Membicarakan
Melayu Jambi tidak dapat dipisahkan dari kewilayahan Propinsi Jambi
yang merupakan daerah yang menjadi residentie Djambi. Dalam Tambo,
batas wilayah Jambi dikenal dengan istilah durian di Takuk Rajo
(Batas dengan Sumsel), sialang belantak besi (Batas dengan sumbar),
Salo belarik (batas dengan Riau)
Dalam
dokumen-dokumen Belanda wilayah Jambi sebagai bagian dari kekuasaan
Belanda dapat dilihat pada Peta Belanda seperti Schetkaart Resintie
Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, Skala 1:750.000,
Schetskaart Van de Residentie Djambi, Tahun 1906, Skala 1 : 500.000,
Schetskaart Van de Residentie Djambi, Bewerkt door het
Encyclopaedisch Bureau 1922 – 1923, Skala 1 : 750.000,
Automobielkaart van Zuid Sumatra Samengesteld en Uitgegeven door
Koniklijke , Vereenging Java Motor Club, Tahun 1929, Skala 1 :
1.500.000, Economical MAP of The island Of Sumatra, Gold and silver,
Tahun 1923, Skala 1 : 1.650.000, Verkeers en Overzichtskaart van het
eiland Sumatra, Tahun 1929, Skala 1.650.000, dan Kaart van het eiland
Sumatra, Tahun 1909, Skala 1 : 2.000.000, Aangevende de ligging Der
Erfachtsperceelen en Landbrouwconcessies Of Sumatra, Tahun 1914,
Skala 1 : 2.000.000 telah jelas menerangkan posisi Residentie Jambi
sebagai jalur perdagangan karet yang utama bagi Pemerintah Kolonial.
Melayu
Jambi termasuk rumpun kesukuan Melayu. Rumpun Melayu termasuk kedalam
9 suku yang dominan dari 650 suku di Indonesia (Zulyani Hidayah,
Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1997). Zulyani
Hidayah didalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia menunjukkan
terdapat lebih kurang 658 suku di Nusantara. Dari enam ratusan, 109
kelompok suku berada di belahan barat, sedangkan di Timur terdiri
dari 549 suku. 300 berada di Papua.
Kekerabatan
Melayu dapat dilihat dalam seloko adat. “Sumpah
setio. Ke langit sama dikadah Ke bumi sama dikutungkan, Darah samo
dikacau, daging samo dikimpal, Kehilir serentak dayung, kemudik
sehentak satang, Kebukit samo mendaki, kelurah samo menurun, Tegak
sama tinggi, duduk sama rendah, serumpun bak serai, seinduk bak ayam,
Tolong menolong bagai aur dengna tebing, Tudung menudung bagai daun
sirih, samo-samo berbenteng dadober berkuto betis beranjau, tunjuk
menunjuk menghadapi musuh, Tidak boleh pepat diluar rencong didalam,
tidak boleh budi menyuruk akal merangkak, Menggunting dalam lipatan,
tidak boleh menohon kawan seiring, harus sesopan semalu, Dapat samo
belabo hilang samo merugi. Samo makan tanah bila telungkup, samo
minum air bila telentang”
Clifford
Geerz mendefinisikan ikatan primordial adalah “perasaan
yang lahir dari yang dianggap ada dalam kehidupan sosial, sebagian
besar dari hubungan langsung dan hubungan keluarga, tetapi juga
meliputi keanggotaan dalam lingkungan keagamaan tertentu, bahasa atau
dialek tertentu, serta kebiasaan-kebiasaan sosial tertentu. Persamaan
hubungna darah, bahasa dan kebiasaan pada dirinya memiliki kekuatan
yang meyakinkan.
Luak
XVI sudah menjadi hidup dan tidak terpisahkan daripada kehidupan
masyarakat di Bangko. LUAK XVI merupakan komunitas wilayah adat yang
mempunyai identitas yang khas, wilayah klaim adat dan hukum yang
mengatur kehidupan komunal masyarakat adat. LUAK XVI merupakan
komunitas yang sampai sekarang masih tunduk kepada klaim wilayah adat
dan menghormati hukum adat Dalam kajian ilmu hukum lebih dikenal ubi
societas ibi jus yang artinya (dimana) ada masyarakat (disitu) ada
hukum.
Keberadaan
masyarakat LUAK XVI diperkirakan sudah berada jauh sebelum masuknya
kedatangan Agama-agama Besar seperti Budha, Hindu dan Islam, namun
belum menemukan dokumen-dokumen untuk mendukung pernyataan tersebut.
Prasasti-prasasti yang sampai sekarang masih banyak ditemukan dan
belum bisa mendukung tentang asal-muasal masyarakat dan sejarah yang
bisa menceritakan banyak tentang LUAK XVI. Hipotesis yang bisa
disampaikan, bahwa keberadaan masyarakat LUAK XVI diperkirakan telah
ada jauh sebelum kedatangan masuknya agama-agama Budha, Hindu dan
Islam.
