REFLEKSI
32 TAHUN WALHI
Genap
sudah 32 Tahun usia Walhi. Sebuah usia yang “cukup”
matang untuk “memilih”,
“memilah”,
“menentukan”,
mengambil sikap dari sebuah organisasi. Hampir praktis, sepanjang
usia yang sudah ditempuh organisasi Walhi, usia 32 sudah
menggambarkan bagaimana pandangan politik, ekonomi, hukum, sosial
budaya yang harus menjadi panutan dari Walhi.
Menghitung
usia 32 diibaratkan perjalanan hidup manusia, sudah menunjukkan
“kematangan”,
“tenang mengambil keputusan”, “tidak grusa-grusu”, “sabar”,
berfikir jernih”, menghitung resiko dan
berbagai sikap kematangan proses berfikir. Sikap yang diambil juga
mencerminakan “kematangan”
dan “kedewasaan”
untuk melihat peluang dan tantangan dan dapat memberikan “sesuatu”
yang diharapkan orang banyak.
Secara
pribadi, “keterlibatan”
penulis dan bergabung di Walhi dimulai sejak tahun 1998. Penulis
bersentuhan dengan Emmy Hafid, Imam Masfardi, Arimbi Heroeputri.
Mereka dikenal sebagai kuartet yang tangguh “melewati”
fase genting pasca lengsernya Soeharto. Sebagai kuartet pucuk
pimpinan Walhi, mereka didukung oleh Dewan Nasional yang “cukup
kuat”. Kalo tidak
salah ada Nursyahbani, Deddy Mawardi, Chairilsyah, Ahmadi (maaf,
tidak mesti semuanya disebutkan).
Sementara Longgena Ginting (yang
kemudian menjadi Direktur Eksekutif),
Chalid Muhammad (yang
juga kemudian menjadi Direktur Eksekutif),
Joko Waluyo merupakan Manager hutan, manager Tambang dan Manager
Sawit merupakan “jagoan”
teknis didalam merumuskan berbagai sikap politik yang harus diambil.
Seingat
penulis “fase”
genting itu dilalui cukup baik. Selain Walhi menjadi sorotan dan
mendapatkan kesempatan menjadi “anggota
utusan golongan”
(namun kemudian
ditolak dalam PNLH, Banjarmasin 1999),
posisi WALHI cukup strategis dalam kancah politik. Bahkan salah satu
“tokoh”
penting di lapisan elite Gusdur (Presiden
setelah Habibie),
Erna Witoelar merupakan tokoh pendiri Walhi.
Dalam
suasana “heroik”,
penulis mendapatkan kesempatan langsung merumuskan berbgai agenda
penting dan menjadi pegangan dan bekal penulis didalam melihat
berbagai rumusan walhi.
Pondasi
penting yang membedakan Walhi dengan berbagai organisasi lingkungan
hidup lain adalah rumusan “gerakan
advokasi lingkungan hidup”.
Sebagai sebuah nilai dan identitas yang khas, rumusan “gerakan”,
kemudian diikuti kata “advokasi
lingkungan hidup”
merupakan roh, jiwa dan nilai yang mampu menggetarkan untuk melakukan
perubahan. Dari ranah ini kemudian, roh, jiwa dan nilai yang selalu
menginspirasi, menggerakkan, menggetarkan berbagai persoalan yang
langsung berdampak kepada lingkungan.
Tentu
saja berbagai prestasi yang diraih oleh Walhi sebagai organisasi
lingkungan hidup tidak perlu diuraikan. Selain prestasi yang diraih
merupakan bentuk sikap konsistensi perlawanan “negara”
yang ternyata menjadi pelaku penting “kerusakan
lingkungan hidup”,
sikap politik menjadi inspirasi dari berbagai gerakan lingkungan
hidup.
Secara
subyektif harus diakui sikap politik Walhi merupakan “manifesto”
sikap oposisi dan bentuk perlawanan dari Walhi. Dalam catatan penulis
(tanpa
mengenyampingkan berbagai persoalan politik lainnya),
sikap Politik Walhi merupakan wujud nyata dari “keberpihakan”
Walhi yang bersentuhan dengan lingkungan.
Dana
Haram
Secara
organisasi, sikap Politik Walhi “tegas”
terhadap berbagai lembaga internasional yang “terbukti”
memberikan dukungan pendanaan internasional. Dalam Resolusi KLNH
kemudian sudah ditegaskan, Walhi selalu “kritis”
dan tidak bersedia bekerja sama dengan World Bank, IMF, dan
sebagainya. Tentu saja rumusan ini sudah menjadi diskusi organisasi
yang cukup panjang.
