Dalam pertemuan di WTO,
awal Desember di Bali, India mengeluarkan sikap kerasnya tidak
berkompromi “kedaulatan” pangan dengan AS.
Sikap keras yang
ditunjukkan India dalam Konferensi Tingkat Menteri Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) tersebut bukan tanpa alasan. Apa yang
diperjuangkan India sangat fundamental dan bukan merupakan suatu hal
yang bisa dikompromikan.
"Saya tegaskan,
kami datang ke Bali bukan untuk memohon adanya 'peace clause' yang
mengikat dengan menggunakan acuan harga produk pertanian dari tahun
1986-1988," tegas Menteri Perdagangan dan Industri India
Anand Sharma dalam jumpa pers di Nusa Dua, Bali.
Berita ini “menyentak”
dunia. India “rela” berhadapan” dengan Amerika Serikat dan
Eropa. Kebijakan “kedaulatan pangan” merupakan salah satu tema
dan sikap keras India “membaca” WTO.
Tentu berita ini menarik
di tengah berita Indonesia menjadi “penyelenggara” WTO di Bali
dan terkesan “good boy”. Posisi Indonesia “seakan-akan”
manggut terhadap berbagai kepentingan dunia.
Berita diatas bukanlah
berita “sepotong-potong”. Rasa nasionalime India harus diakui.
Mereka “berhasil”
menjadi negara yang sedang “mengembangkan teknologi” ke ruang
angksa, memiliki program nuklir. Jangan tanya bagaimana perkembangan
teknologi lainnya disana.
Lantas bagaimana “India”
mengelola penduduknya yang berjumlah semilyar namun mampu
“melesatkan” sebagai pesaing teknologi ?
Pertama. Dalam sejarah
panjang kebudayaan dunia, India memiliki kebudayaan “adiluhung”
yang mampu menggetarkan dunia. Tersebarnya agama Hindu dan
“penguasaan” kebudayaan” dunia harus diakui sebelum kebangkitan
Eropa abad XVII-an.
India mampu menghipnotis
dengan berbagai kebudayaan lamanya dan menjadi “pemain” dunia
yang cukup diperhitungkan.
Kedua. Sebenarnya
Indonesia dan India memiliki kemiripan. Kebesaran Agama Hindu
ternyata juga menyebar dan bagian dari kebudayaan dunia. Namun
sayang. Kebesaran Indonesia tertinggal setelah abad XVI. Dan praktis
tenggelam dalam abad XVIII.
Ketiga. Apa rahasia yang
paling mendasar dari “kebangkitan” India. Ya. India selain mampu
mengelola penduduknya dapat makan semilyar orang, India secara serius
“menguasai” teknologi.
Dalam kunjungan penulis
tahun 1999 di Ahmedabad (satu jam dari Bombay), penulis
terkagum-kagum akan “penguasaan” informasi.
Sebagai contoh. Kota
Ahmedabad setingkat propinsi memiliki “koran” harian lokal hampir
20 buah. Dan kekagetan penulis selain jumlah halamannya hingga 64 hal
(lebih kurang setebal tabloid), juga korannya rata-rata berumur satu
abad lebih. Bayangkan satu abad. 100 tahun.
Selain menggunakan bahasa
Inggeris juga ada koran lokal menggunakan bahasa Urdu (bahasa Lokal
India) dalam aksara latin maupun aksara India.
Itu baru koran lokal.
Jangan tanya koran nasional. Seingat penulis hampir 60 harian.
Sehingga bisa dipastikan
media massa cukup lama bertahan selain memang oplah nya besar juga
mampu bertahan dari berbagai perkembangan zaman.
Selain itu, rasa
nasionalisme India cukup diakui. Perlawanan yang dilakukan oleh
Mahatma Gandhi untuk menggunakan produk dan tenunan lokal mampu
menginspirasi rakyat India agar tetap menggunakan produk nasionalnya.
Begitu juga film-film
bollywood yang konon mencapai 300-an film pertahun. Artinya. Dua hari
sekali, India menghasilkan sebuah film.
Roda itulah yang kemudian
membuat India bertahan dengan nasionalisme tanpa harus digerakkan
oleh slogan-slogan negara.
Dan semuanya telah
berlangsung bertahun-tahun sehingga India kemudian “sudah
mempersiapkan” dengan baik dan mampu menjadi petarung di WTO.
Penulis kemudian bisa
mengerti berita diatas merupakan proses panjang yang tidak sederhana. India sedang menikmati rasa nasionalismenya.
Lalu bagaimana dengan
Indonesia. Sudah ah. Kita cuma bisa jadi “good boy” dari
event-event internasional tanpa mendapatkan kontribusi terhadap
perekonomian nasional.
Kita menjadi event
organizer yang baik. Dan hm.. cuma itu yang kita bisa.