Walaupun
masuknya agama-agama besar, disatu sisi membuat masyarakat
menghormati dan membuat masyarakat meletakkan posisi agama yang
begitu dihormati sesuai dengan Seloko adat “ADAT BERSENDIKAN
SYARA’, SYARA’ BERSENDIKAN KITABULLAH”, namun disisi lain
ternyata masuknya agama islam menimbulkan persoalan karena budaya,
dokumen yang sebelumnya berasal dari agama sebelumnya membuat budaya,
atau dokumen tersebut dihilangkan dan dianggap bertentangan dengan
agama Islam. Di satu sisi upaya ini justru membuat perjalanan panjang
sejarah masyarakat LUAK XVI menjadi tercecer dan sulit menghubungkan
antara periode sejarah satu dengan periode sejarah lain. Namun disatu
sisi, di tengah masyarakat, simbol-simbol seperti “DEWO”, “NAGO”
dan sebagainya tetap lekat dan menjadi simbol-simbol dari Tembo untuk
menentukan wilayah kelola dan batas-batas Margo antara satu margo
dengan margo yang lain.
Harus
diakui, tercecernya periode sejarah satu dengan yang lain, membuat
catatan dan dokumen menjadi hilang. Sehingga konsentrasi kita coba
dilihat dari sejarah Melayu dan sejarah masuknya Islam. Secara umum,
ada dua proses yang terjadi. Pertama, penduduk pribumi mengalami
kontak dengan agama islam dan menganutnya. Proses kedua, orang-orang
asing telah memeluk agama islam tinggal di suatu wilayah, kawin
dengan penduduk sipil, dan mengikuti gaya hidup lokal sedemikian rupa
sehingga mereka sudah menjadi orang jawa, Melayu atau suku lainnya.
Dan apabila sedikit petunjuk yang masih ada menunjukkan, misalnya,
bahwa suatu dinasti muslim telah berkedudukan mapan di suatu wilayah,
maka sering kali mustahil untuk mengetahui mana yang lebih berperan
di antara kedua proses itu.
Sementara
istilah Melayu kuno dapat dilihat dari pernyataan M.C Ricklefs
“Dua
buah batu nisan yang berasal dari akhir abad XIV dari Minye Tujoh di
Suamtera Utara tampaknya membuktikan terus berlangsungnya peralihan
budaya disana. kedua batu itu berbentuk sama, tetapi batu yang satu
memuat prasasti dengan bahasa melayu kuno dan berhurufkan Sumatera
Kuno, tetapi sama-sama bersifat islam.
Luak
XVI terdiri Margo Serampas, Margo Sungai Tenang, Margo Peratin Tuo,
Margo Senggrahan, Margo Tiang Pumpung, Margo Renah pembarap. Hubungan
antara Margo Renah pembarap, Tiang Pumpung dan Margo sanggrehan dapat
dilihat dari ujaran “ Margo Renah Pembarap nenek moyangnya adalah
Syeh Rajo, Syeh Baiti Nenek moyang Tiang Pumpung, Syeh Saidi Malin
Samad Nenek moyang Sanggrehan”. “Gedung di Pembarap, Pasak di
Tiang Pumpung, Kunci di pembarap’ Pembarap berrenah luas, Tiang
pumpung berlarik panjang, Sanggrehan berhutan lebar.
Persatuan
Wilayah Adat LUAK XVI yang terdiri 6 Margo didalam membicarakan
kewilayahan, batas Margo, batas antara Margo, batas desa dalam margo
dan menghubungkan antara desa satu dengna dengan lain dalam satu
margo, Cara menentukan batas wilayah, baik klaim adat maupun berbagai
pemetaan yang menggambarkan “wilayah kelola” dan pengaturan yang
telah diturunkan turun temurun dilakukan dengan tutur dan seloko adat
yang lebih dikenal dengan nama “TAMBO”
Mengenai
istilah “Tambo”, penulis mendefinisikan tentang cara penetapan
suatu wilayah berdasarkan batas-batas alam. Maka didalam melihat
sebuah wilayah klaim adat baik Margo maupun dusun dilakukan dengan
bertutur adat. Tambo ini menerangkan berdasarkan kepada tanda-tanda
alam seperti nama gunung, bukit, sungai, lembah, dan sebagainya.
Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi dan
masih terlihat sampai sekarang. Bandingkan definisi yang diberikan
oleh Erman Rajagukguk didalam tulisannya “PEMAHAMAN RAKYAT TENTANG
HAK ATAS TANAH, Prisma, 9 September 1979, mendefinisikan Tambo
“Proses pembukaan daerah baru semacarn ini diperoleh dari cerita
Tambo lama Sumatera. Versi yang sama juga terjadi pada pembukaan
tanah di Kalimantan sebagaimana riwayat Sultan Adam yang dituangkan
oleh Abdurrahman SH dan Drs. Syamsiar Seman mengenai Undang undang
Sultan Adam, dalam majalah Orientasi, nomor 2, Januari 1977. Begitu
juga ketika Sri Susuhunan Paku Buwono IV ingin memperluas wilayahnya
ke utara (Lihat G.A. Basit Adnan, “Tandus tanahnya, Subur Islamnya
dalam Panji Masyarakat, nomor 233, 15 Oktober 1977). Kisah kisah
tersebut diangkat oleh Sayuti Thalib SH dalam “Telah Tercipta Hak
Ulayat Baru”, majalah Hukum dan Pembangunan, nomor 1, Tahun VIII,
Januari 1978.
