17 Oktober 2012

opini musri nauli : KEKERASAN PERS DAN WAJAH KITA


Lagi-lagi, sekali lagi, lagi-lagi, kekerasan terjadi dan menampakkan wajah kita di alam demokrasi. 

Ya. Kekerasan merupakan “watak” dan peninggalan rezim orde baru. Kekerasan digunakan menjadi “alat pembenar” yang ampuh “menyelesaikan” perbedaan. Tidak ada ruang perbedaan pendapat. Tidak ada ruang dialektika. Semuanya sama. Semuanya seragam. Persis “serdadu” yang dibariskan di tengah lapangan. Hanya mengenal “komandan” yang bisa memerintahkan dan cuma “jenderal” yang punya titah dan sabda yang tidak “pernah” salah. Sekali lagi “tidak pernah” salah.

Kasus Tanjung Priok, Kasus Petrus, kasus Simpang Lima, kerusuhan sampit, konflik Poso, penculikan aktivis 1998, pembantaian anggota komunis sekedar peristiwa yang “melambangkan” bagaimana kekerasan digunakan sebagai “alat” untuk membungkam perbedaan pandangan, perbedaan ideologi.

Orde baru memang meninggalkan “warisan buruk”. Selain korupsi yang semakin menggila, tidak ada kejujuran, juga meninggalkan kekerasan.Ya. Salah satu kekerasan yang kemudian menjadi watak dan “wajah” yang tidak bisa kita tinggalkan.

Lengser keprabon” Soeharto tidak serta merta “menghilangkan” warisan orde baru . Di masa orde reformasi, demokrasi yang harus diselesaikan dengan “berbagai dialog”, membuka ruang dialektika, membuka wacana, mencari berbagai kemungkinan penyelesaian ternyata tidak “digunakan” dengan baik. Berbagai perdebatan kemudian “diselesaikan” dengan cara-cara kekerasan. Perbedaaan pandangan politik, perbedaan “keyakinan” kemudian diselesaikan dengan kekerasan. Kasus “monas', kekerasan di Cilengsi, penutupan tempat-tempat ibadah merupakan salah satu bentuk bagaimana “kekerasan digunakan”. Kekerasan merupakan salah satu cara masyarakat barbar “menyelesaikan” perbedaan.

Kekerasan itulah yang dapat kita saksikan dengan mata telanjang. Kekerasan yang “berbaju seragam” sudah tidak diterima dengan akal sehat. Bayangkan. Kekerasan berbaju seragam. Baju yang dibelikan dari duit pajak. Baju yang dibayar dari keringat rakyat. Baju yang kemudian tidak pernah “diberikan” amanah untuk memukul para pembayar pajak.
Kekerasan itu ditampakkan, diajarkan didepan anak sekolah yang “masih berbaju sekolah”. Kontras sekali pemandangan yang dimuat di media massa

KEKERASAN TERHADAP PERS

Membicarakan demokrasi, pers merupakan salah satu pilar demokrasi diluar daripada pilar demokrasi dalam teori Montesquie yang terkenal “trias politica” (pemisahaan kekuasaan). Pers merupakan salah bentuk bagaimana “rakyat” mengontrol seluruh pilar demokrasi agar bekerja demi kepentingan rakyat. Semakin maju dan semakin beradab demokrasi di suatu memang ditandai dengan “kebebasan” pers. Berbagai indikator inilah yang paling mudah dibaca bagaimana wajah demokrasi dalam suatu bangsa.

Maka, kekerasan terhadap pers “sebenarnya” menampakkan wajah asli demokrasi yang ternyata “mengkhianati” demokrasi. Kasus Pembunuhan Udin di Yogyakarta, kekerasan di Padang, kekerasan di Poso merupakan “peristiwa kelam” dari kekerasan terhadap pers.

Rumusan UU No. 40 Tahun 1999 telah menegaskan prinsip itu. UU Pers kemudian memberikan rambu dan arah agar pers dapat menjalankan fungsinya. Dengan melihat rumusan UU pers, maka kekerasan pers dapat dikategorikan sebagai kejahatan pers yang dapat dituntut dimuka persidangan. UU pers merupakan “proteksi” agar pers dapat bekerja dengan “nyaman”, memberitakan secara obyektif dan memberikan informasi yang memang dibutuhkan masyarakat.

Fungsi pers inilah yang kemudian selalu dikawal agar pilar demokrasi berjalan sebagaimana fungsinya.

Berangkat dari rumusan itulah, dengan mata telanjang kita dapat menyampaikan tuntutan agar para pelaku terhadap pers memang harus “diadili” agar kejadian serupa tidak berulang kali.

PERADILAN MILITER

Berbagai desakan untuk “memproses” pelaku “berbaju seragam” ke muka persidangan merupakan salah satu tuntutan yang diwacanakan publik. Tuntutan itu merupakan sebuah sikap “kegeraman” publik terhadap kekerasan yang masih terjadi. Namun tanpa “mengabaikan” tuntutan publik yang ingin “menyeret” pelaku ke persidangan, terhadap para pelaku yang “berasal dari militer” merupakan dimensi hukum yang terpisah dari pengetahuan publik.
Pasal 8 UU No. 31 Tahun 1997 Tentang Hukum Acara Peradilan Militer telah menegaskan “Peradilan militer merupakan pelaksanaan kekuasaan kehakiman di lingkungan angkatan militer.

Dengan menggunakan literatur UU No. 31 Tahun 1997, maka terhadap pelaku yang berasal dari militer masih menggunakan mekanisme dan berbagai tata cara hukum acara militer. Bahkan dalam berbagai rumusan Peradilan yang menopang hukum di Indonesia, Peradilan militer merupakan salah satu pilar dari tiang penegakkan hukum.

Pendekatan itulah yang harus dibaca ketika para pelaku “masih” berasal dari militer. Terlepas dari berbagai wacana ingin menghapus tentang kejahatan yang dilakukan para pelaku yang berasal dari militer (draft UU yang menghendaki agar militer yang melakukan kejahatan umum juga diadili di pengadilan umum), secara hukum, terhadap tindak pidana yang berasal dari militer “memang masih harus diadili di peradilan militer”. Draft UU yang “menghendaki” agar pelaku militer yang melakukan kejahatan umum “diadili' di pengadilan militer masih “mentok” di Setneg. Draft itu belum dikirim ke parleman untuk dibahas. Sehingga “tuntutan” agar pelaku militer “diadili” di pengadilan umum belum dapat kita laksanakan.

Momentum “kekerasan” yang terjadi merupakan “message” agar pembahasan terhadap Draft UU segera dikirimi dan dibahas di parlemen. Kekerasan memang tidak boleh terjadi lagi. Kekerasan harus dihentikan. Para pelaku kekerasan harus diadili di persidangan umum sehingga fair dan tidak terjadi “pembiaran (immunity) agar kekerasan serupa tidak terjadi lagi.

Sekali lagi kekerasan “dengan dalih apapun” tidak dapat dibenarkan dimuka. Kekerasan terhadap siapapun termasuk kekerasan terhadap pers yang dapat dikategorikan mengancam kebebasan sebagai negara yang bermartabat.



Dimuat di Posmetro, 18 Oktober 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/11015-kekerasan-terhadap-pers-dan-wajah-kita.html.