REFLEKSI
1 TAHUN (1)
Hari
ini, tanggal 18 Desember 2013. Sudah satu tahun lebih penulis
"ditugaskan" sebagai orang menjalankan roda
organisasi di Walhi Jambi. Sebuah organisasi advokasi lingkungan
hidup terbesar di Indonesia.
Sebagai
pemegang amanah, tugas ini cukup berat. Selain memastikan perjuangan
lingkungan hidup menjadi agenda utama (mainstraim), persoalan
lingkungan hidup tidak semata-mata urusan domestik suatu negara, tapi
juga menjadi persoalan global yang rumit, panjang, dikuasai
segelintir orang dan tentu saja membuat persoalan lingkungan menjadi
tema perhatian dunia global.
Isu
global warming, REDD yang kemudian bergeser menjadi REDD+, RSPO,
climate change yang menjadi tema dunia berhadapan dengan issu lokal
seperti perampasan tanah, ruang kelola, kemiskinan, ruang kelola.
Belum
lagi cara manuver korporasi yang semakin canggih, menggunakan riset
kampus, memproduksi istilah yang rumit dan kemudian "menggiring"
negara yang labil untuk "melindungi investasi".
Sementara persoalan rakyat masih berkutat dengan persoalan yang sama
dan berulang-ulang dari setiap rezim hingga ke rezim yang lainnya.
Mengingat
begitu besar beban yang harus kutanggung, maka setelah terpilih
menjadi Direktur Walhi Jambi september 2012, setiap menerima
telephone dari berbagai teman untuk mengucapkan "Selamat",
maka penulis hanya bisa mengucapkan "innalilahi"..
Kalimat ini kemudian banyak ditafsirkan beragam. Ada yang menafsirkan
sebagai bentuk ucapan yang sama ketika Ali bin abi Thalib menjadi
penerus Rasullah setelah terbunuhnya Usman bin Affan.. Ada yang
menafsirkan sebagai bentuk sikap mau menerima tanggungjawab. Tapi
terserahlah. Namanya juga move politik. Setiap langkah bisa
juga ditafsirkan secara politik.
Untuk
menenangkan diri menerima tanggungjawab, penulis kemudian
memposisikan sebagai orang yang disuruh "teken surat"
di Walhi Jambi. Ya. Perumpamaan itu lebih tepat.
Walaupun
Direktur mempunyai kewenangan yang besar sebagaimana diatur di
statuta Walhi, namun kewenangan itu tidak akan berarti apa-apa tanpa
disiapkan tim yang tangguh. Tim yang satu visi melihat Walhi. Tim
yang rela memperjuangkan gagasan. Tim itu harus kuat, inovatif dan
tentu saja setia pada gagasan.
Setiap
langkah dan agenda politik merupakan agenda yang disepakati.
Tentu
saja selain dipersiapkan tim yang tangguh juga dibangun mekanisme
keorganisasian yang sehat. Transparansi dan akuntabilitas merupakan
kata kunci. Mekanisme ini sudah diatur didalam statuta.. Tinggal
memastikan agar berjalan sesuai jalurnya.
Perlu
tiga bulan memastikan itu semua. SOP diperbaiki. Semua mekanisme
organisasi disepakati. Semuanya didiskusikan sehingga menjadi
pegangan bersama.
Dalam
pembicaraan rapat internal kemudian disepakati model penghargaan yang
berprestasi (reward) dan sanksi untuk perbaikan (punishment).
Reward dan punishment diukur 6 bulan sekali dan diberi
kesempatan untuk memajukan diri mempersiapkan tugas yang menjadi
tanggung jawabnya masing-masing.
Selain
itu, model advokasi sebelumnya menggunakan pendekatan issu (tambang,
sawit, hutan) di evaluasi. Rentang kendali advokasi yang jauh dan
tumpang tindihnya berbagai issu penting serta diperlukan perampingan
personal di Eksekutif Daerah Walhi Jambi menjadikan bahasan evaluasi
penting.
Dalam
rapat Pleno Dewan Daerah awal oktober 2012, diputuskan model advokasi
dari issu sektoral menjadi pendekatan advokasi region.
Dalam
struktur maka ditentukan dengan pembagian regional Hulu, regional
tengah dan regional hilir.
