Akhirnya
janji saya tunaikan mendatangi ke tempat sahabat saya, Barlian di Sungai Ipuh,
Selagan Raya, Muko-muko, Bengkulu.
Perjalanan
menyusuri pantai barat Sumatera dimulai dari Batusangkar, Padang Panjang,
Padang, Painan, Tapan, Muko-muko dan berakhir di Bengkulu. Jalur panjang
Padang, Painan, Tapan, Muko-Muko dan Bengkulu dikenal sebagai “jalur sutra
perdagangan Pantai Barat Sumatera’. Memanjang menyusuri Pantai Barat Sumatera
sejauh 579 km.
Namun
jangan berharap dapat menempuh waktu yang maksimal. Dengan jarak Padang-Painan
cuma 78 km tidak bisa ditempuh 1 jam. Dengan mendaki bukit yang mengelilingi
Painan, jalan yang sempit, jarak tempuh cuma 78 km bisa ditempuh dengan waktu 2
jam lebih. Itu waktu normal. Apalagi dalam suasana lebaran, bisa ditempuh
berjam-jam. Bahkan kemarin “para pelancong” dari Painan kembali ke Padang bisa
ditempuh seharian.
Begitu
juga Painan – Muko-muko dengan jarak 266 km dengan waktu normal 6 jam dapat
ditempuh seharian ke Muko-muko. Selain jalannya kecil, jalannya masih jelek –
jalannya bagus menjelang masuk Tapan, waktu normal mencapai 6 jam.
Setelah
Muko-muko menjelang masuk ke Bengkulu terutama di Kabupaten Argo Makmur
jalannya kembali buruk. Dengan jarak tempuh 235 km dengan waktu tempuh normal
5,5 jam dapat ditempuh bisa seharian.
Namun
jangan kecewa menempuh jalur “pantai Barat” Sumatera. Dengan diiringi “debur”
ombak lautan Samudra Hindia, suasana menyusuri pantai Barat Sumatera menjadi menyenangkan.
Pantai
Barat Sumatera merupakan peradaban yang “tercecer” dari pergelutan pembicaraan
Sumatera. Sebagai jalur perdagangan Maritim, Pantai Barat tidak dapat
dipisahkan dari keberadaan peradaban Pantai Barat Sumatera[1].
Meski demikian, pengaruh budaya India yang sedemikian kuat di wilayah Timur
Sumatera tidak terjadi di wilayah barat termasuk Bengkulu[2].
Kerajaan
seperti Indrapura, Kerajaan Manjuto, Kerajaan Muko-muko adalah peradaban yang
panjang baik dimulai zaman megalitikum[3]
hingga masuknya Islam.
Tahun
2004 telah dilakukan penelitian dan ditemukan pemukiman masa megalitik yang
membentuk pola mengelompok yang timbul sebagai pola subsistnesi dalam
menyiasati kondisi alam[4].
Penelitian juga dilakukan terhadap makam-makan kuno dan pecahan gerabah. Catatan lengkap, saya tuliskan secara terpisah[5].
Mendatangi
Sungai Ipuh[6]
dimulai dari Muko-muko sejauh 32 km. Setelah bertemu daerah “Penarik”, kemudian
berbelok ke kiri menuju Sungai Ipuh, Kecamatan Selagan Raya, Muko-muko. Jaraknya
tidak begitu jauh. Hanya 15 km.
“Ikrar” Sungai Ipuh sebagai “keturunan”
Serampas[7]
merupakan sebuah “pernyataan” yang mengganggu saya ketika Barlian bertutur tentang
keturunan Sungai Ipuh berasal dari Serampas setelah gempa bumi di Renah Kemumu
tahun 2009[8].
Sayapun tergelitik untuk mendalami dan mengetahui secara langsung keterkaitan
antara Sungai Ipuh (yang masuk kedalam Propinsi Bengkulu) dan dengan daerah
Serampas yang terletak di dataran tinggi Kabupaten Merangin Propinsi Jambi.
Air
dikit, Sungai Ipuh, Bukit tigo, merupakan nama-nama tempat yang berbatasan langsung Jambi dengan
Bengkulu[9].
Ipuh merupakan
nama jenis pohon yang terdapat di daerah Sungai Ipuh. Dalam perkembangannya kemudian
Sungai Ipuh merupakan nama daerah yang kemudian termasuk kedalam Kecamatan
Selagan Raya. Selagan merupakan nama Sungai. Sungai Ipuh, Sungai Selagan
bersama-sama dengan Sungai Ketahun merupakan sungai-sungai besar di Muko-muko. Sungai
Ipuh kemudian menjadi identitas sebagai masyarakat di daerah Sungai Ipuh.
Orang
Sungai Ipuh mengaku sebagai “keturunan Serampas”. Puyang mereka berasal dari
Serampas dan kemudian mengilir Sungai Ipuh dan kemudian berdiam di Sungai Ipuh.
Sedangkan Serampas sendiri menyebutknya sebagai “Orang Lembak’. Saya
menafsirkan orang lembak sebagai padanan kata “Lembah’. Atau orang yang berada
di lembah. Atau orang yang tinggal di daerah bawah.
