Akhir-akhir ini kita
“disodori” tentang berita SS, seorang dosen dituduh
“memperkosa” mahasiswinya yang bernama RW. RW kemudian
melaporkan ke kepolisian.
Berita kemudian melebar.
Dari persoalan “pemerkosaan”, “bertanggungjawabnya
SS”, “hingga dukungan berbagai pihak” agar kasus ini
diseret dimuka persidangan.
Tapi apakah kasus ini
memang kasus “pemerkosaan” atau kejadian yang kemudian
“dipelintir” ?
Sekarang mari kita lihat
satu persatu peristiwa ini dan kemudian baru menentukan sikap kita.
Pertama. Ada Fakta, RW
mengakui “diperkosa”. Namun menurut SS “dia tidak melakukan
pemerkosaan”. Dia bersedia bertanggungjawab terhadap
kehamilan” terhadap kehamilan hingga 7 bulan. SS adalah suami
orang lain.
Kedua. Tuduhan terhadap
“pemerkosaan” cukup serius. Didalam KUHP, “pemerkosaan”
diatur dalam Buku “Kejahatan terhadap Kesusilaan”.
Misalnya pasal 285 KUHP “Barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh
dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 286 KUHP Barang
siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Sedangkan
pasal 287 KUHP – 295 KUHP “perbuatan
dilakukan terhadap perempuan yang belum dewasa” dapat diancam 12
tahun penjara. Pasal ini kemudian diatur didalam UU Perlindungan Anak
dengan ancaman minimal 4 tahun.
Dengan demikian maka
sudah dipastikan ancaman hukuman cukup berat.
Untuk menentukan “apakah
perempuan telah diperkosa” maka dapat dilihat dengan
menggunakan definisi “ancaman kekerasan atau melakukan
kekerasan”, “tidak berdaya”, “dalam keadaan pingsan” atau
“tipu daya”. (Kecuali anak dibawah umur berdasarkan UU
Perlindungan Anak, maka dapat dikenakan kejahatan kesusilaan terhadap
anak).
Diluar daripada definisi
itu, maka menurut KUHP bukan merupakan“tindak pidana
pemerkosaan”.
Sekarang menjadi
persoalan hukum, apakah memang terjadi pemerkosaan ? Apakah memang
benar SS melakukan perbuatan “ancaman kekerasan atau melakukan
kekerasan”, atau memang perempuan “tidak berdaya”,
atau “dalam keadaan pingsan” atau SS melakukan “tipu
daya” ?
Mengapa kasus ini begitu
lama hingga belum diperiksanya SS ? Apakah polisi sudah mengetahui
bahwa perbuatan seperti SS melakukan perbuatan “ancaman
kekerasan atau melakukan kekerasan”, atau memang perempuan
“tidak berdaya”, atau “dalam keadaan pingsan”
atau SS melakukan “tipu daya” memang tidak terjadi ?
Dari berbagai
pemberitaan, maka menurut penulis harus dibuktikan “apakah
memang SS telah melakukan berbagai perbuatan sehingga dapat
diklasifikasikan sebagai tindak pidana kesusilaan atau “memang RW
meminta pertanggungjawaban dari SS”, sehingga kasus ini belum
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kesusilaan.
Lalu apa yang terjadi ?
Ketiga. Apabila kejadian
“sebenarnya” RW meminta pertanggungjawaban terhadap SS
terhadap kehamilan, maka perbuatan itu dikategorikan sebagai
“perbuatan yang dilakukan “suka sama suka”, dan lebih
tepat perbuatan itu dikategorikan sebagai perbuatan zinah.
Dimana menurut pasal 284 KUHP “seorang pria
yang telah kawin yang melakukan persetubuhan (gendak overspel) dimana
sang pria terikat perkawinan”
Namun
untuk menyeret SS ke muka hukum, perbuatan ini menurut pasal 284 KUHP
merupakan perbuatan klacht delicten.
Yang dimaksud dengan
klacht delicten atau delik aduan adalah delik yang telah dirumuskan
didalam pasal-pasal. Delik ini hanya dapat dituntut apabila adanya
suatu pengaduan dari orang yang merasa dirugikan atau “delicten
allen op klachte vervolgbaar” atau “Antragsdelikte”.
Dalam delik aduan, tempo
yang dimaksud dalam pasal 74 ayat 1 K.U.H.P. dihitung sejak yang
berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan, bukan sejak ía
mengetahui benar /tidaknya perbuatan yang dilakukan.Putusan MA. No.
57 K/kr/1968 tanggal 15 Februari 1969.
Pemeriksaan yang tidak
memenuhi syarat klacht delict (delik aduan) dari korban atau orang
yang disebut dalam pasal delik tersebut maka dakwaan tidak dapat
diterima.
Untuk melengkapi
pemahaman kita terhadap pasal ini, maka kita lihat Yurisprudensi No.
93 K/Kr/1976, Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan
memutus perbuatan yang menurut hukum adat dianggap sebagai perbuatan
pidana yang mempunyai bandingannya dalam K.U.H.P. Delik adat zina
merupakan perbuatan terlarang mengenai hubungan kelamin antara pria
dan wanita, terlepas dari tempat umum atau tidak perbuatan tersebut
dilakukan seperti disyaratkan oleh pasal 281 K.U.H.P. ataupun
terlepas dari persyaratan apakah salah satu pihak itu kawin atau
tidak seperti dimaksudkan oleh pasal 284 K.U.H.P
Sedangkan menurut
Yurisprudensi 137 K/Kr/1956 tanggal 12 Januari
1956 “Pasal 284 K.U.H.P. merupakan
“absoluut klachtdelict” sehingga pengaduan terhadap Ielaki yang
melakukan perzinahan merupakan juga pengaduan terhadap isteri yang
berzinah, sedang Jaksa berwenang untuk atas azas opportuniteit hanya
mengadakan penuntutan terhadap salah seorang dari mereka
Sehingga
apabila kejahatan ini dapat diseret di muka hukum, maka istri SS
harus melaporkan terjadinya “perbuatan zinah” ke kepolisian.
Namun bukan SS saja yang kemudian menjadi tersangka. Bahkan RW juga
harus dijadikan tersangka. Sehingga kedua-duanya harus disidangkan.
Apabila
istri SS tidak melaporkan, maka SS tidak dapat diseret di muka
persidangan.
Keempat.
Melihat kepada ketentuan KUHP dan dibandingkan dengan kejadian yang
menimpa SS terhadap laporan RW, maka sudah bisa dipastikan, laporan
RW tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan SS menjadi tersangka.
Selain karena memang “tidak ada perbuatan” seperti ““ancaman
kekerasan atau melakukan kekerasan”, atau memang perempuan “tidak
berdaya”, atau “dalam keadaan pingsan” atau SS melakukan “tipu
daya”, laporan RW tidak bisa
dijadikan dasar untuk menetapkan SS sebagai tersangka “tindak
pidana pemerkosaan” dan tidak ada laporan dari yang berhak (istri
SS).
Perbuatan
ini lebih tepat dikategorikan sebagai perbuatan zinah. Dimana tidak
dapat diproses karena istri SS tidak melaporkannya (klacht delicten)
Baca : RUU Pornografi