Tahun 2003. Sebenarnya didalam pasal 50, MK hanya berwenang untuk memeriksa dan mengadili UU setelah lahirnya MK. Namun ternyata MK sendiripun menyatakan bahwa pasal 50 UU No. 24 tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Yang menjadi kontroversial adalah, Apakah pantas MK mengadili dirinya sendiri ? Begitu juga disaat MK memeriksa UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang dimohonkan 24 hakim agung Mahkamah Agung RI yang menganggap bahwa KY melakukan perbuatan melebihi kewenangannya. Publik kemudian mencatat, bahwa ternyata MK selain mengabulkan permohonan dan mencabut beberapa pasal didalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, MK juga telah mengadili dirinya sendiri. Dalam putusan MK yang berkaitan dengan beberapa ketentuan Tentang hukuman mati ternyata menimbulkan pro dan kontra. Hampir praktis pendukung kelompok yang menyetujui hukuman mati seimbang dengan jumlah pendukung yang menolak hukuman mati. Bahkan didalam putusan yang kemudian menyetujui hukuman mati, 4 orang dari sembilan hakim MK juga menolak hukuman mati (memberikan pendapat berbeda/disenting opinion). Sehingga penulis menyatakan, bahwa terhadap hukum juga bisa diterapkan karena voting.

Namun yang paling heboh kemudian, MK mengabulkan permohonan dari terdakwa yang dituduh melakukan korupsi. Terdakwa ini kemudian mengajukan permohonan untuk membatalkan kewenangan Pengadilan Korupsi. MK kemudian mengabulkan permohonan yang menyatakan bahwa Pengadilan Ad Hock Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 terutama yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan menyatakan bahwa Pengadilan ad hock korupsi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Artinya. Pengadilan ad hock korupsi tidak berlaku. Publikpun mencatat, disaat bersamaan, MK ternyata memberikan kesempatan kepada Pemerintah untuk membuat UU yang berkaitan dengan pengadilan ad hock korupsi selama 3 tahun. Sikap ini juga menimbulkan pro dan kontra yang mengganggap MK tidak konsisten didalam putusannya sendiri.

Ultra Petite

MK juga menarik perhatikan publik karena disaat bersamaan MK telah melebihi yang diminta oleh pemohon (ultra petite). Putusan Konstitusi Nomor 06/PUU-IV/2006, yang diajukan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial) hanya memohon membatalkan (a) Pasal 1 Ayat (9); (b) Pasal 27; (c) Pasal 44 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Namun kemudian MK tidak hanya menyatakan bahwa pasal-pasal itu bertentangan dengan konstitusi, namun justru menyatakan bahwa UU No. 27 tahun 2004 bertentangan dengan konstitusi.

Padahal banyak pihak yang menyesalkan bahwa Mahkamah Konstitusi ternyata membuat putusan yang bersifat ultra petita (melebihi yang diminta)

Visioner.

Sebagai lembaga yang lahir dialam reformasi (pasca jatuhnya Soeharto, terhitung tanggal 22 Mei 1998), MK telah mengabulkan permohonan dari LALU RANGGALAWE, Anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah, berdasarkan PUTUSAN Nomor 5/PUU-V/2007 yang kemudian membuka kesempatan calon perseorangan didalam mengikuti Pilkada. Kemajuan besar ini merupakan kesempatan besar didalam proses demokrasi di Indonesia, walaupun didalam UU No. 32 Tahun 2004 tidak memungkinkan calon perseorangan.

Putusan MK ini kemudian menjadi issu yang hangat dan sempat ditolak oleh Partai yang menganggap pencabutan pasal yang berkaitan dengan calon perseorangan menimbulkan ketidakadilan, karena disatu sisi partai yang cukup lama mempersiapkan kader untuk menduduki posisi penting didalam Pilkada, namun calon perseorangan tidak sesulit partai mempersiapkan kadernya.

Publik juga mencatat disaat MK telah mencabut Pasal 60 huruf g UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD dan memberikan hak yang sama kepada orang-orang yang dituduh komunis. Baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih. Sebuah penghormatan HAM yang universal.

MK juga telah membatalkan UU No. 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Dengan demikian, MK telah menawarkan visi reformasi dan penegakkan demokratisasi di Indonesia.

Selain itu juga bahwa semula berdasarkan pasal 106 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 tahun 2004, keberatan sengketa pemilihan kepada Daerah diajukan ke Mahkamah Agung. Namun didalam pasal 263 C UU No. 12 tahun 2008, kewenangan itu kemudian diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Dari 23 sengketa pilkada yang masuk ke MK pada 2008, hanya tiga sengketa yang dikabulkan sebagian. Sisanya, dinyatakan tidak dapat diterima atau ditolak, ada juga perkara yang belum diputus (Sengketa Pilkada, Kewenangan Baru Bikin Sibuk MK Catatan Akhir Tahun 2008, Hukumonline, 1/1/09

. Begitu besar wewenang yang diberikan konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan perselisihan Pemilu dan begitu banyak keputusan Mahkamah Konstitusi yang kemudian berpihak kepada pencari keadilan, maka sudah semestinya, mekanisme ini harus disiapkan bagi partai dan kandidate anggota DPD untuk menggunakannya.

Sebelum menutup paparan yang penulis sampaikan, penulis masih mencatat janji yang disampaikan oleh Mahfud, MD. Janji ini diucapkan Mahfud, MD saat uji kelayakan di DPR. Janji tersebut diantaranya Hakim konstitusi tidak boleh membuat putusan yang sifatnya mengatur. Misalnya MK merekomendasikan agar pelaksanaan Pilkada untuk sementara bisa dijalankan dengan membuat peraturan KPU yang mengacu pada UU Pemerintahan Aceh. Hakim Konsitusi tidak boleh membuat ultra petita. Hakim konstitusi tidak boleh mendasarkan putusan pada UU. Misalnya UU Nomor 32 tahun 2004 yang mendasarkan pada UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

Atau membatalkan tentang KY yang mendasarkan dengan UU MA. Hakim konstitusi tidak boleh mendasarkan kepada teori. Hakim konstitusi tidak boleh melanggar asas nemo judex in causa sua. Maksudnya hakim tidak boleh memutus hal-hal yang menyangkut kepentingan dirinya sendiri. Mahfud, MD menjelaskan ketika MK tidak boleh diawasi oleh KY. Hakim Konstitusi tidak boleh mengomentari perkara yang tengah disidangkan. Dan Hakim konstitusi tidak boleh beropini tentang eksistensi UUD (Jambi Ekspress, 2 September 2008).

Baca : MAHKAMAH KONSTITUSI DAN HARAPANNYA dan PEMILU 2009

Dimuat di harian Jambi Ekpsress, 17 - 18 April 2009