Regional
Hulu terdiri dari Kabupaten Kerinci, Kota Sungai Penuh, Kabupaten
Merangin, Kabupaten Sarolangun. Sedangkan pendekatan issu Hutan,
Masyarakat Adat, Perekebunan Sawit, HTI, Tambang
Regional
Tengah terdiri dari Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten Batang
Hari. Dengan Base Advokasi : Hutan, Masyarakat Adat, Perekebunan
Sawit, HTI, Tambang,
Sedangkan
regional Hilir terdiri dari Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Tanjung
Jabung Timur, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Dengan Base Advokasi :
HTI, Perkebunan Sawit, Gambut, Masyarakat Adat, Tambang
Masing-masing
regional dipimpin setingkat Manager. Tugasnya adalah melaksanakan
advokasi dan kampanye, pengorganisasian, program
Untuk
menyambung koordinasi dan sebagai pelaksanaan administrasi ditunjuk
Manager Kantor.
Sedangkan
apabila diperlukan menunjang kinerja para manager, para manager
diberi kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan staf. Staf
langsung bertanggungjawab kepada manager.
Perubahan
ini berdampak signifikan dengan pola-pola kerja yang effektif didalam
melakukan kerja-kerja advokasi. Cara ini juga membuat organisasi
menjadi ramping dan mudah digerakkan dalam menyikapi issu-issu besar.
Praktis
personal di Eksekutif Daerah hanya 7 orang. Direktur, 3 manager
regional, 1 manager kantor, Staf advokasi dan “penguasa kantor”.
Suasana
produktifitas meningkat. Para Manager sudah mengetahui tugas dan
tanggung jawabnya masing-masing. Sehingga suasana kerja menjadi
dinamis, effektif dan punya alat ukur yang disepakati.
Sembari
selama 3 bulan pertama, konsentrasi masih pada pembenahan internal,
pada saat bersamaan, dilihat berbagai rumusan putusan organisasi yang
belum dijalani, mandat-mandat yang belum dilaksanakan, keputusan
politik yang tidak mampu dijalankan hingga berbagai rekomendasi yang
perlu dipenuhi.
Pada
saat bersamaan, mandat PDLH Walhi tahun 2011 telah tegas
mengamanatkan. Memperkuat organisasi rakyat menuju keadilan
lingkungan. Mandat itu kemudian diwujudkan dengan lahirnya “Jaringan
Masyarakat Gambut Jambi” pada tanggal 23 Oktober 2012.
Kelahiran
JMGJ ditunggu masyarakat yang hidup dari kawasan gambut. Sebuah
wilayah areal gambut 716.838 ha yang terdapat di 3 kabupaten
(Kabupaten Muara Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan
Kabupaten Tanjung Jabung Timur). Biasa dikenal dengan kawasan
pantai timur.
Padahal
ada 133 Desa berada di areal gambut. 36 Desa berada di perkebunan
sawit, 48 Desa berada di HTI dan tambang
JMGL
kemudian menjadi bagian jaringan gambut Se – Sumatera.
Memasuki
bulan ke empat, walaupun ada perbaikan disana-sini, praktis laju
organisasi mulai digerakkan. Berbagai gagasan mulai ditularkan.
Berbagai inisiatif dan model advokasi mulai dikampanyekan.
Ketika
penangkapan Anwar Sadat, Direkur Walhi Sumsel, penulis yang
mendapatkan sms pada sore hari, langsung menggelar rapat. Rapat
membahas beberapa agenda penting. Dukungan solidaritas harus segera
dilaksanakan. Penggalangan publik mulai dilakukan.
Setelah
rapat hingga pukul 21.00 wib, disepakati, penulis harus langsung ke
Palembang, selain memberikan dukungan politis, juga memastikan proses
hukum dapat direspon cepat.
Penulis
kemudian berangkat ke Palembang dan sebelum subuh sudah berada di
Kantor Walhi Sumsel.
Pada
hari yang sama, Walhi Jambi mengadakan aksi solidaritas di Bundaran
HI. Sebuah respon cepat selain memang diperlukan dukungan politik
dari Jambi, sekaligus mulai menguji Mekanisme yang sudah disepakati.
Berkat
dukungan dari tim yang sudah disusun, kegiatan ini mendapatkan
tanggapan yang baik. Penulis cukup berkonsentrasi di Palembang
mendampingi proses terhadap Anwar Sadat (penulis seminggu di
Palembang), sedangkan aksi solidaritas bisa dilakukan dan program
tetap berjalan. Penulis tetap mendampingi proses hukum hingga putusan
(vonis)
Evaluasi
ini sedikit menggembirakan. Dan penulis yakin dengan tim yang telah
disusun.
Bulan
Februari, Walhi Jambi diundang dalam acara sosialisasi komitmen
Protokol APP. Berbagai usulan diluar internal Walhi Jambi memandang
tidak perlu menghadiri acara. Argumentasi yang disampaikan, pada
prinsipnya tidak ada yang berbeda. Cuma menurut penulis, menghadiri
atau tidak menghadiri itu masalah “taktis” yang kondisi
obyektif di tiap daerah berbeda-beda.