Dalam
hubungan kekerabatan, Orang Sungai ipuh termasuk kedalam struktur Pemerintahan
dalam Marga 5 Koto[10].
Marga 5 Koto terdiri dari Dusun Pondok Siding, Lubuk Cabau sebagai pusat Margo,
Tras Terunjang, Sungai Jerinjing dan Sungai Cambu yang kemudian dikenal menjadi
tempat dan bernama Penarik.
Sebagai
pendatang, Orang Sungai Ipuh menghadap Tuanku Rajo di Muko-muko[11].
Raja di Muko-muko kemudian memberikan “kekuasaan otonom” dengan menempatkan
Sungai Ipuh didalam Marga 5 Koto namun dengan kekuasaan yang otonom. Didalam
Sungai Ipuh kemudian 3 kaum yaitu 3 Luak yang terdiri Depati Empat, Depati Enam
Dan Suka Rajo.
Marga dan Batin dipimpin
seorang Pesirah. Dibawah Marga dikenal dusun. Dusun merupakan sebagai
pemerintahan terendah (village government). Dusun adalah kumpulan dari
kampung atau kelebu. Dipimpin seorang Depati atau Rio atau Penghulu.
Sebagai
Sistem Pemerintahan, Kepala Desa disebut sebagai Pemangku. Istilah “pemangku”
dikenal didaerah Jambi. Untuk daerah Hulu Pemangku biasa disebut “Depati” atau
Rio. Sedangkan di daerah hili disebut “Penghulu”.
Satu
keturunan besar biasa disebut Kaum. Istilah kaum mengingatkan sistem
kekerabatan di Sumatera Barat. Di Jambi sendiri lebih sering disebut Kalbu.
Kekayaan
Sungai Ipuh ditandai dengan hasil panen padi yang melimpah. Tahun 2014,
Kecamatan Selagan Raya menghasilkan padi 19 ribu ton lebih[12].
Sehingga dipastikan, Kecamatan Selagan Raya makmur dan berdaulat didalam
pertanian. Sehingga tidak salah kemudian Sungai Ipuh kemudian dikenal sebagai
“lumbung padi” untuk didaerah Kabupaten Muko-Muko.
Dengan
hasil yang melimpah sejak dulu, maka masyarakat kemudian mengehal sistem
penghitungan.
Satuan beras juga dikenal dengan canting[13].
Sekiding terdiri dari 16 Kaleng. Atau 10 Cupak. 1 cupak 6 teko. Atau 1
Kaleng sama dengan 4 cupak.
Namun di Jambi selain, Canting, cupak juga
dikenal istilah “pikul”. Satu pikul
lebih kurang 100 kg. Sehingga satu ton biasa disebut 10 pikul.
Dengan
memperhatikan alur sungai, ikrar masyarakat Sungai Ipuh, maka identitas sebagai
keturunan dari “serampas” menjadi tidak terbantahkan. Hingga kini, sebagai
identitas “Serampas rendah” sebuah ujaran yang bisa ditemukan di Marga Sungai
Tenang, Marga Peratin Tuo, Marga Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap dan marga
Senggrahan, ikrar “serampas rendah” adalah sebagai ikrar dari penghormatan
terhadap “puyang” mereka terhadap keberadaan dari Serampas. Hubungan ini hingga
sekarang masih dihormati. Penghormatan terhadap keberadaan mereka juga diakui
dari pengakuan dari Marga Serampas dengan penyebutan sebagai orang “lembak”.
Baca : Marga Serampas
[1] Jaringan perdagangan Maritim dengan Asia Tenggara
daratan termasuk Vietnam Utara dan Selatan menjelang awal Masehi. Lihat
Tinggalan Arkeologi dari Bengkulu Baign Selatan dalam pandangan Sejarah
Kebudayaan, Tiri Marhaeni S. Budisantosa dalam Peradaban Di Pantai Barat
Sumatera – Perkembangan Hunian dan Budaya di Wilayah Bengkulu, Balai Arkeologi
Palembang, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2013, Hal. 124
[2] Ibid, Hal. 129
[3] Lihat Retno Purwanti, Penguburan Masa Prasejarah
Situs Muara Betung, Kecamatan Ulu Musi, Kabupaten Lahan, Balai Arkeologi
Palembang, 2009, Hal, 26
[4] Lihat Indriastuti, Kristantina, Ekskavasi Kubur
Tempayan Situs Padang Sepan Kecamatan Air Besi Kabupaten Bengkulu Uturan,
Laporan Penelitian Arkeologi, Balai Arkeologi Palembang, Palembang, 2003, dalam
Peradaban Di Pantai Barat Sumatera – Perkembangan Hunian dan Budaya di Wilayah
Bengkulu, Balai Arkeologi Palembang, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2013, Hal. 141
[5] Ada juga menyebutkan Kerajaan Indrapura, Kerajaan
Selebar, Kerajan Sungai Lemau, Kerajaan Sungai Hitam dan Kerajaan Muko-muko. Lihat
“Tinggalan Islam Di Bengkulu, Ade Oka Hendrata, dalam Peradaban Di Pantai Barat