Melawan
Invasi Irak
Terlepas
dari proses demokratisasi di Irak yang “tidak”
berjalan sesuai dengan “pikiran”
barat, “penyerbuan”
Amerika walaupun tanpa mandat PBB namun dididukung oleh Inggeris dan
dan Australia merupakan pelanggaran “kedaulatan”
terhadap negara. Dalam diskusi dan sikap politik Walhi, sikap
“angkuh”
Amerika haruslah dilawan. Sikap ini harus tegas dan sekaligus
membuktikan “sebagai
negara berdaulat”
yang tidak boleh tunduk dengan siapapun. Walhi kemudian “memutuskan”
kerjasama dengan negara-negara yang “terbukti”
menginvasi Irak seperti Amerika, Inggeris dan Australia (baca USAID,
DFID dan Ausaid). Sikap politik Walhi inilah kemudian menjadi
“magnet”
tersendiri dan mampu memberikan “resonansi”
yang kuat yang kemudian menjadi inspirasi persoalan “invasi”
Irak merupakan pelanggaran kedaulatan negara. Sikap tegas Politik
Walhi inilah kemudian “memberikan”
dukungan sekaligus memberikan jaminan kepada walhi sebagai sikap
politik yang “bermartabat.
Dalam
perkembangannya kemudian, sikap Politik Walhi menjadi “ukuran”
setiap nilai yang selalu ditawarkan oleh Walhi dalam berinteraksi
dengan siapapun.
Simbol
menjadi nilai
Apabila
sebelum reformasi, berbagai kebijakan yang selalu diteriakkan Walhi,
maka perjuangan menempatkan dan menjadikan Walhi sebagai “simbol”
perlawanan organisasi lingkungan hidup. Simbol itu “seakan-akan”
menggetarkan. Berbagai perjuangan walhi kemudian membuat simbol itu
terus selalu ditancapkan dalam berbagai aksi-aksi dan sikap politik
Walhi. Walhi kemudian menjadi “simbol” berdiri di garda terdepan
yang selalu kritis terhadap kebijakan negara. Istilah yang sering
digunakan “salah urus” mengelola sumber daya alam.
Sudah
32 tahun usia Walhi. Usia yang “cukup”
matang. Terlepas dari berbagai aksi-aksi yang terus dilakukan oleh
Walhi, berbagai “pintu”
pengambil kebijakan telah dibuka. Lembaga-lembaga negara yang selama
ini selalu “harus”
selalu digedor”,
telah dibuka. Rumusan kebijakan sudah menjadi bagian dari berbagai
kebijakan negara. Kepentingan lembaga organisasi untuk menjadi para
pihak dalam perkara di Pengadilan (sebelumnya
dikenal dalam sistem Anglo Saxon. mekanisme ini kemudian disebut
Legal standing) sudah
menjadi praktek yang jamak. Pengakuan itu sudah tercermin didalam UU
No. 23 Tahun 1997 dan UU No 32 tahun 2009. Mekanisme “legal
standing” sudah
menjadi bahan bacaan dan diskusi berbagai forum ilmiah. Bahkan sudah
menjadi “insipasi”
dan berhasil mengenyampingkan sistem hukum Eropa kontinental (Didalam
sistem Eropa kontinental dikenal prinsip “orang yang dirugikan yang
berhak mengajukan gugatan/zonder belang geen rechsingan)
Namun
perjuangan belum selesai. Sistem Ekonomi yang tidak berpihak kepada
masyarakat, sistem politik yang menguntungkan segelintir Oligarkhi
politik, sistem hukum yang masih mengagungkan asas kepastian hukum
(rechtmatigheid
atau keadilan prosedural/procedural justice) daripada
mencapai keadilan hukum (gerectigheit
atau keadilan substantif/substansif justice)
masih
menempatkan masyarakat “harus
terus berjuang”
mendapatkan ruang kelola dan kepastian “keberlanjutan”
pengelolaan sumber daya alam.
Dengan
berbagai rumusan yang menjadi “perjuangan”
Walhi kemudian diadopsi dalam berbagai kebijakan, membuat perjuangan
Walhi sebelumnya sebagai simbol menjadi perjuangan “nilai”.
Nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi pegangan Walhi dan menjadi
“pemikiran”,
gagasan yang menjadi “alat
kontrol” kekuasaan
terhadap negara yang terbukti “salah
urus” didalam
mengelola sumber daya alam.