Dengan
Tambo inilah, suatu wilayah adat dapat diketahui, baik batas wilayah
suatu Margo, antara desa satu dengna yang lain dalam satu margo dan
tentu saja menghubungkan antara Margo Satu dengna margo yang lain.
“Klaim
adat” berupa wilayah dan cara kelola yang berdasarkan Seloko dan
ujaran adat sampai sekarang menjadi ingatan dan pengetahuan kolektif
masyarakat didalam Luak XVI. Dengan Tembo dan Seloko yang diwariskan
turun temurun dari generasi. (Seloko adat)
Nilai
yang menjadi pegangan dan dihormati masyarakat, Titian
Teras bertangga batu. Cermin nan tak kabur. Lantak nan tak goyang,
kaping idak tagensuo. Tidak lekang karena panas tidak lapuk karena
hujan, “Adat bersendikan syarak, Syarak bersendikan kitabbullah.
Nilai
yang terkandung didalam “Titian
Teras bertangga batu. Cermin nan tak kabur. Lantak nan tak goyang,
kaping idak tagensuo. Tidak lekang karena panas tidak lapuk karena
hujan, “Adat bersendikan syarak, Syarak bersendikan kitabbullah,
menurut Ajaran Hukum Murni hipotesis yuridis yang disebutnya
Grundnorm.
Hipotesis
yuridis ini diurai oleh Ali Safa’at, selama Orde Baru Grundnorm
diisi dengan Pancasila dan Orde Reformasi diisi dengan Proklamasi 17
Agustus 1945. Grundnorm yang berada di “atas“ norma-norma hukum
positif merupakan daya tarik dan sekaligus krisis bagi Ajaran Hukum
Murni di kemudian hari. Masa ini dihiasi dengan munculnya Ajaran
Hukum Murni (Reine Rechtslehre) dari Hans Kelsen yang mendefinisikan
Ajaran Hukum Murni sebagai Teori Hukum Positif yang objeknya adalah
hukum positif. Berbagai istilah digunakan oleh Hans Kelsen guna
menamai Teori Hukum Positif seperti Ilmu Hukum Normatif dan Teori
Juristik yang sebangun struktur argumentasinya. Sikap yang diambil
Hans Kelsen adalah pemurnian “hukum” dari kepentingan-kepentingan
di luar hukum seperti politik, keadilan, ideologi dan seterusnya.
Hukum merupakan teknik sosial yang spesifik dengan objek hukum
positif.
Nilai
yang terkandung didalam “Titian
Teras bertangga batu. Cermin nan tak kabur. Lantak nan tak goyang,
kaping idak tagensuo. Tidak lekang karena panas tidak lapuk karena
hujan, “Adat bersendikan syarak, Syarak bersendikan kitabbullah,
dalam
Teori stufenbau, menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak
tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah
harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah
hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada
norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma
hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit
(abstrak)
Dengan
menggunakan berbagai pendekatan, maka menurut Jan Gijssels dan Mark
van Hoecke, Nilai-nilai yang diajarkan didalam Masyarakat Adat
dikenal sebagai ajaran nilai (waardenleer).
Pandangan
masyarakat Melayu Jambi kepada pemimpin dapat dilihat dari ujaran
“Yang
berhak untuk memutih menghitamkam, Yang memakan habis, memancung
putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek. Mampu
menyelesaikan dengan cara Jenjang
Adat.
Betakap
naik, berjenjang turun. Dari Suku membawa ke nenek mamak. Apabila
tidak dapat diselesaikan, maka memberitahu kepada Debalang. Apabila
tidak dapat diselesaikan, maka Debalang memberitahu kepada Kepala
Dusun. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka kepala Dusun
memberitahu kepada kepala Negeri.
Alam
juga mengabarkan pemimpin yang lalim sebagaimana ujaran “Rajo alim,
Rajo disembah, Rajo lalim, Rajo disanggah”. Sedangkan pemimpin yang
baik maka “Alam sekato Rajo, Negeri sekato Bathin. Atau Alam
berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak. Atau
“Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau
Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang.
Dan
dapat dilihat “negeri
aman padi menjadi, airnyo bening ikannyo jinak, rumput mudo kebaunyo
gepuk, bumi senang padi menjadi, padi masak rumpit mengupih, timun
mengurak bungo tebu, menyintak ruas terung ayun mengayun, cabe bagai
bintang timur, keayek titik keno, kedarat durian guguu
Baca : istilah marga di Jambi