Sumatera – Perkembangan Hunian dan Budaya di Wilayah Bengkulu, Balai Arkeologi
Palembang, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2013Hal. 276
[6]
Sungai Ipuh adalah ibuko Kecamatan Selagan Raya. Kecamatan Selagan Raya
dibentuk berdasarkan Perda No. 8 Tahun 2008 dan terdiri dari Desa Talang Medan,
Lubuk Sahung, Surian Bungkul, Sungai Jerinjing, Talang Buai, Aur Cina, Sungai
Gading, Sungai Ipuh, Sungai Ipuh Satu, Sungai Ipuh Dua, Pondok Baru dan Lubuk
Bangko. Namun Ipuh juga nama tempat 78 km arah Bengkulu dari Penarik. Statistik
Kecamatan Selagan Raya, BPS, 2014
[7] Kata “Serampas” ditemukan
catatatannya berbagai dokumen. Dengan dialek “serampei”, catatan ini ditemukan
didalam “Gazetteer Of the World, Dictionary of Geographical Knowledge, Dublin,
1856” diterangkan Serampas merupakan
daerah yang terletak di pedalaman, dekat di Sungai Ipuh didalan pegunungan
tinggi dan dekat dengan daerah Sungau Ipuh (Bengkulu). Termasuk kedalam wilayah
Minangkabau. Menghasilkan cassiavera dan kakao. Lihat juga Addenda didalam
bukunya The Edinburgh Gazetter or Geographical Dictionary. Tidak berbeda jauh
dengan disampaikan didalam J. E Worcester
didalam “Geographical Dictionary, Universal Gazetteer, Ancient and
Modern, G.N. Wright didalam bukunya “ Present State of World. Sedangkan Mac
Carthy menyebutkan “serampei”
terletak di Pulau Sumatera, ditengah pegunungan ditutupi hutan yang cukup
lebat.
Ikrar
sebagai “keturunan Serampeh” juga ditemukan di Margo Sungai Tenang, Margo
Peratin Tuo, Margo Tiang Pumpung, Margo Renah Pembarap dan Margo Senggrahan.
Mereka mengaku sebagai “Serampas rendah’.
[8] Pusat gempa tanggal 1 Oktober di Desa
Renah Kemumu tidak menyebabkan hancurnya rumah. Rumah penduduk berupa rumah
panggung hanya bergeser dan hanya diperlukan “dongkrak” untuk memperbaikinya.
Konsep rumah panggung terbukti mampu menghindarkan kerugian karena terkena
bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi (pasal 26 ayat (3) UU No. 24
tahun 2007). Konsep rumah panggung berhasil menghindarkan korban dan kerusakan
yang parah akibat gempa. Kearifan masyarakat menjaga hutan ditandai dengan
“keberhasilan” mereka dari bencana gempa bumi tahun 2009.
Yang paling menyedihkan adalah ketika
gempa bumi tanggal 1 Oktober 2009. Hampir semua peta tidak dapat menunjukkan
nama tempat pusat gempa sehari setelah gempa paling menghebohkan di Sumbar.
Semua peta “tidak memasukkan” Desa Renah Kemumu didalam nama tempat. Baik peta
terbitan PT. Fitratama Sempana, Peta terbitan PT. Karya Pembina Swadaya,
Surabaya, peta BNPB. Peta BNPB hanya menyebutkan “pusat gempa berada 46 km arah
tenggara Sungai Penuh”. Padahal pusat gempa terletak di Desa Renah Kemumu.
Hanya peta Bakusutanal yang cuma “memasukkan” nama Desa Renah Kemumu. Padahal Desa Renah Kemumu adalah Desa yang
tua yang termasuk kedalam Marga Serampas.
[9] Peta Bakosutanal, 2003
[10] Sejarah Margo ditetapkan oleh Pemerintah Belanda. Dari berbagai sumber disebutkan,
marga yang mulanya bersifat geneologis-territorial. Menurut Regeering Reglement
(RR) 1854, Nederlandse Indie diperintah oleh
Gubernur Jenderal atas nama Raja/Ratu Nederland secara sentralistis. Daerah
Nederlandse Indie dibagi dalam dua
kategori besar yaitu daerah Indirect Gebied dan Direct Gebied. Daerah Indirect
Gebied adalah daerah yang diperintah
secara tidak langsung oleh penguasa Batavia.
[11]
“MenghadapTuanku Rajo” adalah perumpamaan penghormatan terhadap Raja di
Muko-muko. Mengenai kerajaan di Muko-muko saya akan paparkan pada tulisan yang
terpisah.
[12]
BPS, 2014
[13] Kata canting menunjuk
kaleng susu sapi yang kecil. Satu kilogram diukur dengan 4 canting. Ada juga
menyebutkan 1 “Canting” sekitar 2 mato”. Ukuran diatas Canting biasa disebut
Cupak. 1 Cupak diperkirana 1 liter. Diatas Cupak biasa disebut Cubuk atau
secanting lebih sedikit. Atau sekitar 5 Mato.