06 Desember 2013

opini musri nauli : INDIA MENIKMATI “RASA NASIONALISME”



Dalam pertemuan di WTO, awal Desember di Bali, India mengeluarkan sikap kerasnya tidak berkompromi “kedaulatan” pangan dengan AS.
Sikap keras yang ditunjukkan India dalam Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tersebut bukan tanpa alasan. Apa yang diperjuangkan India sangat fundamental dan bukan merupakan suatu hal yang bisa dikompromikan.

"Saya tegaskan, kami datang ke Bali bukan untuk memohon adanya 'peace clause' yang mengikat dengan menggunakan acuan harga produk pertanian dari tahun 1986-1988," tegas Menteri Perdagangan dan Industri India Anand Sharma dalam jumpa pers di Nusa Dua, Bali.

Berita ini “menyentak” dunia. India “rela” berhadapan” dengan Amerika Serikat dan Eropa. Kebijakan “kedaulatan pangan” merupakan salah satu tema dan sikap keras India “membaca” WTO.

Tentu berita ini menarik di tengah berita Indonesia menjadi “penyelenggara” WTO di Bali dan terkesan “good boy”. Posisi Indonesia “seakan-akan” manggut terhadap berbagai kepentingan dunia.

Berita diatas bukanlah berita “sepotong-potong”. Rasa nasionalime India harus diakui.

Mereka “berhasil” menjadi negara yang sedang “mengembangkan teknologi” ke ruang angksa, memiliki program nuklir. Jangan tanya bagaimana perkembangan teknologi lainnya disana.

Lantas bagaimana “India” mengelola penduduknya yang berjumlah semilyar namun mampu “melesatkan” sebagai pesaing teknologi ?

Pertama. Dalam sejarah panjang kebudayaan dunia, India memiliki kebudayaan “adiluhung” yang mampu menggetarkan dunia. Tersebarnya agama Hindu dan “penguasaan” kebudayaan” dunia harus diakui sebelum kebangkitan Eropa abad XVII-an.

India mampu menghipnotis dengan berbagai kebudayaan lamanya dan menjadi “pemain” dunia yang cukup diperhitungkan.

Kedua. Sebenarnya Indonesia dan India memiliki kemiripan. Kebesaran Agama Hindu ternyata juga menyebar dan bagian dari kebudayaan dunia. Namun sayang. Kebesaran Indonesia tertinggal setelah abad XVI. Dan praktis tenggelam dalam abad XVIII.

Ketiga. Apa rahasia yang paling mendasar dari “kebangkitan” India. Ya. India selain mampu mengelola penduduknya dapat makan semilyar orang, India secara serius “menguasai” teknologi.

Dalam kunjungan penulis tahun 1999 di Ahmedabad (satu jam dari Bombay), penulis terkagum-kagum akan “penguasaan” informasi.

Sebagai contoh. Kota Ahmedabad setingkat propinsi memiliki “koran” harian lokal hampir 20 buah. Dan kekagetan penulis selain jumlah halamannya hingga 64 hal (lebih kurang setebal tabloid), juga korannya rata-rata berumur satu abad lebih. Bayangkan satu abad. 100 tahun.

Selain menggunakan bahasa Inggeris juga ada koran lokal menggunakan bahasa Urdu (bahasa Lokal India) dalam aksara latin maupun aksara India.

Itu baru koran lokal. Jangan tanya koran nasional. Seingat penulis hampir 60 harian.

Sehingga bisa dipastikan media massa cukup lama bertahan selain memang oplah nya besar juga mampu bertahan dari berbagai perkembangan zaman.

Selain itu, rasa nasionalisme India cukup diakui. Perlawanan yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi untuk menggunakan produk dan tenunan lokal mampu menginspirasi rakyat India agar tetap menggunakan produk nasionalnya.

Begitu juga film-film bollywood yang konon mencapai 300-an film pertahun. Artinya. Dua hari sekali, India menghasilkan sebuah film.

Roda itulah yang kemudian membuat India bertahan dengan nasionalisme tanpa harus digerakkan oleh slogan-slogan negara.

Dan semuanya telah berlangsung bertahun-tahun sehingga India kemudian “sudah mempersiapkan” dengan baik dan mampu menjadi petarung di WTO.

Penulis kemudian bisa mengerti berita diatas merupakan proses panjang yang tidak sederhana. India sedang menikmati rasa nasionalismenya. 

Lalu bagaimana dengan Indonesia. Sudah ah. Kita cuma bisa jadi “good boy” dari event-event internasional tanpa mendapatkan kontribusi terhadap perekonomian nasional.

Kita menjadi event organizer yang baik. Dan hm.. cuma itu yang kita bisa.