Lagi-lagi,
sekali lagi, lagi-lagi, kekerasan terjadi dan menampakkan
wajah kita di alam demokrasi.
Ya. Kekerasan merupakan “watak”
dan peninggalan rezim orde baru. Kekerasan digunakan menjadi “alat
pembenar” yang ampuh “menyelesaikan” perbedaan.
Tidak ada ruang perbedaan pendapat. Tidak ada ruang dialektika.
Semuanya sama. Semuanya seragam. Persis “serdadu” yang
dibariskan di tengah lapangan. Hanya mengenal “komandan”
yang bisa memerintahkan dan cuma “jenderal” yang punya
titah dan sabda yang tidak “pernah” salah. Sekali lagi
“tidak pernah” salah.
Kasus
Tanjung Priok, Kasus Petrus, kasus Simpang Lima, kerusuhan sampit,
konflik Poso, penculikan aktivis 1998, pembantaian anggota komunis
sekedar peristiwa yang “melambangkan” bagaimana kekerasan
digunakan sebagai “alat” untuk membungkam perbedaan
pandangan, perbedaan ideologi.
Orde
baru memang meninggalkan “warisan buruk”. Selain korupsi
yang semakin menggila, tidak ada kejujuran, juga meninggalkan
kekerasan.Ya. Salah satu kekerasan yang kemudian menjadi watak dan
“wajah” yang tidak bisa kita tinggalkan.
“Lengser
keprabon” Soeharto tidak serta merta “menghilangkan”
warisan orde baru . Di masa orde reformasi, demokrasi yang harus
diselesaikan dengan “berbagai dialog”, membuka ruang
dialektika, membuka wacana, mencari berbagai kemungkinan penyelesaian
ternyata tidak “digunakan” dengan baik. Berbagai
perdebatan kemudian “diselesaikan” dengan cara-cara
kekerasan. Perbedaaan pandangan politik, perbedaan “keyakinan”
kemudian diselesaikan dengan kekerasan. Kasus “monas',
kekerasan di Cilengsi, penutupan tempat-tempat ibadah merupakan salah
satu bentuk bagaimana “kekerasan digunakan”. Kekerasan
merupakan salah satu cara masyarakat barbar “menyelesaikan”
perbedaan.
Kekerasan
itulah yang dapat kita saksikan dengan mata telanjang. Kekerasan yang
“berbaju seragam” sudah tidak diterima dengan akal sehat.
Bayangkan. Kekerasan berbaju seragam. Baju yang dibelikan dari duit
pajak. Baju yang dibayar dari keringat rakyat. Baju yang kemudian
tidak pernah “diberikan” amanah untuk memukul para
pembayar pajak.
Kekerasan
itu ditampakkan, diajarkan didepan anak sekolah yang “masih
berbaju sekolah”. Kontras sekali pemandangan yang dimuat di
media massa
KEKERASAN
TERHADAP PERS
Membicarakan
demokrasi, pers merupakan salah satu pilar demokrasi diluar daripada
pilar demokrasi dalam teori Montesquie yang terkenal “trias
politica” (pemisahaan kekuasaan). Pers merupakan salah bentuk
bagaimana “rakyat” mengontrol seluruh pilar demokrasi agar
bekerja demi kepentingan rakyat. Semakin maju dan semakin beradab
demokrasi di suatu memang ditandai dengan “kebebasan”
pers. Berbagai indikator inilah yang paling mudah dibaca bagaimana
wajah demokrasi dalam suatu bangsa.
Maka,
kekerasan terhadap pers “sebenarnya” menampakkan wajah
asli demokrasi yang ternyata “mengkhianati” demokrasi.
Kasus Pembunuhan Udin di Yogyakarta, kekerasan di Padang, kekerasan
di Poso merupakan “peristiwa kelam” dari kekerasan
terhadap pers.
Rumusan
UU No. 40 Tahun 1999 telah menegaskan prinsip itu. UU Pers kemudian
memberikan rambu dan arah agar pers dapat menjalankan fungsinya.
Dengan melihat rumusan UU pers, maka kekerasan pers dapat
dikategorikan sebagai kejahatan pers yang dapat dituntut dimuka
persidangan. UU pers merupakan “proteksi” agar pers dapat
bekerja dengan “nyaman”, memberitakan secara obyektif dan
memberikan informasi yang memang dibutuhkan masyarakat.
Fungsi
pers inilah yang kemudian selalu dikawal agar pilar demokrasi
berjalan sebagaimana fungsinya.
Berangkat
dari rumusan itulah, dengan mata telanjang kita dapat menyampaikan
tuntutan agar para pelaku terhadap pers memang harus “diadili”
agar kejadian serupa tidak berulang kali.
PERADILAN
MILITER
Berbagai
desakan untuk “memproses” pelaku “berbaju seragam”
ke muka persidangan merupakan salah satu tuntutan yang diwacanakan
publik. Tuntutan itu merupakan sebuah sikap “kegeraman”
publik terhadap kekerasan yang masih terjadi. Namun tanpa
“mengabaikan” tuntutan publik yang ingin “menyeret”
pelaku ke persidangan, terhadap para pelaku yang “berasal dari
militer” merupakan dimensi hukum yang terpisah dari pengetahuan
publik.
Pasal
8 UU No. 31 Tahun 1997 Tentang Hukum Acara Peradilan Militer telah
menegaskan “Peradilan militer merupakan pelaksanaan kekuasaan
kehakiman di lingkungan angkatan militer.
Dengan
menggunakan literatur UU No. 31 Tahun 1997, maka terhadap pelaku yang
berasal dari militer masih menggunakan mekanisme dan berbagai tata
cara hukum acara militer. Bahkan dalam berbagai rumusan Peradilan
yang menopang hukum di Indonesia, Peradilan militer merupakan salah
satu pilar dari tiang penegakkan hukum.
Pendekatan
itulah yang harus dibaca ketika para pelaku “masih”
berasal dari militer. Terlepas dari berbagai wacana ingin menghapus
tentang kejahatan yang dilakukan para pelaku yang berasal dari
militer (draft UU yang menghendaki agar militer yang melakukan
kejahatan umum juga diadili di pengadilan umum), secara hukum,
terhadap tindak pidana yang berasal dari militer “memang masih
harus diadili di peradilan militer”. Draft UU yang
“menghendaki” agar pelaku militer yang melakukan kejahatan umum
“diadili' di pengadilan militer masih “mentok” di Setneg. Draft
itu belum dikirim ke parleman untuk dibahas. Sehingga “tuntutan”
agar pelaku militer “diadili” di pengadilan umum belum dapat kita
laksanakan.
Momentum
“kekerasan” yang terjadi merupakan “message” agar
pembahasan terhadap Draft UU segera dikirimi dan dibahas di parlemen.
Kekerasan memang tidak boleh terjadi lagi. Kekerasan harus
dihentikan. Para pelaku kekerasan harus diadili di persidangan umum
sehingga fair dan tidak terjadi “pembiaran (immunity) agar
kekerasan serupa tidak terjadi lagi.
Sekali
lagi kekerasan “dengan dalih apapun” tidak dapat dibenarkan
dimuka. Kekerasan terhadap siapapun termasuk kekerasan terhadap pers
yang dapat dikategorikan mengancam kebebasan sebagai negara yang
bermartabat.
Dimuat di Posmetro, 18 Oktober 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/11015-kekerasan-terhadap-pers-dan-wajah-kita.html.