Setelah
berkomunikasi effektif dengan Eksekutif Nasional untuk “memastikan”
satu langkah, penulis menghadiri undangan tersebut. Undangan itu
penting dihadiri, selain melihat suasana dinamika di forum itu
(penulis ingin menangkap makna keinginan APP yang hendak
berbenah), justru di kesempatan itulah, Walhi Jambi harus
menunjukkan jati dirinya. Meminjam istilah Sun Tzu (ahli strategi
militer China) “menguasai kekuatan lawan dan mengetahui
kelemahan sendiri, sudah setengah memenangkan peperangan”.
Dalam langkah taktisnya, justru mendapatkan kesempatan untuk melihat
paparan dan melihat perbandingan dengan data-data yang sudah
dimiliki.
Penulis
kemudian menghadiri acara itu. Dan dalam kesempatan itulah, kemudian
Walhi Jambi menegaskan diri tidak menjadi bagian dari proses
pengawalan dan tetap berada diluar memastikan pelaksanaan proses itu
(outsider).
Karena
disampaikan dalam forum terbuka yang banyak dihadiri pemangku
kepentingan (stakeholder) membuat sikap Walhi Jambi dapat
dipahami dengan argumentasi yang logis. Pilihan Walhi Jambi sebagai
outsider selain bentuk kontrol publik terhadap langkah-langkah
politik yang diambil, juga menunjukkan sikap “keorganisasian”
dan sikap politik.
Pada
saat bersamaan, justru tetap mendesakkan tanggungjawab negara untuk
menegakkan perangkat peraturan dan “meminta”
pertanggungjawaban negara untuk menyelesaikan berbagai konflik yang
berkaitan dengan APP.
Sikap
ini kemudian bisa dipahami berbagai jaringan.
Memasuki
6 bulan kedua, berbagai gagasan mulai ditularkan. Berbagai inisiatif
dan model advokasi mulai dikampanyekan.
Model
kelola hutan oleh rakyat kemudian harus dikampanyekan. Model kelola
hutan oleh 6 Desa dalam persekutuan Melayu “Margo Sungai Tenang”
dan di Kaltim menjadi bahan penelitian dan dipresentasikan di
Jakarta.
Sedangkan
model kelola “Margo Sumay” dan cara kelola masyarakat di
Riau juga dipresentasikan di Jakarta.
Perdebatan
boleh saja muncul. Perdebatan mengenai hutan Desa, hutan kerakyatan,
hutan kemasyarakatan “seakan-akan” mendukung sistem
negara.
Namun
penulis mendiskusikan di internal Walhi. Bagi penulis, apapun
modelnya, selama 2 nilai Walhi sudah menjadi bagian dari model
apapun, disitulah ruang Walhi.
Adanya
“kepastian” ruang kelola dan “upaya nyata”
keberlanjutan.
Dengan
nilai-nilai inilah, penulis menjadikan sebagai batu uji atau pisau
analisis untuk melihat dan menganalisis berbagai model pengelolaan
yang dilakukan rakyat.
Pertengahan
tahun 2013, model advokasi terhadap asap mulai disiapkan medan tarung
baru. Peristiwa “pembakaran lahan” yang terus berulang
harus “dihentikan”. Hukum harus “meminta
pertanggungjawaban negara”.
Walhi
menjadi pihak organisasi lingkungan (legal standing) dan
menggugat negara dalam bentuk “pertanggungjawaban negara
(Onrechtmaatigoverdaad).
Tentu
saja yang bisa penulis ceritakan masih banyak kekurangan disana-sini.
Catatan yang disampaikan masih banyak yang tertinggal. Masih banyak
ide-ide yang “terlewatkan”, tercecer ataupun terlupakan.
Sebagai manusia biasa, penulis sadar itu.
Namun
catatan ini bisa ditorehkan, karena penulis yakin dengan tim tangguh
yang sedang dibangun, teman diskusi strategis Dewan Daerah, berbagai
jaringan yang memperkuat argumentasi dan ide-ide memandang lingkungan
maupun masyarakat yang selalu menginspirasi. Tanpa itu semua, catatan
ini cuma sekedar “curhat” tanpa makna. Cuma sekedar cerita
berlalu.
Justru
dukungan yang diberikan, cerita ini kemudian menjadi “bernyawa”.
Untuk
itulah, penulis merasa “bangga” menjadi bagian dari
mimpi-mimpi yang tidak henti-hentinya kita suarakan.
Terima
kasih untuk semuanya.